Majalah Desantara Edisi 12/Tahun IV/2004: Kaum Betawi Negosiasi Menerobos Batas
admin | 31 - May - 2011Dalam sebuah sarasehan budaya Betawi, kira-kira empat tahun lalu, seorang tokoh Betawi tiba-tiba menginterupsi pernyataan seorang ilmuwan ketika menyebut kata “Betawi Pinggir”. “Siapa bilang ada Betawi Pinggir atau Betawi Udik, Betawi Tengah. Itu warisan colonial yang mau memecah belah kita. Betawi itu ya satu,”kata sang tokoh Betawi itu mengungkapkan penolakannya atas pengkategorian yang dibuat sang ilmuwan itu.
Ya, sang ilmuwan itu bernama Yasmine Syahab, seorang antropolog lulusan University of London yang pada tahun 1994 menyelesaikan disertasi doktoralnya dengan judul The Creation of Ethnic Tradition: The Betawi of Jakarta. Dalam disertasinya itu, ia mengelompokkan etnis Betawi ke dalam beberapa komunitas: Betawi Kota, Betawi Tengah, Betawi Pinggir dan Betawi Udik. Kata Yasmine kategori itu dibuat tidak secara sembarangan, melainkan diambil dari pandangan masyarakat Betawi sendiri yang menyebut sesame mereka lainnya baik sadar maupun secara tidak sadar dengan sebutan-sebutan seperti itu. Bahkan lanjut Yasmine, kalau dilihat asal-usul keturunan dan agamanya, masyarakat Betawi juga sangat beragam ada Betawi Bangsawan, Betawi Cina, Betawi arab, Betawi Kristen, dan Betawi Baru…
…Tapi sayangnya, meski berusaha memaparkan kondisi sosio-kultural kaum Betawi, gambaran yang dihadirkan itu tetap menyimpan bias-bias yang tidak bisa dielakkan. Betawi Pinggir atau Betawi Udik, misalnya, direpresentasikan sebagai subkultur Betawi yang pendidikannya rendah, di samping secara cultural banyak dipengaruhi kebudayaan Sunda dan tingkat keislamannya yang rendah. Sementara kelompok Betawi Tengah digambarkan berpendidikan dan bercorak Islam dan Melayu dan lebih menganggap dirinya lebih merepresentasikan identitas kebetawian daripada kaum Betawi Pinggir. Akibat stereotip semacam inilah rupanya kaum Betawi Pinggir tidak cukup memiliki peran dalam perumusan identitas kebetawian karena dianggap rendah baik secara social maupun ekonomi…
Tweet
« Majalah Desantara Edisi 09/Tahun III/2003: Mbah Mutamakkin vs Cebolek; Suara Lain dari Kajen
Tulisan sesudahnya:
Majalah Desantara Edisi 13/Tahun V/2005 »
Pencarian
Kategori Majalah
- Majalah Desantara Edisi 16/Tahun VIII/2008: Santri dan Seniman Tradisi: Kontestasi dan Negosiasi Budaya
- Majalah Desantara Edisi 15/Tahun VII/ 2007 : Subversi Erotis Lengger Banyumas
- Majalah Desantara Edisi 14/Tahun V/2005 : Beragam Agama, Satu Budaya
- Majalah Desantara Edisi 13/Tahun V/2005
- Majalah Desantara Edisi 12/Tahun IV/2004: Kaum Betawi Negosiasi Menerobos Batas
- Majalah Desantara Edisi 09/Tahun III/2003: Mbah Mutamakkin vs Cebolek; Suara Lain dari Kajen
- Majalah Desantara Edisi 08/Tahun III/2003: Seks dan Masyarakat “Multitafsir”.
- Majalah Desantara Edisi 07/Tahun III/2003 : Dulu Kami Kafir, Sekarang Beragama
- Majalah Desantara Edisi 06/Tahun II/2002: Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi “Samin”
- Majalah Desantara Edisi 05/Tahun II/2002 : Ketika Reyog di Pangkuan Generasi Pewaris
- Majalah Desantara Edisi 04/Tahun II/2002: Nasib Kultur Pesisir di Cirebon
- Majalah Desantara Edisi 03/Tahun II/2002: Ketika Kabar Langit Tiba di Sini
- Majalah Desantara Edisi 02/Tahun I/2001: Anis Djatisunda: Pemaksaan Arabisme pada Budaya Sunda Membuat Mereka Gelisah.
Random Post
- Majalah Desantara Edisi 06/Tahun II/2002: Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi “Samin”(0)
- Salah Paham atas Sedulur Sikep(0)
- Ritual Bebalai dan Komunitas Yang Terlupakan(0)
- Ki Supangi: Wong Malang Ora Oleh Untung(0)
- PERKENALAN DENGAN MULTIKULTURALISME(0)
- Islam Kutai dan Persinggungan Politik(0)
- Srinthil 12 : Penari Gandrung dan Gerak Sosial Banyuwangi(0)
- Seren Taun(2)
- Ludruk, Bangkitlah!(0)
- Majalah Desantara Edisi 05/Tahun II/2002 : Ketika Reyog di Pangkuan Generasi Pewaris(0)
- Sinkretisme, Sebuah Solusi(0)
- Test tennese Flood(0)
- Lagu Banyuwangen: Antara Komodifikasi dan Pergulatan Identitas(0)
- Delik-Delik Keagamaan di dalam RUU KUHP Indonesia(0)
- Teori Negara(0)