Ahmadiyah di Mata Nara

M. Kodim | 6 - May - 2008

Rekomendasi Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) untuk pembubaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang dilahirkan dari rapat evaluasi tanggal 16 April 2008 lalu ternyata semakin manaikkan suhu keteganggan yang sudah lama menyala.

Kehidupan jemaat Ahmadiyah di berbagai daerah menjadi tak tenang. Hari-hari mereka kini dibalut rasa takut dan cemas: cemas karena setiap saat memungkinkan didatangi oleh gerombolan orang-orang yang selama ini menghendaki Ahmadiyah enyah dari bumi Indonesia; takut akan keselamatan diri dan keluarga serta aset-aset mereka yang setiap saat bisa menjadi sasaran amuk orang-orang beringas itu.

Ketakutan dan kecemasan mereka tampaknya tidak sekadar menjadi sesuatu yang melintas di fikiran. Pasca rekomendasi Bakor Pakem, berbagai tindak anarkhis bertebaran dimana-mana: masjid terbesar Ahmadiyah di Sukabumi dibakar massa hingga hanya bersisa abu; masjid di Kampung Ciarunteun Udik, Kabupaten Bogor, yang sudah berdiri 30 tahun lamanya dirusak pula; berbagai intimidasi dan tekanan pun merebak dimana-mana.

Tak luput, situasi demikian juga terjadi di Kampus Mubarak, jl. Raya Parung-Bogor, Kampung Udik, Kemang, Bogor –pusat aktivitas jemaat Ahmadiyah. Selang sehari setelah rekomendasi Bakor dikeluarkan, tepatnya tanggal 17 April 2008, massa Gabungan Umat Islam Indonesia (GUII) pimpinan Habib Assegaf langsung beramai-ramai menadatangi Kampus Mubarak. Beruntung polisi mampu mencegatnya sehingga tindak anarkis tidak sampai terjadi.

Gagal hari itu, tak membuat Assegaf lantas diam. Selasa, 29 April 2008 kemarin, dia kembali membawa pasukannya ke sana. Namun lagi-lagi upaya mereka bisa dikandaskan polisi. Karena tak bisa masuk ke Kampus Mubarak, mereka akhirnya hanya memasang spanduk dengan tulisan yang bernada provokatif di depan Kampus.

Ketegangan di Kampus Mubarak

Setelah dua kali massa GUII gagal masuk ke Kampus Mubarak, kini isunya, Front Pembela Islam (FPI) yang akan menjajal ketangguhan barisan polisi.

Jumat, 2 Mei 2008, menurut informasi intel kepolisian, massa FPI akan mendatangi Kampus Mubarak usai shalat jumat. Konon, mereka akan mengerahkan sekitar 2000 sampai 3000 orang.

Suasana di depan Kampus Mubarak usai shalat jumat pun tampak tak biasa. Polisi dalam jumlah yang tak sedikit terlihat berjaga-jaga di sana. Hari itu juga banyak intel berseliweran di sekitar lokasi. Mobil Dalmas tampak berjajar di tepi jalan Raya Parung-Bogor, pun juga mobil pengangkut kawat berduri –kawat yang biasanya digunakan untuk menghadang massa. Mereka agaknya sudah bersiap-siap.

Matahari semakin condong ke barat. Namun massa FPI yang ditunggu-tunggu itu belum juga menampakkan diri. Para polisi dan intel pun mengambil kesempatan ini untuk berteduh di tenda-tenda pedagang di tepi jalan sambil menikmati es kelapa muda untuk mengusir dahaga mereka akibat panasnya cuaca siang itu.

Kehadiran mereka tak urung mengundang perhatian para pengguna jalan yang ketepatan melintas di sana. Berkali-kali, para pengguna jalan terlihat menghentikan kendaraannya sejenak beberapa meter dari situ. Mereka agaknya mengira ada operasi kendaraan.

Beberapa jam berlalu. Namun belum juga ada tanda-tanda FPI muncul. Beberapa pengurus jemaat Ahmadiyah semakin gelisah, sebab sudah jam 15.00 WIB belum ada kejelasan. Mereka takut kalau massa akan bergerak petang hari. “Mudah-mudahan mereka enggak jadi datang,” harap Hamid, salah satu pengurus Ahmadiyah.

Pengalaman Nara Dengan Ahmadiyah

Persoalan Ahmadiyah seolah tiada habisnya. Muski ia sudah terlahir jauh sebelum bangsa ini merdeka, namun keberadaannya di Indonesia selalu dipersoalkan. Selalu saja ada permasalahan yang bisa membuka ruang perdebatan mengenainya.

Sudah sering saya mendengar perdebatan soal Ahmadiyah di forum-forum diskusi, seminar, media, bahkan di warung-warung kopi. Rasanya agak membosankan pula mendengar materi obrolan mereka. Sebab, dari dulu yang diperdebatkan tidak beranjak dari persoalan apakah Ahmadiyah itu aliran sesat atau tidak.

Bagi kelompok penentang, Ahmadiyah dianggap sesat dan menyesatkan, karenanya harus ditamatkan riwayatnya dari bumi Indonesia. Sementara bagi kelompok yang pro berargumen bahwa persoalan keyakinan merupakan hak setiap warga negara yang sudah dijamin oleh konstitusi dan undang-undang, karenanya harus dihormati. Masing-masing kubu memiliki landasan dan dalil sendiri-sendiri yang mereka rujuk dan dianggap paling benar.

Perdebatan kian sengit ketika Bakor Pakem mengeluarkan rekomendasi. Salah satu item dari hasil rapat itu berbunyi: “JAI telah melakukan kegiatan dan penafsiran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yang dianut di Indonesia, menimbulkan keresahan dan pertentangan di masyarakat sehingga mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.”

Perdebatan kedua kubu pun kian sengit, dalam tensi tinggi. Bagi kelompok penentang, keputusan tersebut harus dibela karena sejalan dengan pemikiran mereka. Sedangkan bagi kelompok pembela Ahmadiyah, keputusan itu harus ditentang karena dianggap sudah menyimpang dari spirit konstitusi dan HAM.

Entah siapa yang paling benar. Keduanya sama-sama paham soal hukum, politik, dan agama. Mereka juga begitu fasih berargumen. Tapi saya tidak tahu persis apakah mereka juga mempunyai pengalaman langsung berinteraksi dengan warga Ahmadiyah. Agaknya saya tidak bisa memastikan. Secara posisi saja, mereka adalah bagian di luar Ahmadiyah, yang tidak merasakan secara langsung bagaimana bersinggungan dengan warga Ahmadiyah. Karenanya, salah satunya bersikukuh dengan pendekatan teologis/doktrinal, sementara lainnya menggunakan pendekatan positivistik.

Kalau soal materi ajaran memang selalu bisa diperdebatkan: bisa dianggap sesat dan meresahkan, bisa pula tidak. Bergantung siapa yang membicarakan dan dalam kepentingan apa. Namun persoalan pengalaman empirik keseharian tidak hanya mengandalkan tafsir teologi dan logika, tapi indera, emosi, dan sekaligus logika. Dimensi yang tidak pernah tersentuh dan terangkum dalam perdebatan mereka.

***

Untuk mengusir rasa jenuh menunggu FPI –meskipun akhirnya FPI tidak jadi datang–, saya bersama dua teman masuk ke salah satu warung kecil yang terletak tak jauh dari Kampus Mubarak sekadar minum kopi. Ibu Nara, pemilik warung tersebut adalah warga Kampung Pondok Udik, Kemang, Bogor. Rumahnya bertetanggaan dengan rumah warga jemaat Ahmadiyah.

Sudah berpuluh-puluh tahun lamanya Ibu Nara hidup berdampingan dengan warga Ahmadiyah. Selama itu pula ia tidak pernah merasakan suatu yang aneh apalagi bermasalah dengan warga Ahmadiyah. “Saya ma enggak tahu apa yang membedakan kami. Ibadah mereka sama saja dengan saya. Perilaku mereka juga sama dengan warga yang lain,” tutur ibu dari 6 anak itu.

Secara relasi sosial, antara warga Ahmadiyah dengan non-Ahmadiyah di kampung itu sudah tidak bisa dibedakan lagi jika hanya untuk kebutuhan dikalsifikasi berdasarkan aliran atau organisasi. Ibu Nara yang dibesarkan dari kultur Nahdlatul Ulama (NU) bersama warga lainnya sudah tidak pernah memperdebatkan apalagi membedakan diri mereka dengan warga Ahmadiyah di kampung tersebut. Sudah tidak mengenal pula jarak diantara mereka.

“Mereka itu ya sama dengan kami. Ketika dari kami ada yang meninggal, mereka juga datang, ikut berduka cita, dan membantu kami. Kalau ada acara sunatan, pernikahan, atau hajatan, mereka juga mendampingi kami. Jadi sama saja,” lanjutnya.

Karenanya, ketika Ahmadiyah dipersoalkan, Ibu Nara yang sudah paham betul tindak-tanduk warga Ahmadiyah merasa heran. “Kok bisa mereka digitukan. Sekarang itu ya mas, di tempat mereka itu mulai pagi dijaga polisi, karena takut didatangi orang-orang itu,” katanya.

Menyaksikan keadaan jemaat Ahmadiyah di Parung yang kerap mendapat intimidasi dan tindak kekerasan, Ibu Nara tampak bersimpatik, utamanya terhadap ibu-ibu warga Ahmadiyah. “Saya itu kasihan loh mas sama mereka. Waktu di kampung saya sering tanya ke ibu-ibu: lho kenapa kok balik lagi, enggak jadi shalat? Ibu-ibu itu bilang ada orang-orang yang ganggu,” ceritanya.

Lalu kenapa Ahmadiyah dipermasalahkan bahkan dituduh meresahkan serta mengganggu ketentraman? Ibu Nara sendiri bingung, alias tidak bisa menjawabnya. Ibu yang sudah berjualan nasi selama tiga tahun lebih itu mengaku tidak tahu. “Saya ini ma orang bodoh sih, enggak tahu gitu-gituan. Saya enggak ngerti politik. Orang-orang yang mendatangi Ahmadiyah itu, mungkin berfikiran politik, lebih pinter. Saya ini memang bodoh. Jadi enggak nutut mikir kayak gituan. Tapi yang saya rasakan mereka (warga Ahmadiyah) itu sama saja dengan kami, dan kita baik-baik saja selama ini,” katanya.

Ibu Nara memang bukan siapa-siapa. Dia hanyalah warga biasa yang setiap hari berjualan nasi di warung kecilnya itu. Tak tahu-menahu pula soal politik, apalagi berfikiran politis. Yang ia tuturkan hanyalah pengalaman kesehariannya.

Ibu Nara juga hanyalah satu dari sekian banyak orang di kampung itu. Tetapi tentu bukan soal kuantitatif semata. Sebagai manusia, Ibu Nara memiliki dimensi yang kompleks; hati, perasaan, indera, fikiran, dan emosi yang selama ini mengalami perjumpaan dan persinggungan secara langsung dengan warga Ahmadiyah di kampungnya. Dalam konteks inilah suara dan tuturan Ibu Nara layak untuk didengar.

Agak mengherankan pula kenapa Bakor Pakem sampai mengeluarkan keputusan seperti itu. Mengapa ia tak mencoba mendengarkan langsung suara orang-orang seperti Ibu Nara? Ataukah memang begitu, sebuah keputusan lebih didasarkan pada suara-suara penuh prasangka dari pada suara kenyataan. Apakah memang sudah menjadi rumus baku bahwa keputusan senantiasa berjarak dengan kenyataan?[] Desantara / M. Kodim


Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

No Responses to “Ahmadiyah di Mata Nara”

  1. HUSBAN says:

    Tulisan yang sangat bagus mas… lumayan menentramkan

Isi Komentar

Pencarian