Tidak Semua Budaya Harus Dilarang

admin | 23 - Jun - 2008

Pesantren yang di tanah Jawa lebih diidentikkan dengan [structural] Nahdlatul Ulama banyak disinyalir merupakan lembaga Islam yang mempunyai khasanah lokal yang kental. Kitab-kitab kuning yang berbahasa Arab itu selalu diberi makna gandul dalam bahasa lokal. Bahkan di Jawa dikenal huruf pegon, huruf Arab Jawi, suatu tulisan berhuruf Arab berbahasa Jawa atau Melayu. Namun, Pesantren adalah belantara yang luas, tidak tunggal, di mana satu dan yang lain bisa jadi tidak searah, apalagi dalam menentukan nahkoda politik bagi para santrinya.

Lain lagi pesantren di Sulawesi Selatan. Selain tidak berafiliasi dengan NU, pesantrenlebih terkesan modernis dan fundamentalis dalam mengibarkan paham keislaman. Sementara NU sendiri, cukup moderat dalam memandang dan menyikapi budaya setempat. Beberapa waktu yang lalu muncul pernyataan seorang raja (Puang Matowa) Bissu dari Pangkep bahwa dirinya sangat tidak menyukai pesantren karena lembaga ini selalu mendiskriditkan, memarjinalisasi, dan ingin memusnahkan komunitas nya, sebaliknya ia mendukung dan membela NU karena ormas Islam ini selalu melindungi mereka.

Bagaimanakah sebenarnya pandangan dan sikap pesantren terhadap budaya setempat, DESANTARA berhasil mewawancarai Kadir Ahmad, MS, Wakil Ketua Pengurus Wilayah NU Sulawesi Selatan. Dengan polos, ia mengungkapkan panjang lebar dari bagaimana persapaan pesantren dengan kebudayaan lokal di Sulawesi Selatan hingga soal penegakan syariat Islam yang selengkapnya seperti berikut.

Bagaimana sebenarnya Islam, dalam hal ini pesantren di Sulawesi Selatan, memposisikan dirinya terhadap budaya lokal?

Ada dua hal yang diperankan oleh Islam, khususnya pesantren Sulawesi Selatan dalam konteks budaya lokal, yang tentu berbeda dengan pesantren-pesantren di Jawa. Pertama, Pesantren adalah salah satu institusi yang dalam sejarahnya berperan sebagai lembaga konservasi budaya. Kedua, Pesantren juga memposisikan diri sebagai dinamisator terhadap budaya lokal.

Apa yang dilihat oleh Geertz sebagai makelar budaya (cultural broker), sebagaimana diperankan oleh ulama, ternyata juga diperankan oleh pesantren. Jadi, Pesantren menawarkan hal-hal yang lebih baru, lebih bagus kepada masyarakat melalui sistem pendidikan pesantren yang dipimpin oleh kyai atau ulama. Disamping itu, pesantren juga berkewajiban untuk melindungi masyarakat melalui lembaganya untuk tidak terseret kedalam trend budaya yang dapat merusak budaya itu sendiri. Kerusakan budaya yang saya maksud adalah hilangnya identitas budaya lokal yang ada dalam masyarakat. Meskipun upaya tersebut belum terlalu maksimal.

Pesantren Sulawesi Selatan yang melakukan hal tersebut ?

Pesantren yang masih melakukannya seperti pesantren yang selama ini dikenal sebagai pesantren pelopor, terutama Pesantren Assa’diyah dan Darul Dakwah wal Irsyad (DDI), meskipun belum maksimal. Dua pesantren inilah yang menjadi cikal bakal pesantren di Sulawesi Selatan. Ada memang beberapa pesantren lain, tetapi tidak terlalu muncul kepermukaan. Dengan demikian, sampai sekarang kedua pesantren itu paling tidak masih dilihat secara ideal tetap diharapkan memposisikan diri seperti itu.

Pesantren dalam konteks DDI atau Assadiyah, budaya lokal yang masih dilembagakan mungkin sebatas seperti barzanji dan tahlilan. Apakah kedua pesentren tersebut juga mengapresiasi budaya lokal dalam arti kesenian rakyat ?

