Sanro: Dialah Penghubung Spritual Itu

admin | 24 - Jun - 2008

“Di tengah rumah, pas disamping dapur nampak seorang perempuan yang berusia cukup lanjut tengah menyiapkan makanan di atas beberapa piring, sekali-kali perempuan ini nampak berkomat-kamit membacakan sesuatu sebelum akhirnya makanan itu diserahkan kepada beberapa orang (laki-laki dan perempuan) yang setrusnya menghidangkannya berjajar sepanjang ruang tengah dirumah adat tersebut. Setelah semuanya sudah siap perempuan ini kemudian memberikan isyarat bahwa hidangan sudah boleh disantap, maka Puang Tumatoa (pimpinan adat ditempat itu semacam sesepuh) dan Galla (Pelaksana Adat) mempersilahkan orang-orang yang hadir untuk menyantap makanan.

Perempuan yang sudah cukup tua ini dikenal sebagai Sanro dalam struktur adat Di Karampuang, satu komunitas adat yang ada di desa Tompobulu kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai. Dan ternyata peran sentral dari Sanro yang bernama Puang Jenne binti Tampa ini tidak hanya sampai disitu. Dalam berbagai acara adat dialah yang menjadi penghubung spritualnya. Bahkan dalam acara Ammanre Ase Lolo (Acara adat setelah panen padi istilahnya “makan beras baru”), yang pertama turun dari rumah adat dan menjejakkan kakinya di tanah adalah sanro ini.

Sebenarnya keberadaan perempuan di komunitas Karampuang ini sama halnya dengan perempuan lain dimasyarakat local. Sehari-hari mereka adalah ibu rumah tangga, yang bekerja didapur mencuci disumur atau hanya mengantarkan makanan untuk suaminya di sawah, Pendidikan mereka kebanyakan juga masih terbilang rendah. sekalipun peran perempuan di tempat ini masih seputar wilayah domestik, namun penghargaan masyarakat Karampuang terhadap perempuan sangat tinggi. Mereka dianggap mempunyai tingkat spritual yang tinggi, sebab sehari-hari mereka dianggap tidak terlalu banyak melakukan perbuatan dosa ini diakibatkan krena aktifitas mereak lebih banyak diseputar rumah. Sebab menurut keyakinan masyarakat Karampuang beraktifitas di tengah masyarakat membuat kita banyak melakukan relasi dengan manusia dari situlah kita rentang berbuat dosa terhadap sesama. Disamping itu sejarah awal mulanya Karampuang dimulai dengan keberadaan To Manurung yang diyakini seorang perempuan. To Manurung pertama inilah yang pertama turun di dataran yang pada saat itu masih berbentuk tempurung kelapa karena yang lainnya masih berupa lautan . To Manurung pertama ini pulalah yang berdiam di Karampuang dan menjadi Pemimpin disana. Dari sinilah kemudian system adat di Karampuang ini diwarisi oleh generasi selanjutnya.

Penghargaan terhadap kaum perempuan di Karampuang nampak dalam struktur adatnya. Dimana diantara Ade Eppa) yaitu Arung atau To Matoa, Gella, Sanro dan guru salah satunya mesti harus dijabat oleh perempuan yaitu Sanro. Dan keberadaan Sanro disini sebagaimana keberadaan yang lainnya sangat penting dan tidak boleh tidak ada. Dalam pandangan masyarakat sebagaimana diungkapkan oleh Puang Tomatoa (Arung) Tola bin Tampa, Ade Eppa itu disebut Eppa Alian Tettenna Anuae (Empat tiang penopang keutuhan negeri), satu tidak ada akan berakibat fatal terhadap keutuhan negeri. Bukan hanya itu, dalam struktur rumah adat yang mereka miliki symbol-simbol perempuan nampak menonjol. Misalnya pintu rumah tidak dari depan atau dari samping tapi dari tengah, ini adalah symbol miliknya wanita yang paling berharga, karena kalau miliknya wanita yang paling berharga adalah ditengah-tengah. Kemudian pintu ini memiliki gembok dari batu, ini bermakna bahwa kehormatan seorang perempuan harus dijaga dan dikunci rapat-rapat sebab kehormatan perempuan dikarampuang adalah symbol dari kehormatan negeri itu. Kemudian didepannya ini ada dua dapur besar, itu adalah symbol dari buah dada wanita. Ini merupakan symbol bahwa perempuan adalah sumber kehidupan manusia, sebagaimana dapur adalah sumber kehidupan di rumah. Kemudian disudut rumah, ditiang dan didinding memiliki hiasan-hiasan kayu yang disebut dengan Bate-bate (tanda-tanda) . ini juga merupakan symbol perhisana bagi kaum wanita.

Selain itu dalam acara Mabahang (musyawarah adat) di Karampuang, keberadaan perempuan sangat diperhitungkan. Sebelum acara Mappasisahung ade'(adu argumentasi) dalam acara mabbahangMa’bahang. Sedemikian pentingnya suara perempuan dalam acara ini sehingga menurut Sanro Puang Jenne”Tencaji Gaue ko De gaga seddana Makkunrai”nasaba niga elo annasu ko de’gaga makkunrai (Tidak akan jadi acara kalau tidak ada suaranya perempuan, sebab siapa yang akan memasak kalau bukan perempuan). dilakukan, para kaum perempuan dipimpin oleh Sanro terlebih dahulu melakukan rapat tersendiri, hasil keputusan dari rapat ini kemudian dibawa oleh Sanro kedalam acara

Kondisi yang seperti inilah yang menyebabkan hubungan antara kalangan laki-laki dan perempuan di Karampuang ini berjalan harmonis, seimbang tanpa satu merasa lebih dari yang lainnya sehingga potensi dominasi dari laki-laki menjadi tidak ada. Kaum laki-laki begitu menghargai posisi perempuan dan perannya diruang domestik dan bahkan menganggapnya sebagai kunci dan sumber kehidupan di Karampuang. Sedangkan kalangan perempuannya sendiri justru merasa sangat terangkat derajatnya dengan peran vitalnya di ruang domestik. Apalagi dalam aturan adat, ruang domestik ini semakin dikukuhkan sebagai penentu dengan adanya acara tersendiri yang disebut “Mabbali Sumange” yaitu satu acara membuat kue-kue dan makanan tapi merupakan rangkaian ritual adat.

Proyek Pemberdayaan dan Tekanan agama Resmi

Sekalipun demikian dalam pandangan kalangan pemerintah, Masyarakat Karampuang khususnya perempuannya masih sangat ketinggalan, karena itu campur tangan pemerintah sangat perlu untuk mengangkat derajat masyarakatnya dan juga memperkenalkan Karampuang ini sebagai satu daerah Wisata yang layak dikunjungi. Seperti diungkapkan oleh Kepala Desanya yang kebetulan seorang perempuan:

“Secara jujur harus diakui bahwa masyarakat adat yang ada di Karampuang khususnya perempuannya masih ketinggalan dalam persoalan sumber dayanya, karena itu mestinya pemerintah seharusnya memberikan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat Karampuang khususnya kalangan perempuannya, misalnya dalam persoalan keterampilan tata boga dan sulam menyulam” Demikianlah ungkapan A.Saiyya, Ibu Kepala Desa Tompobulu Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai yang kebetulan Karampuang adalah salah satu dusun dibawah naungan desanya.

Mungkin karena menyikapi pernyataan dari kepala desa ini, pemerintah khususnya pemerintah dati II Sinjaipun melakukan berbagai program yang mengarah kepada pemberdayaan masyarakat. Misalnya saja Pelatihan dan Pendidikan Keterampilan bagi Perempuan Karampuang.

Proyek pemberdayaan dari pemerintah ini mungkin disatu sisi menguntungkan masyarakat lokal yang ada disana namun intervensi yang berlebihan justru akan membuat masyarakat yang ada disana akan kehilangan kejeniusan lokal yang selama ini mereka miliki. Seperti yang diungkapkan oleh Sanro Puang Jenne bahwa mereka (kalangan perempuan di Karampuang) selama ini telah memiliki pemahaman tersendiri tentang bagaimana kaum perempuan harus berperan , dan menurutnya peran yang dilakukan kaumnya di Karampuang sangat berharga sekalipun lebih banyak perannya dapur, karena berkaitan dengan persoalan spritual dan ritual adat.

Dengan demikan boleh jadi campur tangan pemerintah yang berlebihan terhadap komunitas adat karampuang ini justru dirasakan pemaksaan bagi mereka untuk berubah menjadi modern, yang mana justru hal itu membuat mereka tercerabut dari kebiasaan komunal yang mereka telah jalani selama ini.

Selain intervensi negara dengan proyek pemberdayaannya tekanan-tekanan agama resmi bagi komunitas ini masih cukup kuat. Dalam hal ini agama ikut serta melakukan konstruksi terhadap perempuan local Karampuang. Dalam hal spritual misalnya, dulunya yang menangani hal itu adalah Sanro, namun datanganya Islam membuat peran spritualnya sebagaian harus ditangani oleh laki-laki yaitu guru. Sebab dalam pandangan Islam tentunya yang harus memimpin persoalan spritual adalah laki-laki. Sekalipun demikian komunitas adat di Karampuang ini tidak serta merta didikte dengan kedatangan Islam. Sebab sekalipun dalam persolan spritual sebagian ditangani oleh guru namun itu hanya dalam hal yang berkaitan dengan pelaksanaan ritual agama Islam, misalnya dalam persoalan hari raya idul fitri, Maulid, Isra’Mi’raj dan lainnya, sedangkan dalam hal spritual yang berkaitan dengan adat tetap dilakukan oleh Sanro.

Tawar-menawar komunitas ini dengan agama resmi sampai saat ini kelihatannya berjalan dengan baik. Contoh dalam hal ini misalnya antara Sanro dan Guru. Meskipun keduanya berhak memimpin dalam acara spritual tertentu. Namun keduanya saling menghargai. Bila dalam acara spritual agama Islam misalnya Idul Fitri atau Maulid yang meminmpin adalah guru tidak berarti sanro tidak terlibat. Sebab dalam pandangan masyarakat Karampuang acara sperti itu kini telah masuk menjadi bagaian dari tradisi mereka. Sebaliknya dalam acara spritual adat yang merupakan warisan sebelum datangnya Islam Sanrolah yang menjadi pemimpin tetapi juga tetap melibatkan guru, hanya saja kali ini dia harus menjadi makmunnya.

Ternyata perempuan lokal Karampuang ini mempunyai siasat tersendiri untuk menawar dominasi yang dilakukan terhadap mereka, masihkah kita mengatakan mereka adalah perempuan yang tidak berdaya? Desantara



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar