Dari Betawi?
Miftahudin | 8 - May - 2008Alkisah. Hiduplah di Surabaya, seorang petani bernama Cak Trimo, bersama istrinya tercinta. Keluarga ini berangsur-angsur mengalami kesulitan ekonomi yang makin lama makin parah. Di tengah kemarahan sang istri yang tiada henti (karena tiap hari kelaparan), Cak Mo (demikian ia akrab dipanggil) berpikir keras bagaimana caranya agar bisa mendapatkan uang dengan mudah, tapi halal.
Sampailah ia kemudian menemukan gagasan yang cemerlang. Cak Mo ingat bahwa tiap tahun masyarakat Surabaya selalu mengadakan pesta rakyat, yaitu setelah mereka melakukan panen raya. “Aku ingin membuat hiburan yang menarik dan menggembirakan mereka. Dan mereka pasti mau membayar mahal hiburanku.”
Singkat cerita, suami istri ini lalu sangat rajin berlatih membuat hiburan setiap hari. Cak Mo sebagai pemain yang menari dan berdendang, sementara istrinya bertugas menabuh gamelan. Tarian Cak Mo sangat khas, dengan gerak kaki yang selalu menjejak ke tanah, yang dalam istilah Jawa disebut nggedruk.
Setelah merasa siap, keduanya mulai memperkenalkan tarian hiburannya itu ke tengah masyarakat Surabaya. Makin hari tarian Cak Mo makin dikenal masyarakat. Sehingga sewaktu akan diadakan pesta rakyat setelah panen usai, Cak Mo dan istrinya diundang untuk menampilkan kesenian itu di pesta. Dan sudah pasti, para pengundang yang habis panen itu akan memberinya uang yang banyak.
Dan ketika pesta rakyat digelar, suasana pun sangat semarak. Seluruh penduduk daerah Surabaya keluar dengan pakaian yang bagus-bagus. Sejumlah pedagang dari luar kota berdatangan dengan membawa dagangan yang bermacam-macam jenisnya. Termasuk para pedagang yang berasal dari Jakarta. Mereka semua pada terpingkal-pingkal ketika mendengar kidung atau tembang berpantun yang dibawakan Cak Mo bersama istrinya. Karena kidungan atau tembang berpantun yang dibawakan Cak Mo kebanyakan berisi kisah-kisah yang lucu.
Seraya melagukan kidungnya, Cak Mo juga menari-nari. Kakinya yang memakai rangkaian kelinting dijejak-jejakkan atau digedruk-gedrukkan ke tanah. Terdengarlah suara yang berbunyi pying-pying diantara suara tetabuhan yang dipukul istri Cak Mo. Seorang pedagang pakaian yang berasal dari Jakarta yang juga datang ke pesta itu pun dibuat tergelak melihat tarian Cak Mo yang aneh itu. Sambil terus tertawa-tawa, pedagang dari Jakarta (Bertawi?) itu pun menghampiri Cak Mo yang sedang asyik menggedruk-gedrukkan kakinya yang berkelinting.
“Lu nggedruk, lu nggedruk…” kata pedagang pakaian itu dengan dialek Betawinya. ‘Lu’ dalam bahasa Betawi berati ‘kamu’. Jadi yang dikatakan pedagang itu adalah ‘kamu nggedruk, kamu nggedruk’. Orang-orang Surabaya, mungkin karena geli mendengar ucapan orang Betawi itu, ikut-ikutan menirukan ucapan orang Betawi, tetapi dengan cara yang dipendekkan, “Ludruk, Ludruk”. Karena kata-kata pedagang dari Jakarta itulah hiburan yang ditampilkan oleh Cak Mo dan istrinya kemudian oleh penduduk daerah Surabaya dinamakan Ludruk. Sejak saat itu, Cak Mo dan istrinya sangat laris mendapat undangan untuk mementaskan seni ludruknya sehingga lambat laun ia menjadi kaya.
James L Peacok dari Universitas Chicago dan juga Carl J Hefner dari Universitas Hawaii yang pernah sangat lama meneliti kesenian Ludruk Jawa Timur, barangkali akan terkejut dengan kisah ini. Bagaimana mungkin jenis kesenian yang merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat Jawa Timur ini ternyata penamaannya justru diberikan oleh orang Betawi?
Tetapi masyarakat Jawa Timur, khususnya penggemar Ludruk, mungkin tak perlu memasukkannya dalam hati. Karena kisah yang diambil dari sebuah buku yang ditulis Suripan Sadi Hutomo dan Setya Yuwana Sudikan berjudul Cerita Rakyat Dari Surabaya (Grasindo, 1996) ini, lebih dimaksudkan sebagai mutiara hikmah, khususnya kepada anak-anak sekolah, bahwa intinya orang itu harus kreatif dan berusaha semaksimal mungkin untuk menggapai cita-cita. Tetapi jika Anda belum puas, ada baiknya jika kita menulis sejarah sendiri. Bukankah itu lebih produktif? Desantara / Miftahudin
Tweet
« Komunitas Onto: Dari Onto Sejarah Bantaeng Dimulai
Tulisan sesudahnya:
Perempuan Seni Tradisi dan Problem Teknokrasi »
Pencarian
Kategori Esai ID
- Matinya Erau dari Tradisi ke Politisasi Etnik
- Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013
- Islam Kutai dan Persinggungan Politik
- “Menciptakan Seni Alternatif bagi Masyarakat”
- Paraben andi’ ana’, Belenjer andi’ Lake (Perawan Punya Anak, Janda Punya Suami): Kritik Sosial Perempuan Seni Madura terhadap Santri Coret
- Tanah dan Pergeseran Kosmologi Dayak Kenyah
- Prahara Budaya: Refleksi Peradaban Manusia Dayak
- Memahami Klaim Kebenaran Agama: Suatu Refleksi Filosofis
- Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, Kutai Kartanegara
- Komunitas Nyerakat : Geliat di Tengah Gempuran Arus Modernitas
- Bisnis Perizinan Kuasa Pertambangan dan Geliat Pilkada Kota Samarinda
- Perempuan Kampung Pamanah di Industri Tenun Sarung Samarinda
- Pesantren Tegalrejo: Lautan di Lereng Merbabu
- Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai
- Wajah Lain Dari Tegalrejo
Random Post
- Video Gendang Beleq bagian 2(0)
- RUU KUB memasung dan tidak merukunkan?(0)
- Aliran Sesat, Kekerasan, dan Ketidakcakapan Negara?(1)
- Fanonisme(0)
- Buki Sahidin Korban Diskriminasi Agama, Negara, dan Publik(0)
- Yang Beda Yang Dibungkam(0)
- Pelatihan Penelitian Sosio-legal di STH Galunggung, Tasikmalaya(0)
- Fatwa MUI Mengoyak Ajaran Sedulur Papat Kelima Pancer(4)
- Pelatihan Diskursus Kebudayaan dan Komunitas(0)
- Prosesi Pernikahan Adat Wetu Telu – bag 1(0)
- Jejak Kearifan Lokal di Komunitas Pappuangan(0)
- RUU KUB Berpeluang Timbulkan Konflik Baru(0)
- Landasan Islam Menghapus Diskriminasi Agama dan Kepercayaan(0)
- Ketika Jaranan Thik Melawan Reyog(0)
- Buruh Sortir Kopi Gayo I(0)