Membaca Etnografi
admin | 17 - Jun - 2008Akhir-akhir ini, metode etnografi semakin banyak digunakan oleh para peneliti untuk menggambarkan kebudayaan atau masyarakat. Seorang peneliti terkenal, Geertz, pernah mengatakan, ”Jika kita ingin mengetahui apakah yang disebut dengan ilmu, maka pertama-tama bukanlah memahami teori atau temuan-temuannya, melainkan apa yang dipraktikkan oleh peneliti tersebut”. Lantas dia menambahkan, “Praktik itulah yang disebut sebagai etnografi”.
Secara klasik, etnografi diberi batasan sebagai deskripsi dari kebudayaan tertentu yang diperoleh dari penelitian lapangan. Biasanya etnografi berbentuk esei, dan dipublikasikan dalam jurnal atau monografi panjang: sebuah bentuk laporan dari peneliti kepada publik yang lebih luas.
Selama ini, etnografi sering kali dianggap sebagai tulisan yang menampakkan secara langsung suatu obyek yang diteliti, dalam bentuk aslinya dan apa adanya, tanpa adanya saringan atau diedit. Selain itu, pembaca menganggap etnografi sebagai cerita yang berisi tentang dokumen-dokumen dan laporan jurnalistik.
Kontras dengan pandangan selama ini, belakangan muncul kesadaran baru bahwa setiap etnografi sesungguhnya selalu melibatkan tafsir, termasuk seleksi data dan juga kerangka berpikir. Dengan demikian, etnografi bukanlah satu hal yang bersifat objektif dan netral. Oleh karena itu seperti yang disarankan oleh Jacobson, untuk memahami etnografi setidaknya kita perlu menemukan: (1) pertanyaan atau permasalahan yang dituju oleh peneliti; (2) Jawaban, penjelasan atau penafsiran yang diberikan oleh peneliti; (3) Data yang diberikan untuk menunjukkan permasalahan serta untuk menunjang penafsiran; (4) pengorganisasian unsur-unsur yang ada (permasalahan, tafsir atau penjelasan dan bukti)
Seperti yang sudah dikatakan oleh Geertz di atas, bahwa untuk memahami etnografi dimulai dari mengenali akan keterlibatan penafsiran. Dalam kata lain, etnografi menghadirkan tafsir penulisnya tentang realitas tindakan manusia, bukannya sebuah deskripsi yang objektif.
Deskripsi dan Interpretasi
Untuk itu ada baiknya, kita bisa membedakan antara deskripsi dan penafsiran. Geertz membuat pembedaan antara keduanya dengan istilah “thin description” dan “thick description”. Yang disebut pertama hanyalah melukiskan tindakan-tindakan dalam gerak-gerik fisik seperti yang tampak oleh mata manusia atau mata kamera. Kontras dengan yang pertama, deskripsi mendalam adalah untuk memahami kerangka penafsiran yang di dalamnya terdapat klasifikasi tindakan dan makna. Artinya deskripsi mendalam ditujukan untuk memahami satu struktur yang rumit dalam pengertian bagaimana seseorang memiliki dan membaca tindakan-tindakan sosial dalam masyarakat. Dengan demikian bisa menyingkap hirarki yang berisi lapisan-lapisan struktur yang bermakna.
Geertz, memberikan contoh mengenai perbedaan antara kedutan (twitch) dan kedipan mata (wink). Bila diamati, secara fisik antara kedutan dan kedipan mata adalah sama: kelopak mata menutupi bola mata. Tetapi secara sosial keduanya memiliki makna yang berbeda sama sekali. Kedipan adalah satu komunikasi: (1) dilakukan dengan sengaja, (2) kepada seseorang yang khusus, (3) dengan pesan tertentu, (4) sesuai dengan sandi yang ditetapkan secara sosial. Dari contoh kecil di atas bisa dipahami secara baik bahwa objek dari etnografi adalah mendeskripsikan kedipan bukannya kedutan.
Bila Geertz membedakan antara “thin dan thick descrition”, maka Fortes memberikan kemungkinan pembedaan yang lain antara deskripsi dengan interpretasi. Bagi Fortes, tingkat pemahaman yang diperoleh seorang etnografer bisa melampaui dari orang-orang yang menjadi subjek etnografi. Oleh karena itu, penafsiran yang diberikan oleh peneliti bisa berbeda dengan yang penafsiran yang diberikan oleh pelaku sekaligus memungkinkan dilakukan studi perbandingan dengan budaya lain.
Menurut Fortes, deskripsi adalah hasil pengamatan sebagaimana peristiwa yang terjadi. Contohnya, peristiwa mengenai perkawinan, yang dimulai dari pecintaan yang meningkat menjadi perkenalan keluarga, meminang, upacara pernikahan sampai perceraian atau berpisah karena salah satu di antara pasangan tersebut meninggal dunia. Dalam deskripsi, masing-masing kegiatan di setiap peristiwa itu bisa dilukiskan secara detail. Lantas melalui deskripsi semacam ini, hubungan dari satu kegiatan ke kegiatan lain dilihat sebagai satu sekuen atau satu rangkaian.
Sementara itu, tata cara analisis atau penafsirannya kontras dengan deskripsi yaitu dengan cara memilah-milah rangkaian peritiwanya dan mencocokkannya dengan relasi-relasi sosial atau menyusunnya dalam kategori yang dibuat oleh peneliti. Kategori inilah yang dibuat berdasarkan kerangka teori. Oleh karena itu, tafsir dilakukan berdasarkan kategori dan hubungan antar kategori. Contohnya dalam kasus perkawinan di atas kemudian dianalisis berdasarkan kerangka hak dan kewajiban. Dalam masyarakat di mana pun, hak dan kewajiban selalu didefinisikan secara sosial atau kultural karena ia menyangkut soal peran yang diharapkan dan sanksi bila melanggarnya.
Fortes menunjukkan bahwa maskawin merupakan peristiwa penting dalam perkawinan yang bisa ditemui di seluruh kebudayaan di dunia ini. Dari satu sisi, pemberian maskawin bisa dipandang sebagai kompensasi dari yang harus dibayarkan kepada pihak yang kehilangan atau memberikan perempuan. Jadi, maskawin adalah sebuah hak berisikan penghormatan yang harus diberikan kepada perempuan. Maskawin dengan demikian bukanlah sebuah pertukaran yang bersifat individual, melainkan hak atau klaim untuk melayani individu dalam masyarakat.
Dengan menempatkan maskawin sebagai titik awal dari pertukaran antar kelompok melalui perempuan, maka kita bisa melakukan kajian perbandingan antara masyarakat matrilineal dan patrilineal. Apa saja hak dan kewajiban bila anak diasosiasikan dengan ibu dan anak ketika diasosiasikan dengan bapak. Dalam kata lain, melalui analisis terhadap maskawin, bisa dipahami bagaimana cara manusia membuat klasifikasi atas tindakan sosialnya dan peristiwa sosial.
Data dan Tingkat Analisis
Akan tetapi dalam etnografi, penafsiran tersebut juga tergantung atas berbagai data yang dipaparkan. Dalam etnografi, data yang tampil sesungguhnya sudah mengalami proses seleksi. Sekurang-kurangnya ada dua proses seleksi terhadap data yang akan tampil dalam etnografi. Pertama, pengamatan di lapangan dibentuk oleh peneliti dalam arti apa yang “dilihat” di lapangan sudah diseleksi berdasarkan “persamaan” dengan peneliti. Yang dimaksud dengan “persamaan” adalah hasil dari latihan di sekolah dan teori yang dipilihnya. Selama berada di sekolah akan dilatih dengan orientasi teoretik yang berbeda-beda seperti teori evolusi, kekhususan sejarah, fungsionalisme, psikologi, fungsionalisme struktural, strukturalisme Perancis bahkan belakangan juga simbolik dan semiotik. Orientasi teoretik ini akan menjadi peralatan yang menentukan data atau bahkan fokus dari apa yang akan diteliti dalam masyarakat. Dengan kata lain, orientasi teoretik yang berbeda akan menentukan data yang dipilih berbeda juga. Selain itu, masih ada juga kendala-kendala lain di lapangan, misalnya, peneliti laki-laki yang tidak bisa bertemu informan perempuan. Artinya tidak semua hal bisa diakses selama di lapangan.
Kedua, data tersebut kemudian dipilih lagi untuk kepentingan analisisnya. Artinya tidak semua data lapangan akan dihadirkan dalam etnografi. Pendek kata, sebuah etnografi sesungguhnya menciptakan sebuah argumen. Dengan demikian, bila membaca etnografi, sesungguhnya kita akan berhadapan dengan proses untuk membuat identifikasi atas klaim atau kesimpulan serta melakukan evaluasi dengan cara mengacu pada data-data yang dimunculkan sebagai pendukung atas kesimpulan yang diambil.
Dalam etnografi kita bisa mengamati bahwa dalam mengonseptualisasi realitas sosial, sesungguhnya ada dua level analisis. Orang biasa membedakan antara analisis yang berfokus pada moda pikiran, sedang yang lain adalah moda tindakan. Pembedaan lainnya dengan menyebut analisis mengenai kebudayaan atau analisis mengenai struktur sosial.
Bagi para peneliti yang memberi tekanan terhadap moda berpikir (atau kebudayaan), akan memusatkan perhatiannya pada analisis dan deskripsi mengenai sistem ide atau gagasan yang akan mengarahkan tindakan-tindakan individu berdasarkan patokan-patokan kelaziman yang memberikan makna yang sama ketika dilakukan oleh orang lain. Sementara yang menitikberatkan pada moda tindakan (atau praktik) akan memfokuskan kajiannya pada tindakan-tindakan aktual dari individu-individu serta menginterpretasikan sebagai tindakan yang mengacu pada kerangka tertentu, termasuk kendala yang mengekang tindakan (di dalamnya termasuk faktor lingkungan: misalnya orang gunung tidak akan menjadi nelayan). Secara sederhana, pembagian tersebut mengacu pada moda pikiran sebagai ide atau pikiran yang menciptakan dunia, sedangkan moda tindakan mengacu pada ide sebagai tatanan sosial termasuk kendala yang mengekang tindakan.
Bukti-bukti dalam Etnografi
Dalam etnografi, ada dua kategori besar mengenai bukti-bukti: pernyataan verbal dari anggota-anggota masyarakat dan pengamatan atas tindakan-tindakan sosial. Secara tipikal, praktisi etnografi memanfaatkan bukti-bukti verbal untuk membuat klaim atas moda berpikir dan data non-verbal membuat klaim atas moda tindakan. Akan tetapi dalam praktiknya, pembagian ini tidaklah eksklusif. Pembagian ini merupakan pemilahan dari praktisi etnografi untuk membedakan apa yang dikatakan oleh orang, dan apa yang dilakukan oleh orang sebagai materi yang digunakan untuk mendukung klaim atas analisisnya.
Dalam menafsirkan mode berpikir satu masyarakat atau kelompok sosial tertentu, praktisi etnografi mendasarkan diri sebagian besar buktinya, jika tidak mau dikatakan eksklusif, pada data linguistik. Tindakan verbal termasuk termasuk apa yang dikatakan orang tentang dunia (kategori kultural) dan apa yang dikatakan orang bagaimana seseorang harus bertindak (norma).
Pernyataan atau kata dari orang-orang merupakan bukti pertama dari kategori kultural atau representasi. Dalam etnografi, ia sering disebut dengan istilah native atau konsep penduduk lokal. Dalam banyak etnografi kita akan menemukan bagaimana istilah-istilah lokal dituliskan sebagai bukti dari konsep-konsep lokal lantas dijelaskan atau diterjemahkan oleh etnografer.
Pendek kata, bila kita menjumpai pernyataan atau konsep lokal dalam sebuah etnografi, hal tersebut bukanlah satu bentuk penulisan yang terjadi begitu saja. Penulisan istilah lokal sesungguhnya dimaksudkan oleh etnografernya sebagi satu bukti untuk membuat klaim mengenai kategori kultural dari masyarakat yang dideskripsikan.
Selain memanfaatkan data-data verbal sebagi bukti utama mengenai moda berpikir, etnografer juga memanfaatkan simbol lain untuk mencapai tujuan yang sama: menjelaskan moda berpikir. Seperti juga kategori kultural yang diekspresikan dalam kata-kata, warga masyarakat juga mengkonkritkan berbagai simbol menjadi objek material. Etnografer juga memanfaatkan simbol dari bendera, seragam atau slogan-slogan yang menyatu dengan pengertian negara bangsa. Dalam kata lain, etnografer juga memanfaatkan beragam simbol lain selain kata-kata yang diucapkan.
Klaim atas norma, seringkali juga memanfaatkan data-data verbal tetapi disertai dengan pernyataan bagaimana dia atau orang lain boleh melakukan tindakan tersebut atau tidak boleh. Kadangkala aturan-aturan normatif dinyatakan sebagai pikiran ketika ia dideskripsikan sebagai apa yang dilaksanakan seseorang. Misalnya bila disebutkan, “Bila lampu merah menyala, pengemudi harus berhenti”. Pernyataan tersebut merupakan kewajiban yang diharapkan dilakukan oleh para pengemudi, tetapi dalam kenyataan tidak selalu aktual.
Sementara itu, untuk mendukung klaim mengenai tindakan seseorang, etnografer memanfaatkan bukti yang berbeda. Seringkali mereka memanfaatkan ringkasan sensus atau statistik untuk melihat frekuensi dan penyebaran dari tindakan seseorang. Selain itu etnografer juga memanfaatkan pengamatan-pengamatan dari interaksi-interaksi antarindividu dalam situasi tertentu. Pengamatan semacam ini bisa dibuat oleh pekerja lapangan atau berdasarkan laporan dari orang lain.
Dalam melakukan analisis terhadap tindakan, etnografer tidak bisa hanya mendeskripsikan tindakan saja, tetapi juga berimplikasi pada analisis kultural. Pendek kata, tidak bisa hanya mendeskripsikan gerakan fisik saja tetapi juga makna dari gerakan tersebut. Artinya ketika kita membahas kajian mengenai tindakan sosial kita juga harus mengaitkan dengan relasinya terhadap gagasan.
Selain dua bukti utama tersebut, etnografi juga memuat bukti lain seperti lingkungan dan ekologinya. Fakta semacam ini layak dimasukkan dalam etnografi karena relevan untuk menilai apa yang dilakukan oleh masyarakat lokal. Seperti juga norma sosial, alam juga memberi kendala yang membatasi tindakan manusia. Seperti lingkungan laut dan gunung yang merangsang manusia menjadi petani atau nelayan. Artinya, alam tidak selalu menentukan, tetapi ia ikut menentukan pikiran dan tindakan.
Selain itu, data-data visual seperti foto atau gambar juga bisa dijadikan bukti-bukti untuk memperkuat klaim yang diberikan etnografer. Hal yang perlu diingat bahwa bukti seperti foto tidak bisa digunakan sebagai bukti langsung. Ia hanya mendukung untuk menampilkan proposisi tentang lingkungan, budaya materialnya, dan benda-benda.
Untuk memahami etnografi, kita membutuhkan perhatian tertentu. Seperti yang sudah disebutkan untuk memahaminya yang dibutuhkan pertama-tama bukanlah memahami kerangka teori atau temuan-temuannya, melainkan apa yang dipraktikkan oleh penelitinya. Sekurangnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam membaca etnografi: pertama, pisahkan antara deskripsi dan interpretasi, lantas pada tingkat berikutnya mana analisisnya: moda berpikir atau moda tindakan, setelah itu anda periksa ulang bukti-bukti yang dipaparkan. Apakah etnografi yang anda baca masih meyakinkan ? Selamat membaca etnografi. Desantara
Tweet
« Aspek Struktural dan Aspek Prosesual Ideologi
Tulisan sesudahnya:
Sejarah Kegilaan dan Konstruksi Kebenaran »
Pencarian
Kategori Esai ID
- Matinya Erau dari Tradisi ke Politisasi Etnik
- Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013
- Islam Kutai dan Persinggungan Politik
- “Menciptakan Seni Alternatif bagi Masyarakat”
- Paraben andi’ ana’, Belenjer andi’ Lake (Perawan Punya Anak, Janda Punya Suami): Kritik Sosial Perempuan Seni Madura terhadap Santri Coret
- Tanah dan Pergeseran Kosmologi Dayak Kenyah
- Prahara Budaya: Refleksi Peradaban Manusia Dayak
- Memahami Klaim Kebenaran Agama: Suatu Refleksi Filosofis
- Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, Kutai Kartanegara
- Komunitas Nyerakat : Geliat di Tengah Gempuran Arus Modernitas
- Bisnis Perizinan Kuasa Pertambangan dan Geliat Pilkada Kota Samarinda
- Perempuan Kampung Pamanah di Industri Tenun Sarung Samarinda
- Pesantren Tegalrejo: Lautan di Lereng Merbabu
- Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai
- Wajah Lain Dari Tegalrejo
Random Post
- Seren Taun(2)
- Kanto: Lelaki Dari Bawakaraeng(0)
- Paradigma Kulturalisme dan Strukturalisme dalam Cultural Studies(0)
- AKKBB Desak SBY Bubarkan FPI(0)
- Mih Wati: Dari Panggung ke Panggung(0)
- Pelajaran Kesenian di Mata Pendidik(0)
- Dewan Kesenian Jember Teror Wartawan/Peneliti Desantara(0)
- Perempuan Ngesti Pandhawa: Jangan dikira kami lemah(0)
- Beragama dalam Kekuasaan: Sebuah Kelahiran Diskriminasi(0)
- Dari Tanah Gayo, Membaca Narasi Lain Aceh(0)
- Pariwisata Budaya: Pelestarian atau Komersialisasi(1)
- Senimanku Sayang, Senimanku Malang(0)
- Obyektifitas(0)
- Test tennese Flood(0)
- Politik Kerukunan Model Negara(0)