Perempuan Seni Tradisi dan Problem Teknokrasi

S.B. Setiawan | 9 - May - 2008

(sebuah catatan lapangan)

“Saya terkadang amat sedih melihat perkembangan seni gandrung Banyuwangi, mengapa hanya gandrung tari saja yang dikembangkan Pemerintah Daerah? Mungkin ini belum rejeki saya, padahal harusnya kalau gandrung itu ditanggap tidak hanya suara saja, tapi juga tarinya. Saya diam saja, saya butuh. Sebetulnya gandrung tari itu tidak bisa menyanyi, hanya bisa tari jejer gandrung saja. Kami sering merasa dipermainkan, makanya dengan suami saya mendirikan grup gandrung sendiri ” ungkap gandrung Siti".

Ungkapan polos itu meluncur begitu saja dari bibir perempuan setengah baya yang memiliki nama lengkap Siti Astutik. Seketika raut mukanya yang mulai berkeriput berubah merah menutup rona cantik yang masih membekas di wajahnya. Awal tahun 90-an Siti yang baru saja menikah dengan Sutomo, merasa jengkel, pasalnya Siti sering sekali diundang oleh pemerintah daerah untuk pentas di berbagai daerah. Ternyata kepandaiannya menyanyikan syair gandrung saja yang diambil sebagai pengiring tarian gandrung binaan pemerintah daerah.

Ingatan atas peristiwa masa lalu masih menggetarkan ucap kata perempuan berusia 48 tahun ini. Pasalnya peristiwa yang menimpanya pada masa lalu masih tetap saja terjadi hingga sekarang ini “Saya sering bertanya dalam hati, kenapa kok gandrung tari yang di uri-uri bukan gandrung yang asli (gandrung yang mengikuti pakem, jejer, paju, dan seblang-seblang). Sebuah kekecewaan yang sebenarnya umum terdengar di kalangan pelaku seni tradisi Banyuwangi, terlepas tudingan iri terhadap seni gandrung tari hasil kreasi dan teknokrasi pemerintah kabupaten melalui aparat seninya. Saya ini jadi orang nrimo,” sesal Siti melihat perkembangan seni Gandrung Banyuwangi.

Berangkat dari pengalaman itu, Siti dan Sutomo memutuskan untuk membuat grup dan mempunyai alat-alat musik sendiri. “Biar kami tidak selalu dimanfaatkan ketika diperlukan” aku mereka. Kini di rumahnya yang kecil Siti bersama suami yang tidak pernah lelah untuk membina dan mengahasilkan generasi baru gandrung. Bahkan putri tunggalnya, Lia Novitasari (15) sejak tiga tahun yang lalu telah menjalani profesi gandrung mengikuti jejak Siti. “Kami setidaknya habis lima puluh ribu rupiah setiap latihan, itu untuk mengganti uang bensin dan makanan para panjak,” terang Siti. “Kalau Mbok Temu, Pak Ikhsan dan kami tidak mau lagi melatih gandrung, mungkin gandrung akan punah” imbuh Tomo dan Siti.

***

Kesaksian gandrung Siti terdengar semacam ironi dan lepas dari bayangan kita tentang Banyuwangi yang di kenal sebagai kota gandrung. Namun kegeraman penuh siasat dan resistensi seolah menjadi kata kunci untuk memahami situasi yang sedang terjadi di kota yang terletak di ujung paling timur Jawa. Tanpa memahami suara lain yang jarang sekali terdengar, bahkan diungkapkan, barangkali hanya entitas kosong Banyuwangi yang kita temui. Tidak bisa di pungkiri perkembangan jaman yang begitu pesat dan menguatnya episteme pariwisata telah merubah secara besar-besaran pola pikir laku seni masyarakat Banyuwangi sehari-hari. Berbagai akomodasi nilai-nilai yang sesuai dengan selera pasar dan moralitas agama pun menjadi kewajiban untuk keberlangsungan hidup seni, seperti halnya gandrung.