Ini sebenarnya yang seret dan menjadi masalah. Budaya lokal dalam arti budaya hasil kreativitas orang Sulawesi Selatan, dalam hal ini kesenian atau lebih konkrit tari-tarian rakyat, sebenarnya masih kurang disentuh dengan baik oleh pesantren. Ini disebabkan pesantren lebih terfokus pada budaya yang lebih bernuansa Islami. Jadi tidak pada hal-hal yang bersifat asing dan jauh dari pemahaman Qur’an dan Sunnah, karena seni-seni seperti itu masih dianggap bukan bagian dari pesantren.

Tapi kemudian pesantren dalam hal ini mampu mengadakan konservasi terhadap budaya-budaya lokal, misalnya antara lain pesantren tidak secara frontal dan kejam menentang kebudayan-kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Itu sudah cukup untuk dikatakan bahwa pesantren ikut melindungi kelanjutan budaya yang ada, meskipun secara tidak langsung mengembangkan budaya rakyat di pesantren, apalagi mengembangkan budaya tersebut. Saya kira itu butuh proses.

Kenapa kemudian kebudayaan rakyat itu tidak di lembagakan di pesantren ?

Itulah masalahnya. Karena ketika kita berbicara tentang masyarakat, yang terjadi adalah pembagian fungsi-fungsi. Masyarakat sebenarnya adalah konfigurasi dari fungsi. Fungsi–fungsi ini terbagi habis ke masyarakat. Fungsi seniman, fungsi ulama, dan fungsi-fungi lain. Fungsi ulama inilah yang dikonsentrasikan pada pesantren dengan basis keagamannya, sedangkan fungsi seniman mestinya bisa mengembangkan diri, tidak mesti harus di pesantren, tetapi pesantren wajib melindunginya, karena Kyai dengan pesantren sangat sarat dengan perubahan untuk bisa mengembangkan budaya-budaya lokal yang khas.

Atau dalam konteks ini pesantren mungkin takut kehilangan identitas, sebagai penyebar Islam ketika mengapresiasi kebudyaan rakyat yang mungkin budaya itu dianggap melanggar akhlak atau tauhid?

Itu betul, tetapi tidak sepenuhnya. Artinya pesantren mengembangkan budaya-budaya dalam batas-batas di mana budaya itu masih bisa diidentifikasi sebagai budaya yang Islami. Katakanlah misalnya barzanji. Meskipun masih banyak yang menentang, tetapi pesantren dalam hal ini bisa mengidentifikasi sebagai bagian dari budaya Islam, meskipun secara tekstual, secara simbolis. Sedangkan misalnya pengembangan budaya-budaya seni tari tidak ditarik masuk, pesantren dalam hal ini masih belum mampu untuk diterapkan, saya kira juga seperti alasan yang anda ungkapkan tadi, karena berbeda dengan di Jawa yang mungkin secara kultur memang sangat dekat dan sudah mengakar lama.

Pengembangan pesantren Islam di Jawa melalui sarana kesenian yang sudah ada, tidak seperti dengan di Sulawesi Selatan. Di sini penyebaran Islam itu dilakukan melalui jalur birokrasi, dalam hal ini bangsawan. Dalam budaya Bugis misalnya, sebenarnya kalau bisa disebut identik dengan budaya Islam, itu sebetulnya karena pengaruh birokrasi kesultanan. Islam dibirokratisasi oleh negara. Seperti kerajaan Gowa. Islam dijadikan sebagai lembaga formal, sehingga masyarakat harus mengikuti, meskipun secara substansial, kultural, masyarakat belum dan tidak mengadopsi Islam itu sebagai suatu way of life. Dan mereka tetap hidup dengan kebudayaan mereka, meskipun menurut sebagian orang Islam, terutama kelompok yang mengaku modernis, itu bertentangan dengan Islam. Akan tetapi platform umum bahwa mereka tetap menyatakan muslim, seperti di Kajang.

Adakah peluang pesantren melakukan apresiasi budaya lokal?

Saya kira hukum awal sesuatu itu menurut Islam boleh, sampai ada dalil yang melarangnya. Saya kira itu jelas. Memang Qu’ran tidak begitu tuntas untuk mengupas ini, dan saya kira tafsir para ulama-ulama pun berbeda-beda. Kalau budaya itu dikatakan jelas-jelas bertentangan, kita perlu diskusikan dulu. Misalnya, di Sulawesi Selatan ada baju Bodo, kenapa kemudian bisa baju yang transparan itu diterima sampai sekarang. Karena baju bodo yang dulu dan sekarang berbeda, bedanya kalau dulu baju bodo transparan, sekarang tetap dipakai tapi ada pelapis didalamnya, dan itu dikalangan pesantren masih berlaku. Jadi nuansa baju bodo tetap ada, meskipun formatnya mungkin ada perubahan. Unsur-unsur yang bertentangan dengan Islam dieliminir tetapi baju bodo tetap eksis. Menurut saya itu bagian apresiasi budaya juga oleh pesantren, karena pesantren tidak menjahuinya, lebih-lebih mengharamkannya

Artinya ada penyerapan nilai-nilai budaya lokal yang berkembang diluar pesantren, karena menurut Gus Dur pesantren kan merupakan subkultur, yang berkembang dengan kulturnya sendiri. Kemudian sub-sub yang diluar itu mau diserap masuk kepesantren, tentu harus ada adaptasi. Pada saat lembaga-lembaga di luar cenderung terjadi kebangkrutan sosial, tidak punya sumber daya sosial untuk pengembangan budaya, maka sekarang yang bisa diharapkan untuk pengembangan budaya adalah pesantren, katakanlah asumsi sekarang ini pesantren sedikit lebih eksis dari pada yang lain, maka bagaimanapun juga pengembangan itu harus melalui perubahan-perubahan adaptasi. Dan itu bukan hal yang baru, sudah tejadi. Keluarga-keluarga kyai tetap juga pakai baju bodo, tetapi bukan lagi model dulu, yang transparan.

Apakah itu berarti terjadi Islamisasi budaya ?

Iya, tapi menurut siapa. Proses pewarnaan Islam itu dilakukan tanpa pemaksaan, saya kira sah-sah saja jika dua kebudayaan bertemu dan saling mempengaruhi, ada yang kalah dan ada yang menang. Yang terpenting bagi saya masyarakat tidak kehilangan budaya itu secara keseluruan, tetapi masih mempunyai rasa memiliki atas kebudayaan itu. Coba tanya apakah baju bodo yang dipakai orang itu budaya Islam? pasti jawabannya tidak, ini budaya Bugis Makassar. Jadi masyarakat tidak merasa terjajah.

Pesantren dalam hal ini bukan melarang, karena pesantren di sini tidak pernah melarang baju bodo, kecuali kelompok tertentu yang selama ini memperjuangkan kemurnian Islam. Tetapi pesantren melihat, kalau kemudian baju bodo dikembangkan di pesantren tidak mungkin dengan baju transparan seperti masa lalu, tetapi baju bodo itu dimodifikasi sesuai dengan nilai yang semua pihak bisa menerima, ya rakyat, ulama dan penguasa.

Tetapi yang perlu diperhatikan jika kita mau menjadikan pesantren, terkhusus di Sulawesi Selatan sebagai pusat pengembangan kebudayaan rakyat, lebih dari sekedar baju bodo, karena pesantren dianggap sebagai institusi yang paling dekat dengan rakyat. Maka yang perlu dipertanyakan adalah apakah pihak pesantren siap, dalam artian mau kehilangan identitas diri sebagai pesantren yang selama ini dipahami dan mau tidak ada bedanya dengan masyarakat umum. Ini konsekwensi logis yang harus diterima.

Ada yang mengatakan bahwa budaya yang ada di Sulawesi Selatan pada awalnya diapresiasi oleh kalangan aristokrat sehingga masyarakat pada tingkat bawah tidak bisa mengapresiasi budaya itu, menurut Bapak ?

Budaya itu bersifat publik, sehingga kebudayaan milik bersama. Budaya dihayati, dilestarikan dan dilaksanakan secara bersama. Kepemilikan budaya oleh aristrokrat pada waktu tertentu, tetapi itu juga tidak semua, terutama masa-masa kesultanan. Banyak kesenian rakyat yang juga berkembang, tetapi tidak begitu menonjol jika, budaya itu tidak ikut andil dalam pesta-pesta kerajaan.

Sebenarnya justru budaya yang dikembangkan oleh pesantren adalah budaya dipahami sebagai milik bersama. Dan disitulah sebenarnya eksistensi ulama, berfungsi sentral ketika ulama dianggap tokoh dianggap panutan di tengah masyarakat, dan masih melihat adanya sesuatu yang ideal dari sosok seorang ulama. Jadi pranata sosial masyarakat itu bertingkat-tingkat, ulama dijadikan sebagai elit sosial dalam masyarakat bugis dicampur dengan elit sosial yang lain, katakanlah raja atau somba di Gowa.

