Pos Fordisme

admin | 4 - Jun - 2008

Bagi kalangan yang bergiat dalam wacana ilmu-ilmu sosial kontemporer dan kajian budaya, term Fordisme agaknya bukan sesuatu yang asing. Memang, kalau melihat term Fordisme yang akar katanya dari Ford dan isme, orang bisa melihat bahwa term ini lebih berkaitan dengan kehidupan dan perkembangan ekonomi, namun sebenarnya lebih jauh, ia mencakup juga formasi sosial yang lebih luas. Bagaimana tidak, ia dianggap sebagai salah satu penanda dalam pemilahan era perkembangan sosial ekonomi, sosial politik dan sosial budaya.

Kalau dilacak ke belakang, kondisi ekonomi dunia Barat pasca 1945, terutama Inggris dan Amerika Serikat, dianggap telah didominasi ‘Fordisme’ sebagai praktek ekonomi dan Keynesianisme sebagai kebijakan ekonomi bangsa-negara. Nah, apa yang agaknya bisa disebut menandai ukuran-ukuran Fordisme-Keynesianisme ini adalah produksi barang-barang terstandarisasi yang berskala raksasa dalam konteks konsumsi massal. Hal ini tentunya membutuhkan sistem yang relatif mengeluarkan gaji tinggi, setidaknya untuk para pekerja utama, yang tujuannya untuk mempertahankan pembelian produksi berjumlah besar. Jelas, sistem ini tidak bagus bagi tenaga kerja utama di sektor berupah rendah di mana perempuan dan orang kulit berwarna lebih diwakilkan.

Pada titik ini, perkembangan produksi massal dan konsumsi massal barang-barang tersebut mendorong juga berkembangnya budaya promosi dan periklanan yang mendukung bagi proses penjualan. Strategi penyediaan lapangan kerja ini dicapai bukan hanya sebagai ‘kebaikan’ sosial tapi sebagai sarana mempertahankan tersalurnya kekuasaan pada tingkat yang sesuai dengan kapasitas produksi. Efisiensi diusahakan melalui teknik ‘manajemen ilmiah’ yang menekankan: pengaturan pembagian kerja untuk mendorong pemisahan tugas, penggunaan studi waktu dan gerakan untuk mengukur dan menggambarkan tugas kerja, dan penggunaan insentif-insentif finansial sebagai bentuk utama motivasi pekerja.

Sebagai mode regulasi ekonomi, tingkat perencanaan dan manajemen dibutuhkan untuk mempertahankan stabilitas Fordisme. Hal ini terjadi melalui dominasi mata uang dunia oleh AS, tingkat kooperasi antar-negara dan peran negara sebagai korporat pembuat kebijakan dan manajer ekonomi. Ini merupakan periode di mana negara memainkan peran intervensionis yang utama sebagai pencipta aturan-aturan kesejahteraan sosial, sebagai korporat yang memecahkan masalah konflik dan sebagai pengusaha langsung yang signifikan.

Meskipun strategi-strategi tersebut mengambil bentuk-bentuk yang berbeda-beda di berbagai negara, Inggris tahun 1960-an bukanlah tidak istimewa mengalami booming ekonomi, khususnya di wilayah Tenggara dan Tengah, dengan khususnya investasi besar dalam permobilan dan rekayasa. Dalam konteks ini, gerakan buruh mampu mengambil tindakan industri yang berhasil untuk menaikkan gaji dalam proses yang disebut ‘aliran gaji’. Secara politik, tahun 1950-an dan 1960-an awal, ditandai oleh kejayaan pemilu kaum Konservatif yang berturut-turut membutuhkan sebagian besar dari kelas pekerja untuk memilih mereka. Beberapa kritikus mengelu-elukan proses ‘pemborjuisan’ yang ditandai perolehan pendapatan para pekerja kasar yang bisa dibandingkan dengan kelas menengah dan adopsi gaya hidup dan nilai kelas menengah. Demikian kokohnya gambaran kemakmuran industrial ini nampak bahwa hal itu dinyatakan oleh beberapa komentator untuk merepresentasikan logika dasar industrialisasi bagi seluruh masyarakat dunia.

Banyak unsur-unsur konfigurasi ekonomi dan sosial yang digambarkan sebagai Fordisme kini dianggap telah berubah sama sekali. Meskipun perubahan-perubahan ini disebut dengan berbagai nama, tapi tiga ciri yang paling mempengaruhi dan saling tumpang-tindih dikenal sebagai post-Fordisme, masyarakat post-industrial dan kapitalisme yang berantakan.

Rezim Fordis mulai mengalami masalah selama awal 1970-an. Krisis minyak bisa dianggap sebagai momen kunci. Sistem tersebut yang secara khusus memacu ke arah produksi dan konsumsi massal menghadapi kenyataan jenuhnya pasar Barat akibat krisis kelebihan produksi. Kejenuhan ini bukan berarti bahwa hampir setiap orang bisa memiliki semua barang-barang konsumsi yang diinginkannya, tapi, kekuatan belanja para konsumen telah mencapai batasnya. Selain itu, ekonomi Barat sendiri mengalami halangan berupa meningkatnya persaingan harga yang dipicu berkembangnya perekonomian Jepang dan Negara-negara Industri Baru, seperti Taiwan, Korea dan Singapura. Hal ini, disertai keberhasilan OPEC dalam mendorong harga minyak dunia dan kegagalan menstabilkan pasar finansial dunia ketika hegemoni AS melemah, membawa pada kemerosotan ekonomi karena stagflasi (ekonomi dengan pertumbuhan nihil tapi tingginya tingkat inflasi).

Resesi yang kurang lebih bersifat global menyusul peristiwa krisis keuangan itu terbukti sukar dihindari karena ketatnya hubungan Fordisme dengan ciri-ciri utamanya berikut: investasi modal jangka panjang dan berskala besar yang dibangun atas asumsi pasar massal yang stabil, organisasi pasar tenaga kerja berkaitan dengan spesialisasi dan demarkasi, dan komitmen negara untuk mencapai kesejahteraan yang melibatkan pengurangan budjet yang besar.

Pada gilirannya, ada kebutuhan korporasi-korporasi besar untuk mereintrodusir pertumbuhan dan perkembangan tingkat keuntungan melalui teknik produksi yang fleksibel yang melibatkan teknologi baru, reorganisasi tenaga kerja dan kecepatan waktu pergantian produksi/konsumsi.

Di tingkat produksi, perpindahan dari Fordisme ke Post-Fordisme melibatkan pergeseran dari produksi massal barang-barang yang homogen ke sekumpulan kecil barang-barang tertentu. Yakni pergeseran dari keseragaman dan standardisasi ke variabel produksi yang fleksibel bagi pasar yang kosong. Biaya-biaya yang termasuk menguasai cadangan penyangga yang besar dalam proses produksi Fordis diperkecil melalui sistem manajemen persediaan Just-in-Time (tepat waktu) untuk memastikan bahwa suplai dikirimkan hanya ketika dibutuhkan. Produksi sekumpulan kecil barang yang hidup secara ekonomis dan tepat waktu bersandar pada penggunaan teknologi baru, misalnya pemakaian komputer untuk memesan persediaan atau membatalkan mekanisme produksi untuk mengubah ‘bekerja’-nya kapasitas dan/atau warna, bentuk, gaya dan ukuran produk. Lebih jauh, karena post-Fordisme berdasarkan pada men-subkontrakkan seluruh wilayah proses produksi ke perusahaan ‘independen’ yang berhubungan secara horisontal, maka teknologi informasi digunakan untuk mengkoordinasikan operasi.

Post-Fordisme melibatkan penyusunan ulang proses kerja. Tujuannya adalah memperbanyak keterampilan pekerja dan menghilangkan garis demarkasi kerja yang ketat untuk menciptakan organisasi kerja yang lebih horisontal dengan tekanan pada tanggung jawab bersama para pekerja. Di bawah pengaruh keberhasilan ekonomi Jepang, kontrol kualitas bergeser dari pengujian pasca produksi ke proses dasar manufakturing. Hal ini membutuhkan tenaga kerja untuk mengambil tanggung jawab kualitas dan ‘kemajuan berkelanjutan’ sebagai bagian sentral dari peran mereka. Dalam beberapa kasus hal ini melibatkan ‘lingkaran kualitas’ pekerja yang berbagi gagasan demi kemajuan cakupan produk.

Pelatihan buruh yang mahal membutuhkan perusahaan-perusahaan utama agar memiliki banyak keterampilan untuk memberikan tenaga kerja utama keamanan kerja yang berjangka panjang ketimbang menyia-nyiakan investasi mereka melalui pergantian tenaga kerja tinggi. Dalam khayalan klasik post-Fordisme/Japanisasi, hal ini dilambangkan oleh ‘pekerja perusahaan’ Nissan atau Toyota. Namun, sungguhpun ini merupakan kasus tenaga kerja utama, yang ada diragukan, privilese tersebut tidak meluas ke tenaga kerja pinggiran yang besar yang dibela Post-Fordisme. Dus, tindakan proses produksi yang baik, khususnya pada perusahaan suplayer yang berhubungan secara horisontal, ditangani secara paruh waktu, kontrak pendek, para pekerja sementara yang dibayar rendah yang waktunya ditarik ulur dari waktu ke waktu. Perempuan, kulit berwarna dan kaum muda mengalami kelebihan diwakilkan pada tenaga kerja ‘periferal’.

Di luar Jepang, perhatian para kritikus terfokus pada wilayah ‘lembah silikon’ dan di wilayah Italia Utara (Emilia Romagna atau Italia Ketiga) di mana produsen mode global Benetton dianggap menjadi ‘tipe ideal’ perusahaan post-Fordis. Ini adalah organisasi yang telah memapankan jaringan operasi waralaba ecerannya ke seluruh dunia, namun hanya mempekerjakan 1500 pekerja di perusahaan utama, banyak di antaranya yang merupakan desainer dan profesional pemasaran yang sangat terampil. Ketimbang mengupayakan tenaga kerja, produksi dan pemasaran yang tergantung pada penggunaan teknologi informasi dan rantai sub-kontraktor untuk memberikan fleksibilitas dan waktu respon pasar Benetton. Misalnya, mengarahkan hubungan elektronik kepada waralaba eceran mereka memberikan perusahaan informasi penjualan yang up-to-date yang menyanggupkan operasi utama untuk merespon permintaan pelanggan dan pada gilirannya mengubah tatanan dari sub-kontraktor.

Namun, perubahan dalam praktek kerja ini (yang dianggap sebagai Post-Fordisme) oleh para teoris lain dilihat sebagai neo-Fordisme. Yakni, perluasan praktek Fordis yang bertujuan memberikannya kehidupan yang baru. Neo-Fordisme ini mencakup: diversifikasi perusahaan menjadi produk-produk baru, internasionalisasi pencarian pasar baru, ekonomi skala, intensifikasi kerja melalui aplikasi intensif teknologi dan otomatisasi baru. Desantara / RB

Disadur dari Chris Barker. Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage Publication, 2000.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar