Filsafat Matematika, di Antara Dua Kubu

admin | 4 - Jun - 2008

Dalam tulisan ini Steve Gerrad ingin menjelaskan bagaimana dan dimana posisi Wittgenstein di antara dua kubu yakni kubu filsafat analitik dan kubu filsafat kontinental. Kelompok pertama filsafat analitik; adalah kelompok yang mencoba mengamankan objektifitas, dan pada kelompok yang kedua yakni filsafat kontinental yakni kelompok yang menyangkal objektivitas secara keseluruhan dalam semua cara. Mereka mempercayai teori inconmensurabilitity. Namun keduanya sama-sama mengakui akan ketidakbermaknaannya pada metafisika.

Menurut Gerrad bahwa salah satu dari dua kubu itu cendrung ekstrim, dan anarkis sedangkan Wittgenstein tidak demikian. Bahkan Wittgenstein sendiri memperdebatkan dua kubu tersebut. Wittgenstein menolak kedua kelompok tersebut dengan memunculkan tulisan mengenai filsafat matematika. Matematika sebagai sesuatu yang transendental. Proposisi matematika mempunyai makna dan kebenaran tanpa memperhatikan penggunaan dan aturan manusia. matematika mempunyai posisi yang independen dari praktek kerja manusia. dan bisa mendapatkan kebenaran tanpa melalui pembenaran dari bahasa manusia. Dalam tulisan ini Steve Gerrard mencoba memetakan posisi Wittgenstein terhadap dua kelompok tersebut. Penjelasan selanjutnya Steve membagi dan memetakan kedalam beberapa point.

Masa Transisi dari Kalkulus Menuju Language Game.

Ada tiga periode pemikiran Wittgenstein, periode awal (filsfat matematika), periode pertengahan (konsepsi kalkulus), dan periode akhir (konsepsi language game). Pada periode awal adalah periode filsafat matematika, ini dijumpai pada buku catatannya dan Tractatus. Periode ini terjadi sekitar tahun 1914-1916. apa yang ada di dalam buku catatan maupun yang ada di dalam Tractatus pada dasarnya ingin mengkritisi Russel dan Frege yang menulis tentang dasar-dasar matematika. Dan keduanya dikatakan sebagai aliran logis (logicism). Aliran ini berpandangan bahwa matematika bisa direduksikan ke dalam logika. Kebanyakan hasil karya Wittgenstein ditujukan untuk mengkritisi aliran logis (logicism) ini. dan pendapat Wittgenstein yang pertama adalah bahwa proposisi matematika adalah proposisi-proposisi yang berisi persamaan-persamaan, oleh karena itulah maka proposisi matematika adalah proposisi yang semu. Proposisi matematika tidak menentukan apapun tentang objek. Klaim ini secara nyata tampak dalam pembahasan semantiknya yang ruwet dan pembahasan mengenai metafsisika yang ada di dalam Tractatus. Namun tulisan saya –ujar Gerrad- difokuskan kepada tulisan Wittgenstein yang post-tractatus. Dan tema-tema yang menonjol pada dirinya dan berdampak pada karirnya adalah tulisan-tulisannya yang berbicara tentang ‘realitas matematika transendent’.

Kita bisa melihat tema ini pada tulisan Wittgenstein berikutnya. Dia mengatakan bahwa “ nama mempunyai makna. Dia menulis pada akhir 1930. dia berkata bahwa sebuah proposisi mempunyai makna dalam kalkulus yang dimilikinya. Calculus itu adalah sebagai sesuatu yang otonom.- bahasa harus berbicara pada dirinya…..makna adalah aturan kata dalam kalkulus”. Dalam masa transisi ini Wittgenstein membuktikan bahwa tiap kalkuluus secara individu adalah sesuatu yang sangat dekat.dan punya sistem sendiri. Dan ia tidak mempunyai kritik eksternal. Aturan-aturan itu sendiri menentukan makna. Oleh karena itu kalkulus adalah sesuatu yang final dan akhir dari pengadilan (pembuktian). Dengan demikian, Wittgenstein telah mencoba untuk menghindari dari psikologisme, dan realitas matematika Hardy yang tumpang tindih. Hasilnya adalah ia ditempatkan ke dalam kelompok ahli bahasa yang lebih ekstrim, pada awal tahun 1930, dengan pendapatnya bahwa grammar (tatabahasa) tidak bisa menghitung realitas apapun. Aturan-aturan yang ada di dalam tata bahasa hanya mampu menentukan makna. Dan tatabahasa itu sendiri tidak bisa menjawab makna apapun dan lebih jauh aturan-aturan itu sendiri bersifat arbitrer (sewenang-wenang). Dari tahun 1929 sampai awal tahun1930 pandangan ini mendominasi pemikiran Wittgenstein.

Pertengahan tahun1930 pemikiran Wittgenstein mulai berubah. Dia mulai melihat bahasa matematika sebagai motley “Buntheit” (tehnik pembuktian) dari sebuah permainan bahasa. Di sini kita melihat pemikiran Wittgenstein masih terus berusaha untuk beroposisi dengan psikologisme dan realitas matematika Hardy. Namun Language Game jika dikontraskan dengan konsepsi kalkulus masih terjalin erat dengan bahasa, aksi-aksi dan latar belakangnya. Dan dalam salah satu tulisannya yang Philosophical Investigation, karakter dari language game secara tegas masih mengacu kepada matematika.

Wittgenstein juga memandang matematika lebih sebagai koleksi kalkulus yang otonom. Kemudian dia menulis: “Saya ingin mengatakan bahwa yang esensi dari matematika adalah bahwa tanda-tandanya dibentuk dalam mufti, ia adalah penggunaannya dengan sesuatu di luar matematika, juga sekaligus menciptakan makna dari tanda-tanda yang ada di dalam matematika dan juga membuat permainan tanda dalam matematika.”

Gerrad melihat perubahan pemikiran Wittgenstein ini sebagai perluasan dari daerah cakupan prinsip kontektual dari Frege yakni tidak pernah mempertanyakan arti kata dalam kesendirian, akan tetapi arti kata dalam kontek proposisi. Dalam Tractatus dikatakan bahwa ekspresi mempunyai makna hanya dalam proposisi. Dalam periode pertengahan, Wittgenstein mengatakan bahwa makna adalah tatanan kata-kata dalam kalkulus. Dan kalau kita melihat tulisan pada periode akhir dia mengatakan bahwa kata-kata mempunyai makna hanya dalam aliran hidup. Wittgenstein menolak kelompok Hardy bukan karena kelompok itu cendrung anarkis melainkan Wittgenstein percaya bahwa Frege telah begitu puas diserang oleh kelompok anarkis dengan konsep psikologismenya.

Untuk melihat perbedaan dramatik antara konsepsi pos-tractatus, maka kita harus membandingkan dengan statemen berikut, apa yang saya inginkan untuk menunjuk sesuatu dalam kontek ini [kontradiksi] ‘Wittgenstein menulis pada permulaan masa transisi’ adalah pandangan yang biasa kita definisikan apa kalkulus itu, kalkulus sebagus yang lain, kita hanya bisa mendeskripsikan bukan mensyaratkan sesuatu yang lain untuk menjadi kalkulus. Menjelang akhir dekade, Wittgenstein menklaim kebalikannya; jika kita membolehkan kontradiksi-kontradiksi dalam suatu cara yang kita terima bahwa segalanya boleh , maka kita tidak lagi mendapatkan kalkulus, atau kita mendapatkan ketiadagunaan sesuatu yang serupa dengan kalkulus. (lfm,p.243). meskipun klaim-klaim itu bersifat antitesis namun motifasinya adalah sama. Wittgenstein sedang mencoba menyeimbangkan antara anarkisme dan obyektivitas metafisika. Pada periode pertengahan Wittgenstein mendasarkan makna pada kalkulus itu sendiri. Dan pada periode kemudian mendasarkan makna pada praktik bahasa sehari-hari; dimana suatu periode yang tidak mendasarkan makna pada pikiran atau realitas transensdental.

Setelah menemukan perubahan pandangan pada Wittgenstein dalam beberapa konsep, kita biasa melihat bagaimana konsep language game matematika Wittgenstein secara mendalam biasa dihubungkan dengan Philosophical Investigationnya. “jika kalkulus dalam matematika itu dirubah oleh penemuan-penemuan, dapatkah kita mempertahankan kalkulus yang lama?

Dan ini menurut Reggard bisa dijawab dengan permainan catur. Contoh yang sering dilontarkan oleh Wittgenstein. Suatu saat aturan pada permainan catur itu berbeda dengan aturan-aturan permainan catur yang baru.

Konsepsi tentang Languange Games

Dalam konsep ini ingin dikatakan bahwa “kata-kata mempunyai makna ketika berada dalam realitas kehidupan”. Slogan ini membantu untuk memahami matematika dan matematika dalam hal ini adalah teknik pembuktian language games ini adalah penjelasan lain dari yang dimaksud language games dan bagaimana language games itu berberda dengan sesuatu yang bersifat empiris. Ketika suatu bahasa dipandang sebagai language games maka pertanyaan yang muncul adalah apakah matematika itu berisi sifat-sifat yang tak berubah? Pertanyaan ini telah memotivasi bagi karya-karya Wittgenstein tentang filsafat matematika selama akhir tahun 1930 dan awal 1940 . ada dua motivasi dalam penelitian Wittgenstein terhadap masalah ini. Pertama bahwa matematika ialah nexus dari language games dengan tatanan khususnya sendiri. Yang kedua matematika itu sebagai protes terhadap kelompok anarkis dan kelompok metafisik. Jika dikaitkan dengan motivasi yang pertama Wittgenstein menekankan pada pernyataan-pernyataan metematika yang tidak bisa berubah dan tidak bisa direvisi. Disana ia mengkontraskan pernyataan matematika dengan sesuatu yang empiris dan menguji sejauhmana keterlibarlibatan dari language games. Jika dikaitkan dengan motivasi yang kedua maka Wittgenstein menekankan kepada kontingensi matematika dengan kata lain kontingensi bahasa secara keseluruhan. Disana ada dua motivasi yang menunjukkan dua cara yang berbeda dimana anggapan sesuatu yang empiris bisa menghasilkan, dalam matematika, yang pertama , sebuah proposisi tidak bisa direvisi dengan pengalaman, tidak seperti statemen empiris, proposisi matematika tidak bisa digantikan oleh kemunculan pengalaman. Proposisi matematika mempunyai aturan tertentu dalam bahasa kita dan disini saya ingin mengatakan bahwa matematika itu adalah contoh yang selalu mengukur bukan sesuatu yang bisa diukur. Kita menggunakan matematika untuk menghukumi pengalaman bukan pengalaman yang menghukumi—memutuskan—matematika. Proposisi matematika bisa ditemukan dalam pendasaran teknik juga dalam fisika, fakta-fakta psikologi yang bisa membuat teknik itu menjadi mungkin.

3. The Language Games of norevasibility

Dalam poin ini ingin dikatakan bahwa ada satu aspek dalam pendekatan language games dimana arti dari matemtika dan bahasa empiris tidak berbeda, artinya criteria untuk mengklasifikasikan sebuah proposisi tidak tergantung pada bentuk akan tetapi tergantung pada penggunaan lingkungan dan aturan atau tatanan. Dan jika kita mengacu pada bentuk maka kalimat “jika kamu menambahkan 2+2=4 adalah kalimat yang ambigu, artinya baik pengguaan lingkungan dan tatanannya yang akan menentukan apakah ini proposisi matematika atau proposisi empiris.

Ini adalah analogi dalam diskusi Wittgenstein yang ditunjukkan dalam Philosopical Investigation. Analoginya adalah jika kamu menunjuk pada objek dalam permainan catur apakah kamu menunjuk pada raja catur atau keindahan ukiran kayunya? Dalam mempergunakan konsep Frege maka prinsip kontekstual membantu psikologisme, sedangkan dalam Philosopical Investigation-nya Wittgenstein berpendapat bahwa jawaban dari pertanyaan itu tidak tergantung kepada mental, psikologikal atau keberadaan klenik (sesuatu yang ghaib) akan tetapi yang tergantung kepada kondisi spesifik yang ditunjukinya. Ia menyatakan bahwa keniscayaan matematika bukan konsep psikologikal akan tetapi bentuk permainan bahasa. Lalu pertanyaannya, permainan bahasa apa yang ada dalam matematika? Disini ia menganggap bahwa karekater yang paling penting dalam proposisi matematika adalah sesuatu yang tidak bisa direvisi. Tidak ada jaminan disana bahwa matematika kita itu tidak akan berubah. Yang dimaksud dengan nonrevasivility adalah tidak bisa dirubah ketika dihadapkan dengan fakta-fakta empiris bukan fakta matematika yang masih memperhitungkan temuan-temuan yang masih bersifat kontradiktif dalam sebuah system. Nonrevisability juga berarti tidak adanya sensor bagi fakta empiris yang dapat membuat pernyataan metematika itu benar atau salah. Ini tidak berarti kita tidak bisa merevisi matematika kita sebagai perubahan konsepsi kita. Dalam pandangan Wittgenstein pernyataan matematika tidak bisa menggambarkan fakta-fakta empiris tetapi pernyataan matematika itu menyediakan framework untuk menggambarkan fakta empiris. Oleh karena itu fakta-fakta empiris tidak bisa merevisi fakta-fakta matematika.

Wittgenstein kadangkala meluaskan permasalahan-permasalah di atas dengan tiga kasus. Pertama, eksperimen. Kedua, prediksi, apakah seseorang secara sukses menghitung dan yang ketiga pernyataan-pernyataan matematika. Penjelasan pertama eksperimen bayangkanlah kamu dikasih skala yang seimbang, atau sejumlah bola maka disini muncul masalah. Taruhlah 81 bola itu dan masukkan kedalam keranjang, lalu ambil 81 bola lagi dan taruh dalam keranjang itu. Lalu ambillah 162 bola dan letakkan dalam keranjang yang satunya lagi secara sekaligus. Pertanyaannya apakah akan terjadi keseimbangan? Percobaan ini adalah satu langkah untuk menjawab pertanyaan diatas yang dapat dianggap sebagai sebuah eksperimen.

Prediksi. Seorang guru memberikan kepada seorang murid suatu soal 81+81? Kemudian guru itu membuat pridiksi bahwa” jika kamu menambahkan 81 ke 81 maka kamu akan mendapatkan 162. inilah kasus yang dicontohkan oleh Wittgenstein bahwa kalkulasi itu bisa dijadikan sebuah eksperimen. Pada kasus guru yang membuat seorang murid bisa melakukan sebuah kalkulasi tujuannya adalah agar supaya si murid tadi bisa melihat apakah dia bisa mengkalkulasi atau tidak, dan itu dinamakan eksperimen.

Statement matematika. Disini permasalahannya adalah bukan pada apakah murid itu akan mendapatkan jawaban yang benar, akan tetapi jawaban yang benar itu apa? Pernyataan metematika muncul daripada perhitungan-perhitungan dan secara sederhana hal tersebut dapat dicontohkan 81+81=162.

4.Dummette and Full Blooded Conventionalism

Di sini, Dummette memberi label pada pandangan Wittgenstein’s sebagai pandangan yang dipenuhi Full Blooded Conventionalism. Menurut Dummette, Wittgenstein percaya bahwa keniscayaan logis dari setiap segmen itu selalu merupakan ekspresi langsung dari konvensi linguistik. Ini bukan berarti bahwa perhitungan-perhitungan kita dan bukti-bukti yang ada berasal dari konvensi-konvensi yang disetujui melainkan setiap langkah dalam sebuah keputusan yang baru itu diperlukan.

Ini juga menunjukkan bagaimana cerita bahwa Wittgenstein sebagai seorang yang anarkis selalu berlangsung. Dengan mengabaikan gambaran realitas matematika melalui metode antropologi, dengan penekanan pada faktor-faktor kontingensi yang mengungkapkan bahasan matematika kita. Dan dengan mengklaim bahwa masing-masing langkah dari sebuah kalkulasi itu dapat ditunjukkan sebaliknya, Wittgenstein telah mereduksi beberapa keniscayaan matematika ke dalam level atau tingkatan kontingensi dan kesepakatan atau konvensi. Adapun yang dimaksud dengan kontingensi atau konvensi itu lebih khusus secara spesifik adalah sebuah persetujuan komunitas . Di sini Wittgenstein dipandang sebagai seseorang yang benar-benar radikal.

Ada interpretasi-interpretasi yang melewatkan pandangan-pandangan Wittgenstein tentang lokasi empiris kontingensi dan perhitungan antropologis serta menghilangkan pentingnya menempatkan Wittgenstein I sebagai seorang yang mempunyai latar belakang ilmiah bagi konvensi-konvensi itu untuk membuat makna secara keseluruhan. Wittgenstein sendiri memperkenalkan bahwa pandangannya seringkali disalah-artikan dengan sebutan full blooded conventionalist, ia melihat bahwa keberatannya terhadap Hardy seringkali disalah-konstruksikan sebagai sebuah pertentangan kepada anarkisme. Ini seperti kasus John Locke dalam berdebat dengan Leibniz. Leibniz menganggap bahwa program empirisme John Locke tidak dapat menghitung keniscayaan dan universalitas kebenaran matematika. Ini artinya Leibniz memandang bahwa John Locke berkomitmen kepada kesalahan kategori dalam berargumentasi bahwa kebenaran matematika itu bisa didapatkan dari pengalaman. Leibniz juga berfikir bahwa Joh Locke bingung membedakan antara konteks penemuan (contex of Discovery) dan konteks justifikasi (contex of Justification) yang membedakan antara manusia satu dan manusia yang lain namun masih dalam hubungan satu tatanan kebenaran yang alamiah dan selalu sama. Proposisi sejarah alamiah adalah bersifat empiris dan kontingen. Proposisi logika dan matematika bersifar non-empiris dan niscaya. Oleh sebab itu, penggabungan antara contex of Discovery dan contex of Justification telah menghilangkan karakter khusus dari proposisi-proposisi matematika dan logika. Beberapa komentator berpandangan sama tentang Wittgenstein dalam masalah ini, baik yang simpati maupun yang mengkritisi, telah menafsirkan Wittgenstein sebagai orang yang menolak karakter tertentu dari proposisi matematika, namun Wittgenstein tidak seperti John Locke yang telah menggabungkan antara proposisi matematika dengan proposisi sejarah alam. Wittgenstein bahkan memisahkan keduanya.

Wittgenstein berulang kali mengungkapkan perbedaan antara negasi internal dan negasi eksternal. Yang dimaksud negasi internal dan terminologi Wittgenstein adalah dalam matematika terdapat kriteria-kriteria yang dapat menentukan kebenaran, contoh negasi internal dari 252 = 265 secara sederhana berarti bahwa 252 itu tidak sama dengan 265, akan tetapi ada hal lalin di situ .Sedangkan negasi eksternal lebih merupakan statemen antropologis yang mana berarti bahwa tidak terdapat criteria bahwa seseorang tidak setuju tentang persamaan 252 itu bahkan seseorang yang tidak setuju dengan 252 = 625 tidak bisa menjadi proposisi yang empiris yang mana orang lain menghitung demikian karena 252 ¹ 625 tidak akan menciptakan proposisi yang disetujui oleh orang-orang tapi dihasilkan oleh yang lain dan bahkan pertidaksamaan itu akan menjadi benar jika orang-orang tidak menghitung secara keseluruhan. Dalam konsepsi Language Game Wittgenstein telah mewanti-wanti kepada kita untuk melawan kebingungan dua pandangan yang berbeda yang bisa muncul dalam matematika. Wittgenstein mengatakan dalam Philosophical Investigationn-nya:

“Keniscayaan proposisi-proposisi “ manusia percaya bahwa 2 +2 = 4 dan 2+2 = 4 tidak berarti sama. Yang terakhir adalah proosisi matematika, sedangkan yang pertama walaupun membuat makna secara keseluruhan bisa berarti bahwa manusia telah tiba pada proposisi matematika. Dua proposisi di atas mempunyai penggunaan yang berbeda.”

Wittgestein lebih lanjut mengatakan: “Disini kita melihat dua macam pertanggungjawaban yang pertama bisa dikatakan sebagai tanggungjawab matematika. Ini berarti proposisi matematika adalah bertanggungjawab pada proposisi yang lain. Ketika diberi prinsip-prinsip tertentu dan hukum-hukum deduksi, kamu dapat mengatakan pada benda-benda tertentu namun tidak bisa mengatakan kepada benda yang lainnya. Akan tetapi secara total ada hal lain yang perlu kita pertanyakan dan sekarang kita akan mempertanyakan kesemua tanggungjawab itu.”

Ada beberapa catatan yakni, sejauh mana kalimat “ prinsip-prinsip tertentu yang bersifat given atau terberi dan hukum-hukum deduksi yang dapat kamu katakan terhadap benda-benda tertentu tidak kepada yang lainnya” adalah berasal dari penafsiran Dummett. Pendapat Dummett dalam tiap tingkat bahwa kita bisa mengatakan apapun yang kita suka. Tanggung jawab yang kedua adalah merupakan perhatian Wittgenstein. Bagian ini pandangan filsafat Wittgenstein sebagai sesuatu yang tidak bisa direvisi namun dia bukan keluar dari revisi praktek matematika, akan tetapi ingin memahami keaslian karakter matematika itu sendiri.

Dimulai bahwa sejumlah aturan secara keseluruhan dengan makna kontingesinya tidak membuat aturan-aturan individu dalam bentuk keniscayaan. Dengan kaa lain tidak ada inkonsistensi.

[1] “2+2=4” adalah proposisi niscaya dalam bahasa Inggris

[2] kalimat bahwa ‘2+2 = 4 adalah proposisi yang niscaya dalam bahasa Inggris adalah contingent.

5. The Nature of Contingency

Perhatian Wittgenstein di sini adalah apa yang membuat bahasa itu menjadi mungkin, dan ini adalah tiang pondasi dari semua bahasa. Wittgenstein mengatakan bahwa Frame Work adalah kontingensi atau kondisi dimana sifat-sifat yang tidak bisa diubah dari matematika itu masih ada. Dengan kata lain, pandangan Wittgenstein adalah bahwa semua bahasa menyisakan kontingensi.

Wittgenstein menekankan bahwa abahsa matematika seperti bahasa kita sehari-hari adalah bagian dari sebuah praktek dan sebuah praktek menyisakan kontingensi meskipun terlalu menyederhanakan bahwa motivasi primer Wittgenstein dalam menganalisa bahasa dalam term praktek menghindari psikologisme dan gambaran Hardi serta yang lainnya.

Hal ini juga melawan konsepsi kalkulus dan interpretasi Dummette. Dalam pembacaan Cora Diamond, Dummett mengatakan bahwa argumen Wittgenstein tampak dalam pandangan Dummette itu bahwa aturan-aturan membuat permainan dan aturan-aturan yang berbeda akan menjadi keliru dan hanya akan membuat permainan yang berbeda. Ketika tidak ada pilihan dari aturan-aturan itu semua keliru maka kita bebas untuk memilih. Dummette menganggap bahwa pandangan ini hanya melarang kita membandingkan antara permainan catur yang satu dengan catur yang lain. Ini hanya pandangan Wittgenstein yang memegang konsepsi kalkulus dan pandangan Wittgenstein kemudian yang menolak konsepsi itu. Harapan kelompok anarkis dalam bentuk bentuk sosiologistiknya adalah bahwa secara keseluruhan tidak ada matematika atau dengan kata lain penggunaan-penggunaan bahasa menggunakan aturan yang bebas dan konvensi yang bisa merubahnya.

Akan tetapi Wittgenstein menolak ini. Dalam konsep Language game tidak sama dengan konsep kalkulus. Dalam konsep Language Game ada aturan atau konvensi tersendiri. Aturan-aturan itu adalah bagian dari praktek yang dikaitkan dengan lingkungan yang mengurung kebebasan superior untuk memilih. Lingkungan itu berisi alam dan alam manusia juga memperhatikan perilaku baik permainan catur dalam keseimbangannya dan manusia dalam penderitaannya.

Wittgenstein sangat hati-hati di sini dan mengambil jarak bagi dirinya dari interpretasi yang penuh dengan percekcokan yang sekaligus telah mewanti-wanti kita untuk tidak memegang kategori yang keliru yang memusingkan kontingensi system eksternal dalam keniscayaan internal yang berbeda dalam sebuah system . Desantara



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian