Masyarakat Sebagai Diskursus
M. Holid | 12 - Jun - 2008Dalam beberapa dekade ini, banyak peneliti menggunakan metafor sebagai pisau analisis kebudayaan. Salah satu metafor itu adalah metafor masyarakat sebagai kreasi-kreasi bahasa yang terdiri dari dua macam; metafor masyarakat sebagai teks dan metafor masyarakat sebagai percakapan. Pandangan ini menjadi semacam ortodoksi para kalangan teoretisi kajian budaya dan humaniora. Meskipun mereka berbeda-beda dalam pendekatannya, tapi ada satu sisi kesamaannya yakni pandangan bahwa realitas sosial merupakan hasil kontruksi kebahasaan yang diwujudkan melalui simbol-simbol sosial. Pandangan ini membawa mereka dikenal sebagai konstruksionis.
Konstruksionis secara tipikal menolak anggapan umum bahwa di dunia sana ada realitas objektif. Dunia yang tidak terkait dengan bahasa dan kesadaran. Konstruksionis beranggapan bahwa dunia sebetulnya hasil konstruksi bahasa yang disepakati komunitas bahasa tertentu. Salah satu cara untuk mengetahui bahwa realitas sebetulnya hasil konstruksi bahasa adalah dengan cara mengetahui dari dalam, yakni dengan mengkaji secara kritis asumsi-asumsi yang biasa kita dengar dan kita terima begitu saja dalam kehidupan sehari-hari.
Pandangan bahwa dunia merupakan hasil konstruksi banyak dipakai juga oleh kelompok posmodern yang diwakili oleh pemikir-pemikir seperti Lyotard, Denzim, Jencks, Seidman, Wagner, Docherty, Dicken, Fontana dan Lemert. Dan pandangan di atas membawa dampak kepada penafsiran tentang realitas. Realitas kemudian menjadi multi tafsir dan tidak tunggal. Realitas bukan what it used tobe (apa adanya), ujar Anderson. Implikasinya, tidak ada otoritas apapun dapat mendefinisikan realitas sebagai sesuatu yang universal dan tunggal. Baik itu otoritas agama, politik, maupun ilmu pengetahuan. Implikasi ini mengakibatkan mereka dituduh sebagai pembawa kebudayaan menjadi terpecah-pecah (terfragmentasi), nilai-nilai moral menjadi relatif, dan pembawa kekacauan sosial. Tapi pembela pandangan ini mengatakan bahwa posmodernisme membawa pemahaman baru tentang realitas menuju realitas yang lebih pluralis.
Dalam titik yang paling ekstrim, konstruktivis diklaim sebagai pandangan yang mereduksi realitas ke dalam bahasa. Klaim ini didasarkan kepada usaha mereka yang mendefinisikan semua fenomena kemanusiaan sebagai produk kebahasaan dan kesadaran. Kelompok yang mengklaim itu beranggapan bahwa tidak semua realitas itu hasil konstruksi bahasa. Misalnya grafitasi bumi. Gaya grafitasi merupakan kekuatan yang nyata. Grafitasi sendiri tidak ditentukan oleh kata “gravity”. Dengan demikian, grafitasi bukan pemahaman yang bersifat kontingen (tergantung), dan juga bukan hasil konstruksi kebahasaan.
Tanggapan balik dari konstruktifis adalah bahwa realitas di luar bahasa hanya dapat dinyatakan lewat bahasa, tak terkecuali grafitasi. Argumen mereka mengikuti Immanuel Kant dan Emile Durkheim. Yakni pengetahuan kita tentang realitas di luar diri kita hanya mungkin jika ia melalui katagori-katagori dan pengalaman-pengalaman. Dan sumber pengalaman selalu terkait dengan bahasa.
Perdebatan-perdebatan itu cukup lama dan panjang dan hal ini membuktikan bagaimana sebetulnya kekuatan bahasa menjadi perhatian utama dalam atmosfer intelektual, khususnya abad dua puluh satu ini, meskipun bukan satu-satunya. Dan untuk mengetahui dari mana munculnya kekuatan itu, perlu dipaparkan juga sejarah singkat yang dapat dijadikan acuan tentang konstruksi bahasa atas realitas.
Masyarakat sebagai sebuah teks.
Citra bahwa masyarakat sebagai konstruksi bahasa telah melanda berbagai disiplin keilmuan pada dekade abad dua puluh. Hilary Lawson melihat bahwa era posmodern merupakan era dimana kita hidup dalam bahasa. Manusia tidak dapat berbicara tentang sesuatu apapun tanpa melalui bahasa. Karena manusia lahir ke dunia sudah dilingkupi oleh bahasa. Pengenalan manusia akan sesuatu melalui simbol dimediasi oleh bahasa. Simbol-simbol itu sendiri mengandung makna yang menggambarkan realitas sosial. Realitas sosial itu dapat kita baca andaikan kita membayangkan masyarakat sebagai teks.
Andai kita tempatkan sebuah diskursus yang dituliskan (teks) sebagai bentuk perumpamaan masyarakat, maka ingatan kita tentang teks adalah teks itu ditulis oleh pengarang yang dapat dibaca, diedit, dan dapat direvisi ulang sesuai dengan kehendak pencipta maupun pembaca. Dengan demikian, masyarakat sebetulnya hasil desaign yang direncanakan dan kita dapat membaca dan mengedit ulang sesuai dengan keinginan kita sebagai pembaca dan penciptanya.
Teks berisi simbol dan tanda yang mengandung makna. Dan makna itu hanya dapat dipahami oleh pendekatan-pendekatan yang memang mengkhususkan diri kepada telaah tentang teks dan tanda. Pendekatan-pendekatan itu antara lain adalah hermeneutik, strukturalisme perancis, semiotik dan post-strukturalisme.
Hermeneutik
Tradisi ini berurat-akar pada tradisi filsafat dan keagamaan di Jerman awal abad 19, yang memfokuskan diri kepada cara memahami dan menafsirkan teks-teks klasik. Hermeneutik sebagai seni interpretasi dialamatkan kepada seorang tokoh legendaris yunani, Hermes. Hermes dikenal sebagai utusan tuhan. Tugasnya adalah sebagai mediator antara tuhan dan manusia untuk menyampaikan maksud tuhan kepada manusia. Karena manusia sendiri tidak bisa berhubungan secara langsung dengan tuhan. Sehingga manusia butuh perantara untuk memahami maksud tuhan.
Pendekatan yang digunakan hermeneutik adalah pendekatan sejarah. Tujuan yang ingin dicapai adalah menyelamatkan makna yang terdapat di dalam teks. Awalnya hermeneutik digunakan untuk menafsirkan teks-teks klasik. Namun dalam perkembangannya hermeneutik digunakan juga untuk menafsirkan teks-teks modern, baik itu berupa teks suci (kitab suci) maupun teks sekuler (non-kitab suci).
Tokoh utama hermeneutik kontemporer adalah Hans Georg Gadamer. Ia adalah seorang teoris berkebangsaan Jerman. Truth and Method merupakan karya monumentalnya. Gadamer membaca teks klasik sebagai sebuah proses dialog dengan masa lalu. Dialog itu mengandaikan adanya peleburan cakrawala penafsir dan pengarang. Sehingga tindakan 'menafsirkan' adalah proses peleburan cakrawala penafsir dan pengarang. Adanya pengandaian ini disebabkan oleh penulisan teks itu sendiri. Setiap teks ditulis melalui horison (cakrawala) sejarah pemahaman tertentu. Dan pembaca dalam menafsirkan sebuah teks juga melalui cakrawalanya sendiri yang terkait dengan ruang dan waktu tertentu pula. Sehingga setiap penafsiran yang autentik mengandaikan adanya 'peleburan cakrawala' (fusion of horison) yang melampaui jarak dan waktu antara pembaca dengan teks. Misalnya, ketika pembaca menjumpai teks-teks yang ditulis oleh Plato maupun Buddha, pembaca membawa pra-pemahamannya, prasangkanya dan apa yang dia perhatikan saat ini yang kemudian dia bawa untuk membaca teks-teks yang diproduksi dalam konteks jarak sejarah dan budaya yang berbeda. Sehingga pembaca ditantang untuk membentangkan cakrawala seluas-luasnya demi memahami tulisan-tulisan Plato maupun Buddha tersebut.
Cara lain untuk membaca sebuah teks adalah cara yang dikembangkan oleh Paul Ricoeur yakni dengan cara membaca teks secara berlawanan dengan isi teks. Tujuannya adalah menemukan makna yang terpendam dan kepentingan-kepentingan yang tersembunyi di balik teks. Cara ini dikenal dengan hermeneutika kecurigaan (hermeneutics of suspicion). Begitu pula sebaliknya, kita bisa membaca teks dengan cara apresiatif (hermeneutics of recovery).
Andai kita mencermati dua model pendekatan Ricoeur, secara implisit tersirat bahwa makna tidak hanya muncul melalui teks, akan tetapi makna bisa juga muncul melalui diri pembaca. Artinya, makna yang tidak terkandung dalam suatu teks bisa dimunculkan oleh pembaca. Jadi ada hubungan yang komplek antara teks, pembaca, pengarang dan komunitas penafsir. Hubungan yang kompleks ini kemudian banyak diteliti oleh teoretisi sastra untuk digunakan dalam penelitian karya sastra.
Sedangkan pendekatan model Gadamer, bisa diterapkan lebih jauh untuk menafsirkan fenomena kebudayaan meskipun pendekatan yang ditawarkan tidak sederhana, terlalu mekanis dan tidak memadai untuk menafsirkan artefak kebudayaan dan teks-teks klasik. Untuk itu perlu kiranya kita mengacu kepada pendapat Anthony Giddens yang mengatakan bahwa analisis kebudayaan bersifat kompleks dan membutuhkan hermeneutika ganda. Artinya penafsir tidak hanya mencari hal yang obyektif dari manifestasi masyarakat, melainkan juga harus merekonstruksi penafsiran yang lebih dalam (Verstehen).
Strukturalisme dan semiotik
Kalau hermeneutik berakar pada tradisi filsafat dan keagamaan di Jerman, maka strukturalisme Perancis dalam perkembangannya terinspirasi oleh disiplin linguistik modern yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure. Munculnya kajian linguistik ini telah membuka metode baru dalam membandingkan sifat sistem sosial dengan sifat sistem bahasa. Dalam disiplin antropologi, Lévi-Strauss-lah yang mengembangkan analisis sistem bahasa ini untuk menganalisis kebudayaan.
Dengan menggunakan pendekatan model Saussure dan Roman Jakobson, Lévi-Strauss mencari asal-muasal yang menentukan tindakan manusia yang dapat diteliti melalui kode struktur bahasa. Ia mendasarkan diri kepada keyakinannya bahwa sistem budaya dapat ditemukan dengan mengenali sistem aturan linguistik yang bersifat nirsadar.
Disini dia merujuk kepada konsep Saussure tentang bahasa yang terdiri dari langue dan parole. Untuk memudahkan konsep langue dan parole ini, kita dapat membandingkan dengan permainan catur. Permainan catur diatur oleh sebuah aturan abstrak yang menentukan masing-masing bidak catur untuk melangkah. Aturan abstrak itu dinamakan langue. Karena ada aturan itu, para pemain memindahkan bidak catur sesuai dengan aturan-aturan abstrak itu. Perbuatan para pemain dalam memindahkan masing-masing bidak catur sesuai dengan aturan abstraks itu dinamakan parole. Dengan demikian kita tidak dapat bermain catur itu jika kita tidak tahu aturan-aturan yang menentukan permainan tersebut. Demikian pula dalam memahami aktor sosial. Kita tidak dapat memahami perbuatan mereka jika kita tidak paham sistem aturan struktural yang mendorong mereka dalam bertindak. Dengan melihat fenomena sosial sebagai manifestasi dari sistem linguistik yang lebih dalam, Lévi-Strauss berharap dapat menemukan struktur fundamental pikiran manusia yang bersifat nirsadar.
Pandangan lain dari Saussure dan Jakobson tentang bahasa adalah bahwa bahasa merupakan sistem perbedaan. Elemen-elemen bahasa yang terdiri dari suara, kata, grammar dan makna, ditentukan maknanya melalui perbedaannya. Makna suara Oh ditentukan oleh suara ah. Makna kata hijau ditentukan oleh kata kuning. Dan seterusnya. Bahasa juga bisa dipahami sebagai sistem oposisi biner. X maknanya ditentukan oleh bukan X. Lévi-Strauss menggunakan pendekatan biner ini untuk diterapkan kepada kebudayaan. Kebudayaan manusia, ujar Lévi-Strauss, ditentukan dari oposisi binernya. Perempuan/bukan perempuan, suci/profan, natural/kultural. Dan seterusnya.
Adapun fenomena budaya yang ditelaah Lévi-Strauss meliputi sistem persahabatan, sistem pernikahan, praktek-praktek makanan, dan mitologi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan linguistik struktural. Dalam pendekatan ini, masyarakat dilihat sebagai sistem komunikasi (hubungan timbal balik). Dalam perkawinan misalnya, aturan-aturan pernikahan memastikan adanya sirkulasi perempuan antar kelompok. Sebagaimana aturan bahasa yang menjadi sirkulasi pesan. Hal ini senada dengan pendapat Clarke yang mengatakan bahwa dalam sebuah perkawinan terdapat hubungan timbal balik dan kerja sama antar kelompok.
Dalam hal mitologi, Lévi-Strauss melihatnya sebagai konstruksi bahasa yang rumit yang didasarkan kepada oposisi biner. Mitos merupakan model-model mental yang penuh dengan kekuatan, yang diekspresikan dalam bentuk simbolik. Simbol itu kemudian menghasilkan perbuatan yang bersifat kultural. Laksana lembaran musik yang menghasilkan pertunjukan orkestra.
Untuk mengkaji simbol lebih dalam muncul kemudian kajian tersendiri yang dikenal dengan kajian semiotik. Tokoh terkenal dalam bidang sastra yang menerapkan semiotik adalah Rolland Barthes. Barthes kemudian mengembangkan semiotik ini untuk menganalisis fenomena budaya yang lebih luas. Fenomena budaya yang dianalisis itu meliputi film-film Hollywood, mode rambut, makanan, pakaian, mainan anak-anak, tarian telanjang anak dan iklan sabun cuci. Semua fenomena itu dianalisis sebagai sistem simbol. Semiotik ini kemudian membawa kemungkinan baru untuk mengkaji kebudayaan.
Dekonstruksi dan Post-strukturalisme.
Menjelang tahun 1960, strukturalisme perancis menjadi kekuatan utama bagi teori antropologi, sekaligus menjadi sarang kritikan paling keras. Adalah Lévi-Strauss yang menggunakan strukturalisme perancis sebagai acuan teori antropologi menjadi pemikir yang paling keras mendapat kritikan. Kritikus paling utama yang mengkritiknya adalah Jacques Derrida. Ia adalah seorang ahli teori sastra berkebangsaan Perancis.
Lévi-Strauss yakin bahwa oposisi biner dalam fenomena budaya merupakan struktur stabil yang mendasari sistem-sistem budaya. Derrida berpendapat sebaliknya. Ia mengatakan bahwa oposisi biner seperti halnya nature versus culture, speaking versus writing, adalah dikotomi yang kabur, tidak stabil, ambigu dan berlipat laksana tumpukan kartu. Relasi atau sistem oposisi yang terus-menerus berubah dan tidak stabil itu dinamakan differance, dalam terminologi Derrida. Differance, dalam bahasa perancisnya bermakna permainan kata-kata yang komplek.
Dengan konsep differance Derrida tidak setuju dengan pembedaan yang kita buat. Dalam membuat pembedaan, secara tidak langsung kita menyatakan tidak hanya perbedaan antara istilah oposisi, melainkan juga hubungan perbedaan antar istilah itu sendiri. Artinya kita memberikan privelese (keistemewaan) satu istilah di atas istilah yang lain. Oleh karena itu makna final dalam oposisi perlu ditangguhkan. Andaikan kita tetap memberikan makna final atas pembedaan satu istilah, secara tidak langsung kita mensuperiorkan satu istilah di atas istilah yang lain. Dan secara implisit pembedaan istilah itu mengandung kepentingan si pembuat pembedaan itu. Misalnya pembedaan istilah kulit putih dan kulit hitam. Kulit putih dimaknai sebagai kelas atas. Kulit hitam sebagai kelas bawah. Dengan sendirinya pembedaan tersebut menciptakan hak istemewa kulit putih dan mewakili kepentingan kulit putih.
Untuk keluar dari pembedaan itu, Derrida menawarkan konsep dekonstruksi. Yang dimaksud dengan dekonstruksi ini adalah dengan memberikan hak istimewa terhadap term yang dimarjinalkan. Seperti memberikan makna lebih kepada istilah hitam atas putih, perempuan atas laki-laki. Namun cara ini menimbulkan konotasi minor kepada yang lain. Dan cara ini hanya mereproduksi cara lama, yakni dimungkinkannya penindasan pada term lain. Oleh karena itu Derrida tidak hanya membalik pembedaan itu tapi mempertanyakan keberadaan pembedaan itu sendiri. Dekonstruksi kemudian tidak hanya menantang sesuatu yang dikatakan tapi juga menampakkkan sesuatu yang tersembunyi dan disembunyikan serta memberikan suara kepada sesuatu yang dibungkam oleh penulisan dan pembicaraan lama.
Dengan melihat model linguistik Saussure, Derrida mengatakan bahwa hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) secara inheren bersifat lentur, licin dan tergantung konsteks. Sehingga makna kemudian menjadi tidak stabil, tidak dapat diputuskan dan selalu terbuka kepada ragam pembacaan dan permainan bahasa yang bebas.
Tokoh lain yang digolongkan kepada kelompok poststrukturalis dalam kajian budaya (Cultural Studies) adalah seorang ahli sejarah sosial Perancis, Michel Foucault. Metode yang digunakan adalah metode arkeologi. Dengan metode ini, ia bermaksud mencari jejak-jejak dari sejarah ide dalam suatu diskursus dan kemudian merekonstruksi ulang guna menemukan diskontuitas suatu ide-ide yang diteliti.
Diskursus sendiri merupakan kesatuan bahasa yang menyangkut beberapa domain tertentu tentang ilmu pengetahuan. Sebagai kesatuan bahasa, diskursus lebih dari sekedar kata, kalimat, paragraf maupun buku. Diskursus merupakan representasi dari pikiran, tulisan, dan pembicaraan komunitas bahasa tentang fenomena yang terjadi di suatu tempat dan waktu tertentu. Dalam contoh yang dikemukan dalam beberapa karyanya, diskursus yang diteliti meliputi kegilaan, seksualitas, dan kriminalitas. Dalam dekade tertentu, baik kegilaan, seksualitas maupun kriminalitas mengalami pemaknaan yang berbeda. Pemaknaan ini ditentukan oleh regim kebenaran tertentu yang tidak terkait kepada subyek. Regim kebenaran ini kemudian menentukan orang gila dipasung, kriminalis dihukum dan pelaku seksual dicap dosa. Pengeksekusian yang didasarkan atas regim kebenaran tertentu ini kemudian dikenal dengan konsep kekuasaan oleh Foucault. Dengan demikian kekuasaan sebetulnya adalah efek dari regim kebenaran tadi. Dan efek ini bersifat relasional dan ada dimana-mana.
Untuk melakukan kontrol kepada pelaku kriminal diciptakan sebuah desain yang seolah-olah pelaku kriminal itu selalu merasa diawasi gerak-geriknya. Desain ini dalam terminologi Foucauldian dikenal dengan istilah panoptik (panopticon). Panoptik ini mendapatkan bentuknya lewat penjara, barak militer, sekolah dan rumah sakit. Bentuk pengawasan itu diwujudkan dalam bentuk arsitekturalnya.
Sebetulnya konsep panopticon ini dicetuskan oleh Jeremy Bentham, seorang filosof utilitarian Inggris. Kemudian konsep itu digunakan oleh Michel Foucault untuk menyimbolkan negara modern yang mengawasi pertambahan penduduk melalui sensus. Sensus penduduk sebetulnya alat kontrol negara yang efisien untuk mengatur warganya.
Pendekatan Foucauldian ini memberikan perspektif baru bagi perkembangan Curtural Studies, karena pendekatannya tidak ditujukan kepada subjek atau even tertentu seperti sejarah Napoleon misalnya, melainkan yang ditekankan dalam model pendekatan Foucault ini adalah diskursus sosial yang telah menentukan pemahaman mereka tentang dunia dan diri mereka sendiri. Tokoh poskolonial yang banyak memakai pendekatan model ini adalah Edward Said (1978). Dia meneliti tentang orientalisme (paham tentang ketimuran). Dengan menggunakan pendekatan Foucauldian ia sampai pada kesimpulan bahwa orientalisme bukan muncul secara alami melainkan hasil konstruksi barat atas timur sebagai sesuatu yang eksotis dan orang-orangnya sinis. Dengan kata lain, oposisi biner antara ‘timur’ dan ‘barat’ sebetulnya konstruksi kebudayaan yang bersifat arbitrer yang melayani kepentingan politik pencipta istilah timur itu sendiri, yakni barat. Hal ini semakin menguatkan tesis betapa pengetahuan dan kekuasaan sebenarnya terpisah oleh selubung yang sangat tipis dan saling berkelindan.
Masyarakat Sebagai percakapan.
Setelah kita mencermati pendekatan masyarakat sebagai teks, kita akan beralih kepada pendekatan metafor masyarakat sebagai percakapan. Pendekatan ini melihat bahwa kehidupan sosial diciptakan melalui percakapan. Percakapan itu sendiri merupakan hasil relasi yang saling bertemu dalam satu visi ataupun sebaliknya. Metode yang digunakan dalam metafor ini antara lain interaksi simbolik, etnometodologis, teori kritis dan feminisme posmodernis. Tujuan yang ingin dicapai dari masyarakat sebagai sebuah percakapan ini adalah munculnya suara-suara yang selama ini dipandang sebagai marjinal, diabaikan dan didiamkan dalam wacana publik. Seperti masyarakat Sub-Altren (petani/marhaen), kelompok gay, lesbi, perempuan, masyarakat timur dan masyarakat poskolonial.
Interaksi Simbolik
Interaksi simbolik merupakan bentuk kelanjutan dari fenomenologi sosial. Cikal bakal teori ini merujuk kepada George Herbert Mead, salah seorang filosof sosial pragmatis, dari universitas Chicago. Fokus utamanya adalah bahasa yang mengkonstruksi ‘diri’ sebagai salah satu elemen yang menciptakan masyarakat, disamping interaksi masyarakat itu sendiri.
Mead yakin bahwa pikiran, diri, dan masyarakat merupakan hasil dari interaksi sosial. Interaksi-interaksi dan identitas kita selalu dimediasi oleh simbol-simbol tertentu. Hal ini dapat dibuktikan ketika kita sedang istirahat dan dalam keadaan sendiri tanpa siapapun. Lalu kita ambil sebuah kertas kosong. Dan buat satu pertanyaan, siapa saya? Jawabannya ditulis hingga mencapai dua puluh halaman. Jawaban sejak awal boleh sama. Jawaban terakhir menggunakan jawaban yang berbeda. Semua jawaban ditujukan kepada diri kita sendiri sebagai 'saya' bukan orang lain. Jawaban itu ditulis dengan cepat tanpa harus memikirkan logika dan pentingnya sebuah jawaban.
Jawaban yang menggunakan kata I merujuk kepada spontanitas dan intuisi subyektif. Jawaban yang menggunakan kata “me” telah menempatkan diri kita sebagai objek sosial. Dan secara linguistik dapat digantikan dengan kata atau frase “it”. Grammar yang tersembunyi adalah subyek-objek. Dan diringi dengan konjugasi verbal atau “to be”. Sehingga setiap jawaban yang kita kemukakan atas pertanyaan di atas menurut Mead pasti; saya adalah (I am This) atau saya merupakan (I am That).
Ujian model di atas bertujuan untuk meyakinkan bahwa manusia selalu menempatkan dirinya dalam kerangka obyek linguistik. Kapasitas ini menurutnya adalah kesadaran manusia yang fundamental dan kemampuan manusia untuk selalu mengembangkan dan merefleksikan identitasnya dalam konteks sosial. Tanpa adanya bahasa yang diperoleh secara sosial atau terpisah dari identitas yang kompleks, manusia hampir tidak dapat berpikir tentang dirinya sendiri.
Strategi utama yang digunakan dalam interaksi simbolik adalah teori labelling (labelisasi). Premis dasarnya adalah bahwa bahasa mendefinisikan dan meredifinisikan identitas. Sejak manusia lahir sudah diberi label berdasarkan jenis kelamin, apakah laki-laki atau perempuan. Label-label gender dikenal untuk memproduksi perbedaan tanda. Intinya adalah kita tidak dapat mengenali orang lain tanpa adanya label.
Para ahli teori labelling tidak serta merta memandang pelabelan ini sebagai sesuatu yang negatif. Namun pada tataran linguistik, sesuatu tidak dapat dikenali jika tidak ada label yang menempel kepada sesuatu itu. Label-label tertentu mungkin bisa destruktif, konstruktif atau netral, tapi pelabelan terhadap seseorang baik pendek maupun panjang merupakan sesuatu yang niscaya dalam interaksi masyarakat. Kita butuh kata benda yang merujuk kepada katagori-katagori seseorang.
Teoretisi labelling mengatakan bahwa label dan reaksi sosial terhadap label-label tersebut membawa pengaruh yang kuat dalam kehidupan sosial. Misalnya orang yang kita takuti, kita menyebutnya sebagai "Vandalisme" (sifat suka merusak). Aksi awal yang kita lakukan disebut "primary deviance". Vandalisme itu kemudian dinternalisasi oleh kita dan kita sendiri menyesuaikan prilaku kita dengan harapan-harapan normal yang menyertainya. Dalam tahap ini, reaksi itu disebut dengan devian sekunder “deviance secondary”. Devian yang dipengaruhi oleh pelabelan.
Devian itu sendiri, dalam arti tertentu, diciptakan oleh definisi. Setiap masyarakat mendefinisikan seseorang atau model tingkah laku yang lain sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima, meskipun model atau seperangkat tingkah laku itu berasal dari lingkungan sendiri ataupun berasal dari budaya lain. Dalam beberapa tahun, beberapa prilaku distigmatisasi sebagai deviant (menyimpang). Di daerah tertentu merokok di depan umum dipandang sebagai sebuah penyimpangan.
Bagi ahli teori labelling, kekuatan sosial seringkali mendifinisikan apa dan siapa yang termasuk kelompok deviant demi meneruskan dan menjalankan definisi sosial mereka. Di dalam kebudayaan Amerika Utara, kekuasaan untuk mendefinisikan normalitas dan menyimpang secara tradisional diwujudkan dalam institusi-institusi, seperti pengadilan dan badan pembuat undang-undang, badan hukum bisnis, lembaga keagamaan dan media masa, yang dalam sejarahnya dikontrol secara langsung oleh gedung putih, dan secara ekonomi dikontrol oleh laki-laki yang heteroseksual. Tidak aneh, jika kemudian definisi menyimpang secara tradisional cendrung merefleksikan cara pandang dan kepentingan segmen masyarakat yang mempunyai kekuatan penuh.
Untuk merespon kekuatan dominan, para kaun oposan seringkali muncul dari kaum minoritas etnik dan ras, kaum gays, perempuan, dan kelompok marjinal lain. Tujuannya menentang definisi masyarakat tradisional dan untuk meredefinisi makna kebudayaan dengan cara yang dapat merefleksikan kepentingan-kepentingan mereka. Ketika pergerakan-pergerakan secara ideologi dicap sebagai radikal dan liberal, kelompok kenservatif akan meredefinisikan makna kebudayaan, misalnya, pelekatan label "masyarakat yang sah" untuk memasukkan mereka yang belum dilahirkan, dan label "criminal" untuk memasukkan mereka yang menerima aborsi. Pendefinisian dan redefinisi devian kemudian dapat menjadi proses politik.
Secara umum, pendapat di atas adalah pendapat yang dikemukakan oleh ahli teori labelling. Mudahnya teori labellng itu adalah cara melihat diri kita melalui orang lain. Kita melihat diri kita sendiri sebagaimana orang lain melihat kita, dan kita memberi label kepada diri kita sebagai mana orang lain memberi label pada kita.
Prinsip dasar teori interaksi simbolik telah dikembangkan oleh Charles Horton Cooley pada tahun 1902, yang tertuang dalam metafor-metafornya yang berjudul "looking-glass self". Cooley melihat bahwa identitas kita diukur dengan respon verbal dan non-verbal yang kita terima dari orang lain. Orang lain laksana kaca cermin yang datang untuk memberi pemahaman tentang siapa diri kita. Disini ada semacam kecendrungan untuk selalu menghidupkan label kepada diri kita. Label itu dalam kasus tertentu dilekatkan oleh orang yang mempunyai otoritas. Namun kita juga harus berusaha keras untuk menghidupkan label-label itu dalam rangka menolak label-label orang lain yang tidak sesuai dengan label pilihan kita sendiri. Dalam banyak kasus, label-label yang orang lain tentukan bisa bekerja bukan sebagai ramalan yang memuaskan diri, tapi ramalan yang mengabaikan diri. Tapi dalam kasus yang lain, kita bertanggung jawab terhadap label-label yang orang lain terapkan kepada kita.
Cara menolak identitas yang diberikan orang lain adalah dengan cara menciptakan identitas alternatif. Seorang ahli antropologis Mary Catherine Bateson menjelaskan cara ini dalam karyanya Composing a Life. Karya itu diilhami oleh tiga orang wanita yang selalu menciptakan identitas baru. Mereka selalu melakukan “editing” dan “rewritting”, tentunya dengan istilah yang mereka ciptakan sendiri. Proses yang sama dikemukakan juga oleh Berger, dalam rekonstruksi biografinya, ia menafsirkan masa lalunya dengan tata cara dan kepentingan kehidupan masa sekarang.
Interaksi simbolik mempunyai ketertarikan tidak hanya kepada cara kita mendefinisikan identitas kita tapi juga bagaimana cara kita mendefinisikan situasi dimana kita menemukan diri kita sendiri. Adalah Thomas seorang ahli teori yang terkenal mengatakan bahwa jika kita mendefinisikan situasi sebagai sesuatu yang nyata, mereka akan menjadi nyata dalam segala konsukuensinya. Teori ini memberi kesan seolah-olah makna yang dilekatkan pada situasi tertentu bisa jadi menjadi hal yang lebih penting untuk memahami prilaku manusia dari pada kenyataan yang secara objektif benar. Serigkali kita melakukan sesuatu yang kita yakini benar, padahal apa yang kita yakini itu sama sekali tidak berkaitan dengan kasus aktual. Misalnya, perempuan-perempuan abad pertengahan yang telah dituduh bahwa mereka telah dirasuki setan. Mereka banyak yang dieksekusi dan dibunuh berdasarkan kepercayaan mereka atas tuduhan yang berasal otoritas gereja dan masyarakat tanpa mempertanyakan apakah setan itu betul-betul ada atau tidak. Inilah kemudian yang ingin dibongkar oleh para teoris interaksi simbolik. Dengan demikian, Interaksi simbolik ingin membuktikan bahwa otoritas yang lebih kuat bisa mendefinisikan siapa saja yang dipandang sebagai golongan yang sesat.
Secara aktual, seringkali tindakan ceroboh dilakukan dengan langsung mendefinisikan sebuah situasi secara tunggal. Kecerobohan itu mengandaikan bahwa pemahaman terhadap suatu situasi atau kondisi tidaklah tunggal, seperti yang dikatakan Goffman, bahwa satu frame dapat menimbulkan multi tafsir, seperti kaca gelas bening yang memantulkan bayangan yang berbeda, ujar Cooley.
Ethnomethodologi
Seperti halnya teori interaksi simbolik, etnometodologi merupakan kerangka teori dan penelitian yang berkaitan dengan cara seseorang menciptakan makna (meaning). Etnometodologi secara harfiyah berasal dari tiga akar kata, etno; orang, methods; metode-metode, dan logos; kajian sistematis. Dari akar kata harfiyah ini, etnometodologi dapat dipahami sebagai kajian sistematis menganai metode orang-orang dalam memproduksi makna dalam kehidupan sehari-hari.
Metode yang digunakan adalah 'pemutusan' dan 'pengacauan' asumsi yang diterima dan digunakan secara umum. Pemutusan bisa dilakukan dengan dua strategi. Pertama dengan cara berprilaku aneh dan tidak umum menurut pandangan masyarakat umum. Misalnya, seorang dosen yang menyuruh siswanya pulang kampung dengan berprilaku yang seolah-olah prilaku itu aneh bagi orang kampung mereka dan siswa itu disuruh untuk melaporkan bagaimana reaksi penduduk setempat. Kemudian para siswa itu melaporkan bahwa prilaku mereka dianggap sebagai anak yang kurang ajar, tak tahu aturan dan stigma-stigma yang lain. Dan rata-rata orang kampung merasa heran dengan prilaku aneh mereka.
Strategi lain adalah dengan cara melihat bagaimana orang-orang menjawab pertanyaan yang tidak berhubungan dengan pertanyaan yang diajukan. Misalnya, seorang pelayan yang menyodorkan menu. Kemudian ia bertanya kepada tamu restoran. Mau minum apa? Sang tamu menjawab mau minum roti. Roti pada umumnya dimakan bukan diminum. Dengan demikian komunikasi menjadi terputus.
Yang ingin dicari dalam etnometodologi adalah cara orang menafsirkan suatu situasi atau kondisi yang dipandang tidak sesuai dengan kebiasaan umum, serta reaksi mereka ketika menemukan hal-hal yang aneh tersebut.
Teori Kritis dan pembelannya terhadap akal
Akhir-akhir ini para dekonstruksionis dan posmodernis menantang mereka yang berpandangan terlalu mengangung-agungkan akal. Akal sendiri mendapatkan kedudukan yang utama dalam teori sosial modern barat dan teori tradisional logosentrisme. Dekonstruksinis memandang skeptis terhadap akal. Akal bagi mereka hanyalah kesenangan koginitif yang digunakan untuk mengejar keinginan.
Serangan itu bukan berarti mematikan pandangan yang mengagungkan akal. Mereka justru semakin berkembang dan hidup terutama dalam komunitas saintifik. Salah satu aliran yang mengembangkan dan membela pandangan tersebut adalah teori kritis. Mereka seringkali dihubungkan dengan sekelompok peneliti di Jerman yang kemudian dikenal dengan mazhab Frankfurt. Tokoh utama peneliti tersebut adalah Max Horkheimer, Teodor Adorno dan Herbert Marcuse. Pertama mereka muncul akibat depresi ekonomi dunia akibat kapitalisme dan fasisme pada tahun 1930. Teori kritis ini banyak dipengaruhi oleh Karl Marx namun mereka oposan dengan Marxisme sebagai dogma (ajaran yang harus diterapkan) seperti yang dilakukan oleh Stalinisme. Komitmen mereka adalah penggunaan potensi akal yang emansipatoris. Dari komitmen ini mereka mencita-citakan sebuah masyarakat rasional yang terbebas dari ideologi palsu dan sistem ekonomi politik yang menindas.
Mereka sangat menentang tehnologi dan ilmu pengetahuan yang menggunakan akal intrumental sebagai alat untuk mendominasi. Penggunaan akal instrumental ini akan berakibat kepada barbarisme dan persoalan-persoalan kebuduyaan. Dan ini merupakan ancaman bagi masyarakat yang bisa datang dari berbagai aspek, baik itu Fasisme, Nazisme, kapitalisme instrumental, negara sosialis otoriter, bentuk pengetahuan teknoratik dan positivistik, maupun dari anti rasionalis aliran-aliran posmodern.
Salah seorang tokoh penerus generasi ini adalah Jürgen Habermas. Ketertarikannya terletak pada dimensi linguistik dan komunikatif dari kehidupan sosial. Yang dia cari adalah dominasi, rasionalitas instrumental, serta masyarakat yang dikuasai oleh pengetahuan tapi secara etis dikuasai oleh para elit teknokrat. Teorinya dituangkan dalam bukunya yang berjudul Theory of Communicative Action (1984/1988). Dalam buku ini dia mencoba untuk membuat sintesis dari berbagai macam pemikiran yang berasal dari Marx, Weber, Mead, dan filsafat bahasa. Secara lebih khusus dia mengkaji konflik antara sistem sosial dalam skala besar (seperti kapitalisme dan birokrasi negara) dan personal dalam skala kecil dalam kehidupan komunal manusia sehari-hari. Analisisnya mengungkapkan bahwa sistem sosial yang abstrak yang terdapat dalam kehidupan sehari merupakan ancaman yang dapat menghancurkan kemanusiaan mereka.
Untuk menanggapi ancaman itu, Habermas mengembangkan etika diskursus yang akan meluas ke dalam hidup masyarakat untuk membantu memberikan makna pada kehidupan mereka sehingga masyarakat dapat hidup lebih rasional dan lebih demokratis dalam membuat keputusan dalam kehidupan mereka.
Feminisme Posmodern
Pemikiran feminisme adalah pemikiran yang paling berpengaruh dalam perkembangan teori sosial, dalam kehidupan politik dan intelektual. Namun pemikiran feminisme tidak pernah monolitik dalam perkembangannya. Perkembangannya seiring dengan isu yang melingkupinya secara lansung. Seorang feminis Afrika, misalnya. Mereka akan mengangkat isu tentang pengalaman kontemporer antara perempuan kulit hitam dan kulit putih. Feminisme perancis akan lain lagi yang diusungnya.
Namun ada benang merah yang dapat ditarik dari keragaman persoalan yang diperhatikan mereka yaitu gugatan mereka atas tradisi partriarki tentang justifikasi otoritas laki-laki dan privelese mereka dalam sejarah kemanusiaan.
Tradisi partriarki ini menurut feminisme posmodern terletak pada kekuatan dan politik bahasa. Bahasa telah mengkonstruksi perempuan sebagai manusia yang tidak rasional, lemah, selalu ditempatkan sebagai objek dan secara alamiah diposisikan sebagai orang yang mengikuti (tidak berperadaban). Kebalikannya laki-laki adalah manusia yang rasional, kuat, selalu berposisi sebagai subjek dan berperadaban (selalu diikuti).
Dikotomi di atas merupakan dikotomi yang keliru. Perempuan juga bisa rasional, kuat, dapat berposisi sebagai subjek dan juga bisa untuk dijadikan panutan (berperadaban). Namun selama dikotomi tersebut dilanggengkan maka posisi perempuan akan selalu inferior. Demikianlah ungkapan Susan Hekman, salah seorang tokoh feminis yang mengembangkan teori postrukturalis dalam teorinya. Sandra Bem (1977) mengkritik lebih jauh lagi terhadap dikotomi itu. Ia bukan lagi mengkritisi dikotomi itu sendiri tapi keberadaan dikotomi gender itu sendiri yang perlu untuk dikritisi dan dihancurkan. M. Holid, Santri pesantren Budaya dan komunitas Jalang Desantara
Tweet
« Ludruk Sebagai Media Resistensi
Tulisan sesudahnya:
Paradigma Kulturalisme dan Strukturalisme dalam Cultural Studies »
Pencarian
Kategori Esai ID
- Matinya Erau dari Tradisi ke Politisasi Etnik
- Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013
- Islam Kutai dan Persinggungan Politik
- “Menciptakan Seni Alternatif bagi Masyarakat”
- Paraben andi’ ana’, Belenjer andi’ Lake (Perawan Punya Anak, Janda Punya Suami): Kritik Sosial Perempuan Seni Madura terhadap Santri Coret
- Tanah dan Pergeseran Kosmologi Dayak Kenyah
- Prahara Budaya: Refleksi Peradaban Manusia Dayak
- Memahami Klaim Kebenaran Agama: Suatu Refleksi Filosofis
- Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, Kutai Kartanegara
- Komunitas Nyerakat : Geliat di Tengah Gempuran Arus Modernitas
- Bisnis Perizinan Kuasa Pertambangan dan Geliat Pilkada Kota Samarinda
- Perempuan Kampung Pamanah di Industri Tenun Sarung Samarinda
- Pesantren Tegalrejo: Lautan di Lereng Merbabu
- Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai
- Wajah Lain Dari Tegalrejo
Random Post
- Aksi Gebrak Lapindo Dibuka dengan Pembacaan Naskah “PROKLAMATI”(0)
- Ki Supangi: Wong Malang Ora Oleh Untung(0)
- Ludruk: Geliat Kesenian Rakyat(0)
- Daftar Inventarisasi Masalah RUU Kerukunan Umat Beragama(0)
- Mempertimbangkan Politik Multikultural(0)
- LOWONGAN PEKERJAAN: Staf Keuangan(0)
- Susahnya Menjaga Kewarasan di Negeri ini(0)
- Aliran Sesat, Kekerasan, dan Ketidakcakapan Negara?(1)
- Kronologis Penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik, Banten(0)
- Info Buku: Agama dan Kebudayaan(0)
- Banci Di Televisi: Digemari Sekaligus Dicaci-maki(0)
- Halima, Potret Seorang Perempuan Padendang(0)
- Dilema Multikulturalisme di Makassar(0)
- Dalam Tawanan Kekuasaan(0)
- Ada Apa Dengan RUU Kerukunan Umat Beragama?(0)