Bahkan dalam struktur adat di Sulawesi Selatan ulama masuk dalam struktur yang tertinggi. Jadi qadiparewasara, sampai ke tingkat paling bawah. Dan saya kira itu sejarah, sekarang bagaimana kemudian kita mengembangkan dan mencari bentuk kebudayaan yang lebih baik. itu patner dari raja. Jadi, Islam dimasukkan dalam struktur kebudayaan lokal, seperti

Dalam konteks seni, seperti ganrangbulo, dan seni-seni lain banyak orang memahami itu sebagai milik aristokrat, dan masyarakat merasa tidak berkewajiban mengapresiasikannya, menurut Anda?

Disini mengkin letak pemahaman masyarakat yang berbeda, sebenarnya kebudayaan itu kan bukan milik siapa-siapa, memang perkembangan budaya pada awalnya milik lingkup lingkar kerajaan. Jadi semua pengembangan budaya berada pada kerajaan, sehingga ganrangbulo, raga (takraw) itu sebenarnya berkembang di pusat kerajaan, karena pesta-pesta yang berkaitan dengan simbol-simbol kebesaran kerajaan selalu diramaikan dengan seni-seni budaya yang berkembang seperti ganrangbulo, dan lainnya.

Tetapi ini adalah kesalahan pemerintahan pasca kerajaan, di mana pengembangan budaya tidak diserap dalam lingkar pemerintahan formal seperti sekarang ini, sehingga sebenarnya banyak khasanah budaya lokal yang mati dan justru digeser oleh trend perkembangan budaya nasional yang dikumandangkan dari atas, dan kita bisa lihat banyak sekali budaya-budaya lokal yang mati sekarang ini. Di daerah Makassar seperti ngakelong, royong, sinrilik, kacapi cenderung tergeser ke pinggir, bahkan sudah banyak yang tidak ditemukan lagi, hanya karena kita tidak memiliki tatanan yang mengatur bagaimana pengembangan budaya lewat jalur birokrasi yang dulu sebenanya berkembang pada waktu kerajaan.

Ada kesalahan lain dalam sistem birokrasi negara?

Sangat banyak, sistem negara ini banyak yang telah menyebabkan budaya lokal mati. Kita lihat misalnya, ketika budaya tidak dipahami lagi sebagai sebuah apresiasi masyarakat yang secara spontan merupakan bentuk penghayatan terhadap lingkungannya, penyegaran perasaan. Itu semua diubah menjadi pertunjukan yang bernilai ekonomis, akhirnya makna seni dan kebudayaan itu sendiri sirna.

Selain itu, kita ini terdiri dari banyak etnis dengan beragam adat istiadat dan bahasa, kok mau disatukan, dalam konsep jelas-jelas itu bertentangan dengan pluralisme itu sendiri, seperti agama hanya dibatasi dengan lima agama. Ini kan salah.

Adakah peluang pesantren menghidupkan budaya yang mati itu ?

Saya kira ya, dan bahkan itu harus dilakukan jika pesantren dipahami sebagai wahana pengembangan budaya lokal. Budaya lokal itu mati pada saat birokrasi ini sibuk mengurusi dilema bangsa. Dan lembaga yang relatif stabil sekarang ini adalah pesantren dan itu bisa dijadikan sebagai wahana untuk pengembangan budaya lokal, sepanjang itu, tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman seperti pencak silat, di Jawa.

Posisi pesantren reposisi pesantren sebagai pusat pengembanan budaya itu yang perlu ditanamkan kepada pesantren bahwa ternyata sepanjang sejarah kebudayaan daerah, pesantren tetap stabil perjalanannnya. Itulah sebabnya ini bisa dijadikan dasar untuk pengembangan budaya. Pengembagnan budaya membutuhkan stabilitas, sumber daya sosial, sehingga Islam dalam hal ini menjadi rahmatan lil alamin.

Rahmatan lilalamin artinya mengayomi yang hidup di masyarakat. Katakanlah kalau kita menjadikan tesis bahwa ulama adalah makelar budaya, bahwa pesantren adalah tempat di mana ulama mengembangkan institusinya, ia mengabsorsi apa yang hidup di luar pesantren, kemudian menawarkan sesuatu yang lebih baik yang datang dari tempat lain. Di sini selalu tidak berhenti untuk memperkenalkan hal-hal yang lebih baik. Sama dengan prinsip Ushul Fiqh, mengambil sesuatu yang baik dari masa lampau kemudian mempertahankannya dan mengambil sesuatu yang lebih baik dari masa depan.

Dalam konteks pengembangan budaya lokal, kira-kira tahapan-tahapan yang harus dilakukan seperti apa?

Menurut saya perlu ada sebuah orientasi yang lebih mendalam di kalangan pesantren, terutama membuka kembali wacana kitab kuning dulu, dan lebih khusus lagi sistem pembangunan selama ini. Ada sebuah kesadaran bahwa ternyata dengan pemerintahan yang serba terpusat pada masa orde baru, bukan hanya menyebabkan memiskinkan daerah secara ekonomi, tapi juga telah memiskinkan kreativitas orang-orang daerah untuk mengembangkan budayanya. Itu disadari semua, bahwa tanpa budaya kita tidak bisa hidup. Kita hidup dengan budaya. Budaya adalah sesuatu yang dihayati secara bersama, bukan budaya yang datang dari luar. Budaya yang datang dari luar itu hanya mampu diresap dan mampu dijadikan sebagai sebuah acuan oleh orang-orang tertentu, tapi budaya yang muncul dari dalam rakyat itu sendiri telah dihayati dan dijadikan pedoman bersama. Karena budaya itu sebuah blue print, sebuah cetak biru, katakanlah resep. Jadi kalau orang sakit, carilah kebudayaannya. Masyarakat yang sakit, harus mencari kebudayaannya. Maka pertanyaannya, ada apa dengan budaya kita? Apakah kita tidak memakai resep itu atau resep itu yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Terhadap pola hubungan pesantren dengan budaya?

Mungking sekarang perlu dirancang secara sistematis dalam membangun kesadaran baru, bahwa pesantren bisa berbuat lebih dari apa yang dimiliki sekarang, yaitu mengembangkan budaya lokal. Apalagi dengan momentum sekarang, di mana semua daerah disarankan agar bagaimana sumber-sumber kebijakan lokal dan nilai-nilai arif bisa muncul. Kebijakan lokal itu digali dari budaya lokal dengan segala nilai-nilai yang dimilikinya, dan pesantren hendaknya tidak perlu menempatkan secara berhadap-hadapan budaya Islam dengan budaya lokal. Dan ini membutuhkan kesadaran semua pihak, baik pesantren maupun masyarakat itu sendiri.

Jika berbicara mengenai NU, pesantren NU atau kultur NU yang masih eksis, seperti apa posisinya sekarang?

Di Sulawesi Selatan NU lebih dikenal sebagai sebuah kultur dari pada sebagai struktur. Jadi lebih direalisasikan kulturnya dari pada strukturnya, dan itu berlaku di semua wilayah di Sulawesi Selatan. NU tidak akan pernah mengalami degradasi dari segi kultur karena bagian dari budaya itu sendiri disinilah keunggulan sisi kultural NU, tatapi ada juga sisi negatif dari kebanggaan kultural itu karena itu sudah dianggap milik sendiri, maka usaha-usaha untuk mendinamisir dan mengembangkan budaya dianggap tidak perlu, tidak ada sebuah obsesi untuk melakukan fight, tidak sama dengan Muhammadiyah.

Muhammadiyah itu ingin menanamkan kultur baru, karena dari luar (outsider), ingin memperkenalkan sesuatu yang baru, mereka itu sangat fight. Punya lembaga-lembaga, lembaga dakwah yang luar bisa sebagai wadah pengembangan dengan gerakan puritannya. NU sendiri yang merasa bagian dari kultur itu merasa selalu aman, tapi pada satu saat akan kaget, ketika orang NU dan kelompok tradisonalis melihat takaran yang ditemukan ternyata sudah kalah dengan Muhammadiyah.

Sebenarnya kalau kita bicara tentang pesantren kebanyakan dari pesantren secara kultural itu teridentifikasi sebagai NU, bahkan merupakan basis-basis pertahanan NU, namun tidak secara struktur. Di Palopo ada Pesantren Datuk Sulaeman, Bulukumba di Pesantren di Bone dan masih banyak lagi, kecuali yang khas seperti Maccopa, Gombara, kemudian dikembangkan oleh Hidayatullah dan kelompok-kelompok modernis yang acap kali kasar dengan budaya lokal.

Ada sekelompok orang tergabung dalam KPSI (Komite Penegakan Syariat Islam) berupaya ingin mengegakkan syariat Islam di Sulawesi Selatan, Menurut anda?

Ini soal pemahaman, menurut saya syariat Islam lebih bersifat general, syariat adalah sesuatu way of life, bukan sesuatu yang harus dieksklusifkan dalan sesuatu label yang tertentu, seperti pengadilan dalam bentuk potong tangan, negara Islam, dan lain-lain. Jadi Islam dipahami sebagaimana konteksnya, seperti yang dikembangkan oleh pesantren.

Itulah perbedaan dengan mainstream masyarakat Sulawesi Selatan, karena ada di antara mereka mau memasukkan syariat Islam itu dalam perundang-undangan. Sejak dulu itu sudah ada, tetapi mereka ditumpas, ada juga ummat Islam yang tidak menyetujuinya. Saya melihat itu karena mereka hanya memanfaatkan peluang reformasi, orang yang dulu berjuang dipinggiran sekarang mulai masuk mempengaruhi masyarakat untuk penegakan syariat Islam, dan itu hanya sebentar, sekarang kan sudah tidak terlalu terdengar.

Jika betul syariat Islam itu ditegakkan, apa pengaruhnya terhadap budaya lokal?

Akan ada sebuah perubahan revolusioner terhadap kultur, jika syariat Islam dipahami sebagai sesuatu yang tekstual Arab dan hanya ada dalam al-Quran. Maka kebudayaan lokal terutama yang jelas-jelas bertentangan tentu akan sirna, dipinggirkan oleh Islam Padahal Islam memandang kultur bukan sebagai musuh atau sesuatu yang menjijikkan yang harus disingkarkan karena takut kehilangan kesuciannya. Nabi sendiri mengatakan bahwa saya diutus untuk menyempurnakan kultur yang ada, bukan mematikannya. Nabi tidak serta merta menutup sejarah masa lampau, tetapi melestarikan hal-hal yang baik kemudian merekonstruksi hal yang lebih baik melalui al-Quran itu.

Ada langkah konkrit yang dilakukan NU untuk menghadang gerak politis KPSI ?

Dalam hal ini, sebenarnya NU tidak mau frontal, apalagi kita semua ini bersaudara, ada rasa ukhuwah, mereka bergerak dalam jalur, NU juga bergerak sesuai dengan jalurnya yaitu pribumisasi Islam. Dan dalam ini saya mengharap NU tidak terjebak dengan kepentingan politis sesaat, tetapi lebih mementingkan maslahat masyarakat banyak. Apalagi selama ini orang memahami, NU itu golongan tradisonalis, orang desa, tentu akan mati-matian menjaga identitas cultural yang dipegang selama ini.

Kalaupun ada yang secara pribadi pernah mengikuti konggres KPPSI, itu bukan NU-nya. Karena NU secara organisatoris tidak pernah memberikan komentar. Dan bahkan banyak juga orang yang kecewa akibat ketidaksamaan sudut pandang tentang Islam.

Apa upaya NU dalam mengapresisasi budaya lokal melalui Pesantren ?

Yang perlu dipahami dulu adalah NU sini berbeda dengan NU di Jawa yang begitu dekat dengan pesantren. Dan masa lalu merupakan cambuk untuk memperbaiki kinerja kepengurusan sekarang, dan itu komitmen. Kita sedang merumuskan stretegi yang lebih jelas dan terarah, tunggu saja nanti.

Ada contoh ya, katakanlah sekarang ini, kita sedang melakukan pengembangan pesantren misalnya di Maros, kita sudah menuju ke arah sana. Kelemahannya meskipun punya kultur bahwa ternyata pesantren tidak bisa mengembangkan struktur, jadi tanpa struktur kultur juga tidak biasa terbina dengan baik, oleh karena itu pesantren yang menarik diharapkan bisa menjadi salah satu pusat untuk pengembangan institusi NU ke depan. Artinya kita akan belajar dari pengalaman, sudah ada jalan di mana ulama-ulama memperkenalkan Islam juga melalui kultur lokal masyarakat, terutama yang ada di sekelilingnya. Desantara



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian