Commonwealth Literature (Kesusastraan Persemakmuran)
admin | 26 - Jun - 2008Pemaknaan secara luas Commonwealth Literature adalah karya-karya sastra pada saat bekas pemerintahan Kerajaan Inggris bersama negara-negara persemakmurannya, termasuk Britain. Bagaimana pun juga secara praktis kita dapat memaknainya sebagai susastra atau kesusastraan (yang ditulis dalam bahasa Inggris) negara-negara jajahan, termasuk bekas negara jajahan (termasuk India) dan jajahan Britain, tetapi tidak termasuk kesusatraan Inggris itu sendiri. (Susastra yang ditulis dengan menggunakan bahasa lokal dan dipraktekkan secara oral juga termasuk dalam istilah ini dan istilah ini telah digunakan juga untuk mencakup kesusastraan dari Wales, Scotlandia, dan Irlandia ).
Bangkitnya diskusi mengenai kesusastraan nasional yang ditulis dengan bahasa Inggris (di luar Britain) dimulai dengan diskusi mengenai kesusastraan Amerika (dengan kata lain; susastra Amerika). Pada kenyataannya karya-karya susastra yang diteliti secara kolektif dan dianggap sebagai kesusastraan Persemakmuran Inggris (commonwealth) mulai diperhatikan sejak akhir 1940 an diantara wacana-wacana nasional mereka. Perlu diketahui bagaimana pun juga konsep "susastra Persemakmuran Inggris (common wealth literature)" sebagai disiplin ilmu yang berbeda didalam perdiskusian bahasa Inggris, dimulai pada awal 1960an, baik di Inggris maupun Amerika. Di Amerika Serikat kesusastraan tersebut diformulasikan sebagai kajian susastra yang ditulis dalam 'bahasa 'dunia'nya Joseph Jones' Teranglia: Kajian Bahasa Inggris Sebagai Susastra Dunia (The Case For English as a World Literature (1965), dan sebagai susastra persemakmuran melalui karya A.L. Mcleod's berjudul 'Pena Persemakmuran' (The Commonwealth Pen) (1961), karya ini didedikasikan untuk R.G. Howarth atas jasanya melalui penelitiannya mengenai perbandingan dasar antara susastra Afrika Selatan dan Australia yang telah terbukti menjadi inspirasi bagi beberapa sarjana susastra persemakmuran dahulu. Suatu jurnal 'Susastra Dunia dalam Bahasa Inggris' (World Literature Written in English) dimulai pada tahun 1966 dan diselenggarakan secara rutin sejak tahun 1971: pelopornya adalah, CBC Newslatter, dipublikasikan pada tahun 1962 hingga 1966; yaitu suatu divisi MLA (kajian ethnosentris yang membahas 'Susastra Dunia dalam Bahasa Inggris ('World Literatures in English') yang terletak di luar Amerika Serikat dan Britain) dan dibentuk pada awal 1960an. Konferensi Internasional Susastra Persemakmuran yang pertama di laksanakan di Leeds, Inggris pada tahun 1964 dan terbentuk juga Asosiasi Susastra Persemakmuran (Association for Commonwealth Literature) dan beberapa kelompok Kajian Bahasa (Language Studies). (Konferensi yang diadakan di Leeds ditindaklanjuti dengan beberapa konferensi lainnya yang diadakan di Makerere, Uganda, membahas peranan bahasa Inggris sebagai bahasa asing, dan di Cambridge Inggris, berkenaan dengan pengajaran susastra Inggris di Negara asing). Jurnal susastra Persemakmuran (The Journal of Commonwealth Literature) dimulai pada tahun 1965 dan pada jurnal akbar yang ketiga, jurnal ini secara ekslusif terfokus pada pebahasan teori dan kritik susastra persemakmuran (Kunapipi) dan dipublikasikan pada tahun 1979 (seterusnya jurnal tersebut menjadi jurnal yang terkemuka dan penting dalam membuat suatu perubahan fungsi sesuai dengan istilah susastra pasca penjajahan/ post-kolonial).
Kajian-kajian kontemporer pasca penjajahan/post-kolonial merepresentasikan pertemuan antara kajian-kajian susastra persemakmuran dan dengan apa yang sekarang disebut dengan 'teori diskursus penjajahan' (colonial discourse theory). Seperti catatan Peter Hulme dalam essay-nya yang berjudul 'Subversive Archipelagoes' (1989), diskursus penjajahan adalah suatu formulasi dari peredaran konsep terbaru yang dipahami sebagai konsep rencana yang ditandai kali pertama oleh Edward Said dalam 'Orientalism' walaupun seperti yang dikatakan oleh Hulme 'banyak karya-karya susastra yang dipublikasikan setelah 'Orientalism' yang jelas-jelas mempuyai asal runutannya sendiri yang lebih dahulu dari 'Orientalism'.
Sama halnya dengan Orientalism, yang juga membuat suatu perkembangan ke depan berkenaan dengan teori wacana atau diskursus penjajahan, makalah-makalah ini diantarkan ke Konferensi Leeds pada tahun 1964, khususnya D.E.S. Maxwell dengan karyanya 'Landscape and Theme', yang menggunakan beberapa istilah yang mendominasi kritik dan teori susastra persemakmuran pasca penjajahan selama sepuluh tahun ke depan. Tetapi banyak hal yang terjadi di Leeds telah dapat ditentukan oleh adanya pertumbuhan gerakan (susastra) nasionalis dan tradisi-tradisi kritik kbudayaan di dalam negara-negara Persemakmuran, pertumbuhannya didasarkan pada kedua pemahaman antara niat atau tujuan dan sumber yang digunakan dalam susastra Inggris sebagai sarana bagi penjajah untuk mengontrol seluruh daerah wilayah kekuasaan bekas kerajaan Britain. Awalnya kajian susastra Amerika di beberapa universitas pada tahun 1960an bersama dengan meningkatnya sikap sentiment budaya para nasionalist, berpengaruh pada dua hal; ketidakstabilan pada sentralitas kesusastraan Inggris yang hingga saat ini tidak diragukan lagi keberadaannya di dalam Departemen Bahasa Inggris Curricula dan ketidakstabilan fondasi-fondasi dimana banyak dari kajian-kajian yang ada didasarkan pada fondasi tersebut, khususnya pada adanya ide mengenai 'universalitas susastra' (literary universality). Konferensi di Leeds dan pertanyaan-pertanyaan tahun 1960an mengenai, mungkinkah asumsi-asumsi Anglo-centric adalah sebagai contoh pentingnya. dengan sendirinya dapat dilacak kembali pada masa perlawanan dan kritik terhadap penjajahan (dan rasis), berkenaan dengan gerakan kesadaran dan bangga sebagai orang berkulit hitam dan berbudaya Afrika pada tahun 1930an dan 1940an
Kritik-kritik Persemakmuran pasca penjajahan, mempunyai keterhubungan yang kecil dengan Filsafat-filsafat Kontinental dibandingkan dengan teori-teori diskursus penjajahan, yang pada awalnya diawali dengan terkonsentrasi pada penterjemahan tulisan-tulisan kreatif berbahasa Inggris ke dalam bahasa negara-negara Persemakmuran sehingga dapat dikenali dalam suatu jurusan yang ada di dalam kajian-kajian kesusastraan yang mempunyai beragam asumsi dan fondasi dan juga kekuatan yang berakar dan hampir secara ekslusif terinventasi di dalam kesusastraan Inggris (atau yang lebih tepat disebut United Kingdom). Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan sebagai karya sastra Persemakmuran pasca masa penjajahan/post-kolonial secara akademisi yang akar dan segala usaha yang terus dilakukan tergantung pada kuatnya budaya dan sentralitas politik kerajaan, dan dalam hal disiplin yang memandang perilaku dan substansi subjek sebagai tanda-tanda dan symbol-simbol dari kekatan tersebut- Kesusastraan Inggris berserta metode pengajarannya yang secara konstan menyikapi secara nyata/ kongkret, memerankan kembali dan menginvestasi kembali hubungan penjajahan – kritik para nasionalist dipaksa untuk melaksanakan perang gerilya dalam konteks istilah-itilah dan kerangka bepikir kritik praktis kesusastraan Inggris. Dalam melaksanakan hal tersebut pada awalnya mereka mengadopsi suatu doktrin Leavisite ( Suatu Kritik sastra Inggris yang menetapkan bahwa susastra harus menjadi suatu bentuk kritik terhadapa hidup dan kritik tersebut harus berdasarkan kehidupan sudut pandang moral pengarangnya) dan/ atau New Criticism, pembacaan suatu teks yang menggunakan tradisi Euro-Modernist, bagi mereka yang mengalami peningkatan dan tidak terhindarkan dari adanya erosi dipastikan dengan adanya tekanan-tekanan anti penjajahan yang berasal dari teks-teks susastra mereka sendiri. Dari hermeneutika New Critical mereka dipaksa untuk masuk ke dalam spesifikasi social-budaya oleh adanya tekanan-tekanan local anti penjajahan, Persemakmuran pasca penjajahan pun dengan mengintensifkan orientasinya secara local dan lebih umum bersifat teoritis, membuat susastra Persemakmuran ini semakin dekat dengan apa yang menjadi perhatian perkembangan dari 'kakak perempuan' sejurusannya, yaitu teori diskursus penjajahan.
Kesusastraan Persemakmuran pasca penjajahan pada intinya tetap terarah pada teks-teks kesusastraan, walaupun secara intensif telah beralih pada dokumen-dokumen kerajaan dan diskursus-diskursus kerajaan hingga saat ini, terkait dengan konferensi Leeds, keduanya tetap yang paling berpengaruh secara nasional dan bersiteguh bersifat komparatif dalam penerapanya. Perkembangannya yang intensif selama 1970an hingga ke masa anti penjajahan, aliran sastra ini menantang sentralias nilai-nilai dan dogma kerajaan Inggris, sehingga ahirnya mebangkitkan suatu issue penting berkenaan dengan ditanyakannya suatu kebijaksanaan pemerintahan secara terus menerus dan dampaknya terhadap pendidikan kesusastraan Inggris. Argumentasi-argumentasi para anti penjajahan pun didukung oleh adanya tuntutan-tuntutan untuk diciptakannya perkenalan institusi mengenai kesusastaraan nasional atau pun regional. Secara signifikan, istilah-istilah yang digunakan pada pediskusian di masa mendatang tetap mempertahankan dasar historisitas institusi-institusi dan pelaksanaan penjajahan Inggris (bertetangan dengan permasalahan ini), untuk meneruskan dan mengikutsertakan penelitian mengenai koloni pendatang sebagai bagian yang sangat penting utuk dapat memahami imperialisme, perlawanan dan masa pasca penjajahan (post-colonial).
Jika kajian mengenai teori aliran post-structuralist atau diskursus penjajahan (colonial discourse) semakin diminati secara luas, maka sebaliknya dengan nasib yang telah menjadi dasar dari aliran tersebut yaitu filsafat Eropa dan politik menjadi semakin tidak diminati dalam penulisan kontemporer oleh mereka yang pernah terjajah dan dalam oleh mereka yang anti pendidikan politik penjajahan dalam bidang akadimisi. Hal ini telah diperhitungkan sebagai ketidakfokusan dalam tulisan kreatif (dengan perkecualian terhadap hasil-hasil susastra Kerajaan Inggris). Selain itu, mungkin alasannya didasarkan pada pendasaran filosofis, yang telah menolak konsep nasional sebagai 'kesadaran yang keliru' (false consciousness), oleh karena itu hal ini menyebabkan konflik aliran kesusastraan Persemakmuran, yang kebanyakan hasil karyanya membahas anti-penjajahan didasari pada konsep nasional sebagai penghapusan tehadap penjajahan baik terhadap yang sebelum atau sesudah kemerdekaan untuk mempertanyakan kebijaksanaan pemerintahan kulit putih (Anglo interpellation).
Bacaan lebih lanjut: Ashroft et al. 1989; Boehmer 1995; Hulme 1989; Jones 1965; King 1974, 1996; New 1975; Rutherford et al. 1992.
Tweet
« Fanonisme Kritis
Tulisan sesudahnya:
Pemisah Metonimik »
Pencarian
Kategori Istilah
Random Post
- Fatwa MUI Mengoyak Ajaran Sedulur Papat Kelima Pancer(4)
- Komunitas Onto: Dari Onto Sejarah Bantaeng Dimulai(0)
- Revitalisasi: Reyog Onggopati(0)
- Balada Si Pengunyah Makanan(0)
- Dewan Kesenian Di Mata Para Seniman(0)
- Srinthil 18 : Gerwani(0)
- Democratic Reform Support Program (DRSP)(0)
- Srinthil edisi 23: Perempuan petani mengelola perubahan(0)
- Pak Poyo: Seniman Jaranan Di Tengah Perubahan(0)
- Srinthil 04 : Ketika Aurat Dikuasai Surat(0)
- Melepaskan Aliran Dari Jerat Sesat(0)
- Puang Temmi: “Calabai itu Ketentuan Tuhan”(0)
- Representasi dalam Spiritualitas Sedulur Sikep(0)
- Pemda Kuningan: Kami Mengakui Ada Diskriminasi Agama(1)
- Hak Minoritas di Indonesia(0)