Apa yang diungkapkan oleh gandrung Siti bisa jadi adalah hal yang lumrah bila kita tilik ke belakang tentang berbagai pola perkembangan seni budaya Banyuwangi. Benih perpecahan antar pelaku seni telah di semai jauh ke belakang, ketika pemerintahan Banyuwangi di pimpin oleh Bupati Joko Supaat Slamet yang mulai merambah aspek seni dan ritual Banyuwangi. Pada pemerintahan bupati yang berlangsung dari tahun 1966 sampai 1978 ini, berbagai proyek teknokrasi budaya Banyuwangi mulai di laksanakan. Dengan jargon pembangunan, penguatan identitas dan belakangan pariwisata pun menjadi kata kunci proyek teknokrasi tersebut. Jelas apa yang di lakukan Joko Supaat Slamet seiring dengan “kebijakan nasional” a la Soeharto pada dasarwarsa itu: pembangunan dan penguatan jatidiri budaya nusantara.

Berbanding lurus dengan konsep Soeharto, untuk menggarap pembangunan Banyuwangi, Bupati Joko Supaat Slamet ini mulai menyentuh aspek budaya Banyuwangi. Berbagai kegairahan seni mulai disokong, terlebih untuk menghapus stigma seni Banyuwangi yang pada dasawarsa sebelumnya dikaitkan dengan PKI. Upaya sokongan itu pun dimulai dari penghargaan Semi, gandrung perempuan pertama, sebagai cikal bakal budaya asli Banyuwangi sampai pendirian Dewan Kesenian Blambangan yang sampai sekarang menjadi “rujukan” seni budaya Banyuwangi. Sejalan dengan perkembangan langkah Joko Supaat Slamet, Dinas Seni dan Kebudayaan pun mulai melancarkan berbagai inovasi dan kreasi terhadap seni tradisi Banyuwangi, seperti yang sampai sekarang ini terkenal semacam “gandrung tari” dan “kundaran.”. Hingga figur seperti Sumitro Hadi, Sahuni, Subari, Zaini dan kawan-kawan pun muncul begitu saja dari lembaga pemerintah ini. Begitu pula dengan Hasan Ali atau juga Hasnan Singodimayan tampil menjadi sosok penting seni budaya Banyuwangi dari kelompok Dewan Kesenian Blambangan (DKB).

Embrio lembaga resmi pemerintah yang di mulai sejak pemerintahan Joko Supaat Slamet inilah kini sering di tuduh menjadi biang kekisruhan dan keresahan pelaku seni semacam gandrung Siti. Berbagai pola intervensi dan otorisasi tunggal seni budaya kerap di arahkan kepada mereka. Tuduhan ini bisa saja terlalu fatalis bila tidak di tengok pula berbagai hal positip eksistensi lembaga seni dan dinas seni budaya yang menjadi “sayap pemerintah” ini. Namun seperti ditemui Desantara banyak sekali pelaku seni tradisi yang merasa tidak sesekali di zalimi oleh institusi ini. Pola biang kekesalan tetaplah sama, ketika hasil teknokrasi seni budaya dijadikan patokan seni budaya yang lebih “beradab” dan luhur ketimbang kreasi yang hidup dan tumbuh di masyarakat. Hingga benih-benih perselisihan antar pelaku seni “lama” dan “baru” tumbuh dengan sendirinya. Fenomena hadirnya gandrung tari yang di kritik keras oleh Siti adalah salah satu konsekuensi logis terjadinya teknokrasi dan otorisasi budaya ini. Meski sepenuhnya otoritas pengetahuan dan klaim orisinalitas itu bukan milik siapa-siapa.

Apa yang dituduh sebagai “teknokrasi” ini sebetulnya adalah masuknya negara melalui aparatnya dan juga elit budaya semacam DKB dalam proyek seni budaya dengan segala otoritas nilai dan kekuasaan yang melekat di dalamnya. Tidak bisa di pungkiri, semenjak dasawarsa 70-an banyak lahir kreasi-kreasi seni budaya baru yang memang tidak ada satu orang pun yang dapat atau boleh melarangnya. Namun ironisnya, keambiguan sikap malah menjadi sifat lembaga terhormat tadi. Seperti dituturkan Slamet Riyadi, pensiunan Angkatan Laut RI yang menikmati hari tuanya dengan menjadi pembina Kuntulan, campur tangan dinas pariwisata dan DKB dalam kesenian lebih banyak merugikan mereka. Setidaknya aparatur institusi yang bekerja pada lembaga itu sering mencurangi kelompok Slamet. Mereka dengan kekuasaannya menyerobot undangan pentas atau kejuaran milik kelompok lain, termasuk kelompok Slamet. Hingga aparat dan lembaga kesenian tadi tampil layaknya raja-raja kecil dalam pangung seni budaya Banyuwangi. Berbagai selisih paham, iri dan kesal yang bermuara pada rasa pemarjinalan pun akhirnya tumbuh pada sosok macam gandrung Siti, Slamet Kuntulan, Endang, gandrung Wiwik, Sri, Rahman dan gandrung Temu. Mereka semua seolah bersepakat kehadiran aparatus elit dalam kehidupan kesenian banyak memberikan efek buruk dalam seni.

Senada dengan pelaku seni tradisi, pelaku ritual mengungkapkan bahwa campur tangan aparat negara ─seperti di ungkap Sahwan dan Ngaisah, pasangan pinisepuh ritual Seblang Olehsari− malah membuat upacara adat desa tersebut sering kisruh antar sesamanya. Bahkan para pelaku ritual dahulu yang dengan suka rela melakukan upacara, bahkan mengeluarkan uang dan tenaga, sekarang terkadang sering merasa enggan untuk melakukan hal yang sama. Hal ini, tutur Sahwan dan Ngaisah, di sebabkan turut serta nya Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya dalam penanganan upacara itu. Otomatis untuk kepentingan “kelayakan wisata” berbagai permakan ritual di lakukan oleh mereka. Parahnya, upacara yang biasanya di lakukan secara komunal tersebut telah di masuki birokratisasi kepanitiaan, yang tidak lepas dengan urusan uang dan “pesanan” kepentingan. Jelas perkara pembagian uang, ketidaktransparanan dana ritual dan juga campur tangan yang dalam pada ritual adat membuat para pelaku semacam Sahwan mutung. Perasaan di manfaatkan dan di perlakukan tidak adil pun hinggap pada diri Sahwan, namun sebagai orang biasa dia hanya bisa diam, bergunjing dan mogok dengan menyingkir.

Pertarungan Elit, Teknokrasi dan dan Pergulatan Identitas

Dalam kenyataan komposisi elit budaya a la pemerintah dan DKB memperlihatkan betapa kokohnya pengaruh mereka di dalam masyarakat. Hal ini di akui sendiri oleh Anwar, seorang panjakPalinggihan Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya. Baginya, menari bersama kelompok orang ini menjamin dirinya bisa menembus pementasan yang lebih intens dan melanglang nusantara. Bahkan dia merasa bersyukur, setidaknya Lia bisa selalu di libatkan pada kegitan yang di adakan Pemkab dan Dinas Pariwisata. Tak heran sosok – sosok yang besar dan hidup dalam lingkup dua lembaga ini, menjelma menjadi sumber pengetahuan yang sahih tentang watak dan sejarah seni tradisi “asli” Banyuwangi ini. gandrung yang hatinya merasa tentram dan mantap setelah banyak bertanya dan berguru tentang sejarah gandrung pada seorang Hasnan Singodimayan. Begitu pula dengan perasaan Lia, seorang penari daerah, masa depan keberhasilan tarinya hanya terjamin ketika dia belajar menari dalam bimbingan Zaini dan terkadang Sabar Harianto dalam

Kedigdayaan berlebih dua lembaga sering menjadikan mereka begitu saja men “fatwa” kan kebijakan seni budaya ini menuai kritik keras. Bahkan telah berdiri pula sejak beberapa tahun yang lalu, Dewan Kesenian Blambangan Reformasi yang di isi oleh generasi muda sebagai tandingan DKB yang mereka anggap tidak netral lagi dan mengabdi pada pemerintah. Bagi mereka DKB hanya menjadi kepanjangan tangan Pemkab yang mengeklusifkan diri dengan identitas dan seni yang tertentu. Hingga tidak begitu terbuka dengan hal-hal lain di luar seni dominan Banyuwangi. Di tambah sikap berlebih sosok – sosok yang ada dalam DKB, menambah kegeraman seniman muda Banyuwangi. Seperti sikap yang di lakukan ketua DKB Hamzawi Adnan terhadap Yons DD, salah seorang musikus lokal Banyuwangi. Hamzawi Adnan mengutuk keras penggunaan mahkota gandrung, omprog, dalam sampul album “Polos”-nyaYons. Mungkin sikap konservasionis Adnan ini di latari oleh pendobrakan nilai yang sedang di lakukan oleh Yons yang melawan nilai dominan penggunaan omprog hanyalah untuk perempuan gandrung. Perdebatan keras pun bergulir di kalangan seniman Banyuwangi. Bahkan tidak segan kelompok DKB Reformasi yang di ketuai oleh Fatah Yasin Noor melakukan pembelaan wacana atas Yons DD. Secara khusus Yasin Noor menulis persoalan tersebut dalam majalah budaya Jejak, terbitan resmi DKB Reformasi

Pertarungan wacana antar elit budaya Banyuwangi tidak hanya berkutat pada persoalan moralitas seni, namun juga merambah ke persoalan identitas, bahasa Using dan sejarah Banyuwangi. DKB sebagai “komponen dalam” pemerintah daerah, versi dominan yang berkembang tentulah dari DKB, dari masa kepemimpinan Hasan Ali hingga Hamzawi Adnan. Setidaknya fasilitas dan pencukupan kebutuhan finansial pertahun rata-rata 150 juta tersebut mampu menyokong sosialisasi wacana yang di kembangkan lembaga ini. Terbukti berbagai terbitan buku DKB atau Pemkab Banyuwangi menjadi rujukan pelaku seni dan masyarakat Banyuwangi sekaligus menjadi representasi Banyuwangi ke dunia luar. Sebaliknya, kelompok di luar ring pemerintah semacam Fatrah Abal dan A.K. Armaya pun tidak mau ketinggalan dalam diskursus Banyuwangi. Berbagai polemik identitas, bahasa Using dan sejarah Banyuwangi juga bergulir dari sayap ini melalui majalah, koran dan diskusi-diskusi.

Perdebatan sengit yang tidak lebih dari kontestasi semangat teknokrasi elit yang bisa di catat disini salah satunya adalah hari jadi Banyuwangi. Hasan Ali sebagai representasi DKB dan pemerintah berargumentasi titik tolak sejarah Banyuwangi adalah meletusnya perang Puputan Bayu. Sebuah perang yang mencatat kemenangan VOC atas prajurit Blambangan ini diangap sebagai peperangan yang sangat heroik patriotik dan membanggakan, hingga perlu di catat dan di jadikan suri tauladan Banyuwangi masa kini. Berdasar unsur kesejarahan, unsur kejuangan dan filosofi itulah Hasan Ali mencoba menawarkan hari jadi Banyuwangi bertolak pada peristiwa Puputan Bayu 18 Desember 1771. Perdebatan dan pencarian hari jadi Banyuwangi yang telah berlangsung sejak tahun 1977 itu pun akhirnya di restui oleh DPRD Banyuwangi secara aklamasi pada tahun 1995, berbagai buku dan tulisan pun bergulir. Namun perdebatan sengit diskursus hari jadi Banyuwangi masih saja terjadi hingga saat ini. Abdul Kadir Armaya berserta kawana-kawannya yang berada dalam wadah DKB Reformasi dan FDSB2 menolak penetapan hari jadi itu. Menurutnya tanggal perpindahan pemerintahan Banyuwangi-nya Mas Alit dari Lo Pangpang ke Banyuwangi secara rasional lebih bisa di terima. Bahkan secara ekstrim, Fatrah Abal berbicara bahwa kerajaan Balambangan itu tidak pernah ada, dan perang puputan bayu tidak terjadi. Lebih jauh Fatrah Abal mensinyalir istilah puputan bayu baru lahir pada masa Orde Baru, yaitu ketika pada masa pemerintahan Joko Supaat Slamet yang sedang sibuk menyusun buku “Selayang Pandang Blambangan.”

Di masa kini, perayaan hari jadi Banyuwangi pada bulan Desember setiap tahunnya itu malah menjadi ajang pamer pengaruh kebijakan penguasa. Pada masa pemerintahan Samsul Hadi, hari jadi Banyuwangi di jadikan ajang penguatan identitas Banyuwangi yang Using dan konservasi seni tradisi Using. Kirab puluhan gandrung dari masa ke masa di rangkul Samsul untuk merebut perhatian masyarakat, hingga ketika kini tidak menjabat, nama Samsul di sebut-sebut sebagai tokoh seni yang menjadi bupati, seperti halnya Joko Supaat Slamet. Yang paling dramatis dan penuh kecaman adalah peristiwa hari jadi Banyuwangi ke-234 yang jatuh pada Desember 2005. Peringatan hari jadi yang pertama kali di adakan oleh pemerintahan Ratna ini dicibir telah merusak tatanan tradisi Banyuwangi ketika apa yang di tonjolkan pada Harjaba tersebut adalah multikulturalisme Banyuwangi yang penuh simbol-simbol Bali. Sebagian orang berpendapat, Ratna yang tidak mempunyai akar massa yang kuat sangat berkepentingan untuk menonjolkan isu multikultur ini. Setidaknya hal ini akan mampu sedikit menghapus jejak pengaruh sosial budaya Samsul Hadi yang begitu kuat dengan wajah Using-nya. Hasnan Singodimayan, selaku koordinator peringatan itu berkilah tidak ada upaya Balinisasi dan Hinduisasi dalam peringatan hari jadi Banyuwangi ini. “Semua hanya bermula dari kesalahan teknis hingga menyebabkan tampak begitu besarnya jumlah kotingen dengan atribut Bali,” kilahnya. Lepas dari pendapat, Hasnan kita bisa melihat betapa media budaya semacam hari jadi Banyuwangi menjadi ajang kontestasi elit yang strategis.

Hingga tidak salah ketika Samsul Hadi yang menjabat sebagai mantan bupati menggalang wacana perlawanan terhadap “kebijakan budaya” Ratna. Kepada Desantara, Samsul mengungkapkan telah terjadi pembusukan terhadap budaya dan identitas Banyuwangi. Samsul dengan keras mengutuk intervensi budaya terhadap tradisi Banyuwangi. Samsul menuduh masuknya unsur budaya Bali pada perayaan tersebut sebagai pemaksaan, sebuah pemaksaan yang menurutnya tidak terjadi dialektika di dalamnya. Namun Samsul bisa memaklumi ketika DKB yang berada dalam naungan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya itu tidak mengambil langkah atas pemaksaan budaya di luar Banyuwangi menjadi bagian dari Banyuwangi. Peristiwa hari jadi Banyuwangi pun semakin memanas ketika terlontar gandrung tidaklah Islami, jelas langkah blunder ini di tempuh Ratna untuk merangkul kekuatan Islam yang sedari awal kepemimpinannya tidak memberikan dukungan kepadanya.

Jejak teknorasi dan persengketaan elit yang lainnya bisa kita jelajahi pada diskursus identitas Using dan bahasa Using. Sebagai perlintasan Jawa ke Bali, Banyuwangi juga merupakan daerah pertemuan berbagai jenis kebudayaan dari berbagai wilayah. Seni budaya Banyuwangi pun diwarnai oleh budaya Jawa, Bali, Madura, Melayu, Eropa dan budaya lokal yang campur aduk akhirnya menjadi tipikal yang bisa di katakan unik tidak di ketemukan di daerah lain. Penduduk asli Banyuwangi sering di identifikasi sebagai sub suku Jawa, begitu pula dengan bahasanya yang di sebut Banyuwangen atau Using. Namun hingga sampai saat ini pergulatan identitas dan bahasa ibu menjadi proyek yang tidak kunjung selesai.

A.K. Armaya dari DKB Reformasi menggulirkan wacana bahwa Using dan Bahasa Using itu tidak ada. Bagi mereka bahasa Using itu tidak lebih dari dialek dalam bahasa Jawa, bukan sebuah bahasa baru. Hal yang sama juga di akui oleh Fatrah Abal, bahkan beliau mengungkapkan bahwa identitas dan bahasa Using itu adalah temuan para pemuda – pemudi Banyuwangi yang menempuh pendidikan di luar kota. Bahasa dan identitas ini tidak lebih adalah sejenis perlawanan terhadap budaya mainstream Jawa dan nusantara yang selalu memberi label Banyuwangi dengan ilmu sihir, santet, kelicikan dan orang – orang kurang beradab. Hingga bisa di mahfumi terjadinya perlawanan yang keras pada generasi muda Banyuwangi atas pe “Liyan”an terhadap mereka.

Lebih jauh Abal mengungkapkan bahwa generasi muda yang dia sebut itu tidak lain adalah Fatrah sendiri, Hasnan Singodimayan, Hasan Ali dan juga elit budaya Banyuwangi yang hidup saat ini. Fatrah Abal mengaku pada dasarwarsa 80-90-an, dia bersama Hasan Ali dan kawan-kawan DKB menggodok lahirnya bahasa Using dan identitas Using. Bahkan mereka juga sempat menulis buku kecil untuk kamus, namun ternyata Hasan Ali yang berhasil menerbitkan kamus bahasa Using itu. Seperti tercatat pada dokumen “Ejaan Bahasa Using” keluaran DKB, pada 18 Desember 1990, DKB bersama Yayasan Kebudayaan Banyuwangi mengamanatkan pembuatan pedoman bahasa Using untuk penulisan dan percakapan sehari – hari. Namun seperti di ungkap oleh Fatrah Abal, hal ini sebetulnya kurang pas bahkan dalam sebuah seminar, saksinya, Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo mencoba mengetengahi perdebatan ada tidaknya bahasa Using dengan tantangan untuk membuat kamus sendiri supaya bisa di anggap bahasa.

A.K. Armaya pun dengan sengit berbicara, sebetulnya mereka yang getol berbicara identitas dan bahasa Using bukanlah orang Using juga. Bahasa Using yang di sodorkan pada kongres bahasa Jawa di Solo dan Jogjakarta itu tidak lebih akal-akalan elit budaya saja. Dia menelisik, bahwa yang di ajukan dalam kongres itu memang sengaja bahasa murni dialek Using, namun bila di rujukan 100 kata bahasa Jawa dengan 100 bahasa Using tentang benda yang sama ternyata bahasa Using itu tidak lain adalah bahasa Jawa. Pasalnya sedikit sekali yang tidak mengunakan kosakata bahasa Jawa. Jadi menurut A.K. Armaya semua ini tidak lebih dari akal-akalan saja.

Berbeda dengan Armaya, Hasnan Singodimayan, sesepuh DKB, yang lebih dekat dengan pemerintahan yang berkuasa di Banyuwangi, berpendapat bahwa Using adalah sesuatu yang berbeda dengan Jawa, begitu juga dengan bahasanya. Hingga pada kongres kebudayaan Jawa, Hasnan dan Hasan Ali mengotot dan mengupayakan pengakuan bahwa Using adalah bahasa sendiri bukan varian dialek Jawa. Hingga momentum kepemimpinan Samsul Hadi, yang diangapnya bukan hanya bupati tapi juga seniman itu, digunakan untuk meng-gol-kan apa yang selama ini di cita-citakan bersama oleh Hasnan, Hasan Ali dan kawan-kawan DKB untuk pembangunan identitas Banyuwangi. Gayung ternyata bersambut, Samsul Hadi pada masa pemerintahan akhirnya mengeluarkan berbagai kebijakan untuk pembangunan identitas itu.

Bagi Samsul, seperti di ungkapkan kepada Srinthil, penguatan budaya itu sangat perlu untuk pembangunan Banyuwangi. Menurut Samsul tidak ada bangsa yang besar, seperti Jepang, tanpa menggunakan kebanggaan budaya. Tidak heran pada masa Samsul Hadi tercetus SK Bupati tentang mars Banyuwangi “Umbul-umbul Belambangan” yang di ciptakan oleh Andang C.Y dan di aransemen oleh Man Basir. “Umbul-umbul Belambangan” ini bagi Samsul adalah sebuah lagu kebesaran yang memberikan semangat pembangunan yang luar biasa bagi Banyuwangi, selain itu lagu ini seolah bersyukur atas keelokan Banyuwangi yang semua telah di sediakan begitu saja oleh Tuhan.

Tidak hanya itu, Samsul kemudian mengeluarkan Sura Keputusan (SK) maskot Banyuwangi adalah Gandrung dan SK untuk Jejer Gandrung sebagai tari penyambutan tamu resmi di Banyuwangi. Ada juga SK muatan lokal bahasa Using yang sampai saat ini menuai kritik. Meski sebetulnya apa yang di kerjakan oleh Samsul Hadi telah ada embrionya sejak pemerintahan Purnomo Sidik. Dan yang paling fenomenal dalam pemerintahan Samsul adalah pendirian sekolah gandrung profesional. Sekolah gandrung ini yang hanya berlangsung dua kali dan hanya menampung 30 siswa per angkatan ini di sesalkan tidak di teruskan oleh pemerintahan Ratna Ani Lestari. Harapan “konservasi” gandrung masih banyak di tumpukan elit budaya pada sekolah ini.

Komodifikasi Perempuan Seni Tradisi

Secara umum kondisi seni tradisi Banyuwangi yang komponen utamanya adalah perempuan menunjukan gejala negoisasi yang luar biasa. Derasnya arus modernisasi lewat jalur televisi dan radio di perkuat kebijakan aparat terkait yang mengakomadasi kepentingan pasar demi kemajuan pariwisata dan juga akomodasi pada gejolak purifikasi moralitas agama maka lahirlah negosiasi itu. Negosiasi yang memunculkan berbagai varian seni yang memadukan tradisionalitas, modernitas bahkan agama pun memunculkan apa yang di sebut gandrung tari / kreasi, gandrung remix, janger campurasi, kundaran dan semacamnya. Namun perubahan semacam ini sebetulnya adalah hal yang wajar terjadi sepanjang masa, seperti juga tampilnya gandrung Semi, gandrung perempuan pertama yang mengantikan tradisi gandrung laki-laki. Namun demikian, sebagian elit budaya mengkhawatirkan seni kreasi ini akan menggeser kesenian lama yang sudah berkembang ratusan tahun sebelumnya.

Di kalangan seni tradisi lama, seperti halnya gandrung memang tersemai bibit ketidaksenangan atas berbagai variasi gandrung yang sedang berlangsung. Seperti halnya gandrung tari yang di ajarkan dalam sanggar-sanggar tari binaan pemerintah daerah atau sanggar sekolah begitu sengit di tanggapi oleh gandrung profesional. Bagi mereka kehadiran gandrung tari yang merupakan hasil kreasi elit lokal tersebut merupakan ancaman atas punahnya seni gandrung asli. Bahkan secara berlebih mereka mengungkapkan gandrung tari yang selalu di perlakukan istimewa oleh pemerintah ini hanyalah sosok-sosok yang mengandalkan kemudaan usia, keindahan tubuh, kecantikan wajah namun secara kemampuan kosong. “Mereka hanya bisa menari, tidak bisa menyanyi, menari pun hanya jejer,” ungkap gandrung wiwik agak kesal melihat kreasi baru tari gandrung tidak mu dan bisa menguasai gandrung secara keseluruhan. “Mungkin gandrung pada jaman yang akan datang hanyalah gandrung jejer,” ungkap Nardi pemain janger yang nyambi jadi tukang becak menanggapi keenganan generasi muda yang mau belajar gandrung profesional.

Kreasi baru pada seni budaya Banyuwangi ini tentu saja tidak semata-mata lahir oleh inisiatif sang pelaku, namun merupakan kesepakatan tidak tertulis hukum pasar dengan aparatus negara dan mungkin juga agama. Seperti halnya negosiasi yang sedang di lakukan para gandrung profesional yang mulai melirik syair campursari dan musik remix dalam pentasnya. Begitu pula yang yang di lakukan oleh aparat seni Dinas Pariwisata yang sedari tahun 70-an selalu merancang variasi tari, dengan berbagai standar moralitas dan estetika protokoler yang mengikuti. Seperti terlihat pada gandrung tari yang di gunakan untuk menyambut tamu dan pentas pada festival tari, babak paju atau tarian berpasangan hanyalah sebatas tari pergaulan biasa, begitu pula dengan pakaiannya yang lebih tertutup. Hal ini bisa di pahami sebagai akomodasi atas standar moralitas agama dan estetika protokoler yang di anut aparat seni Dinas Pariwisata. Dan pastinya juga segi kelayakan jual untuk di tampilkan sebagai tari wisata.

Di sisi lain logika pasar tampakanya telah singgah dalam ranah seni tradisi dalam bentuk industri musik lokal. Sebagai salah satu daerah yang kuat imaji identitas dan kedaerahannya industri rekaman musik lokal memang berkembang pesat di Banyuwangi. Bahkan sejak tahun 70-an usaha lagu lokal ini telah di rintis oleh Fatrah Abal dan nampak perkembangan pesatnya adalah saat ini. Hingga tidaklah sulit bagi kita menemukan beberapa kreasi baru seni ciptaan elit aparat pemerintah itu di terima oleh pasar. Komposisi yang memasukan elekton dalam janger, perempuan dalam kuntulan, gandrung dalam disco remix adalah salah satu contoh yang bisa kita lihat di lapak-lapak musik di Banyuwangi saat ini. Pasar mungkin yang jenuh dengan menu lama semacam“gandrung.” Seperti di akui oleh Sandi, pangsa pasar Banyuwangi atas sangat menerima berbagai kreasi baru seni, begitu pula dengan pelaku seninya “Kami biasanya membayar sampai satu juta, bahkan banyak juga yang tidak meminta bayaran asal bisa rekaman saja,” imbuh Sandi pemilik Sandy Records, usaha rekaman lokal yang banyak memproduksi versi gandrung remix dan disco.

Angka penjualan pun tercatat begitu fantastis dan di akui secara nasional sebagai basis indrustri rekaman lokal yang maju. Untuk album remix dan disco yang mengunakan goyangan dan nyanyian gandrung Temu saja sejumlah 60 ribu kopi terjual ludes di lapangan. “Saya menerima saja berapa bayarannya, dan tidak tahu tenang perihal hak ciptanya, saya tidak mendapatkan tambahannya” ungkap gandrung Temu yang sering pentas bareng dengan Mia peserta Kontes Dangdut Indonesia yang berasal dari Banyuwangi. Nada pasrah Temu yang sekaligus mengadung siasat bertahan hidup di tengah semakin menurunnya pentas itu pun di anggap sebuah kejelian. “Gandrung yang tahu peluang itu gandrung pintar,” tegas gandrung Wiwik tentang rekan-rekannya yang banyak nyambi di seni lain. Senada dengan pola pikir Wiwik dan Temu, gandrung Siti juga menerima pesanan lagu apa saja ketika pentas gandrung di luar Banyuwangi. “Kebanyakan mereka senang dengan gandrung kita, kok bisa menyanyikan lagu apa saja,” jelas Sutomo, suami gandrung Siti yang sekaligus ketua grup seni gandrung Sekar Arum.

Dari keresahan yang terungkap diatas, seolah tergambar betapa kekuatan pasar dengan nama kepentingan wisata itu menjadi determinir atas kebijakan yang di ambil negara. Meski tidak terlupakan juga otoritas agama yang secara tidak langsung berpengaruh dalam pengambilan kebijakan tersebut, terbukti berbagai isu Islamisasi terhadap seni tradisi, semacam gandrung dan kebo-keboan, mulai di akomodir oleh negara dan elit budaya lokal. Namun beberapa kontroversi dan penentangan keras atas masuknya agama pada ranah seni ini juga lahir dari individu-individu pelaku seni budaya. Naifnya, secara tersembunyi DKB menganjukan fatwa atas seni gandrung dan seni tradisi lain di Banyuwangi untuk di bahas oleh MUI Banyuwangi. Tentu pertanyaan besar timbul di kalangan seniman tradisi, ada apa ini? K.H. Maksum Syafi’i, wakil ketua MUI Banyuwangi, atas nama lembaganya, merasa tidak perlu gegabah menanggapi permintaan fatwa DKB itu. MUI merasa perlu takut, jika di kemudian hari menjadi sasaran kambing hitam atas lahirnya fatwa tersebut. Maksum sendiri merasa perlu membedakan apa itu seni dan apa itu agama, agama tidak bisa campur tangan terhadap apa yang sudah menjadi tradisi. “Mungkin hanya mengingatkan saja yang kami bisa,” tandas Maksum. Desantara / S.B. Setiawan



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian