Panggil Kami Towani
admin | 9 - May - 2008Jika boleh menjerit, mungkin jeritan itu akan sangat menyayat. “Jangan panggil kami Tolotan. Panggil kami Towani!”. Tetapi apa daya, suara itu telah habis. Bahkan untuk sekadar bergumam. Maka jadilah komunitas yang kini berpenghuni sekitar 7000 kepala ini menjadi “Komunitas Tolotan.” Baik dalam buku-buku sejarah, buku administrasi pemerintah, bahkan ingatan anak-anak muda setempat, yang dijumpai hanyalah ‘Tolotan’. Dan itu artinya stereotyp, simbol kekalahan identitas bagi satu komunitas yang terletak di Kelurahan Amparita, Kecamatan Tellu Lompoe, Kebupaten Sidrap, Propinsi Sulawesi Selatan ini.
Nama memang bukan segala-galanya. Tetapi jelas, di dalamnya mengandung identitas dan seringkali juga harga diri. Contohnya dalam kasus ‘Tolotan’ dan ‘Towani’ ini. Towani mengandung arti yang membanggakan bagi komunitas yang bersangkutan, yaitu orang yang berani, bersikap tegas dan berpegang pada prinsip. Sebutan Towani akan memberikan satu identitas yang tinggi terhadap komunitas ini. Dan memang dalam sejarahnya, orang-orang Towani mewarisi sikap-sikap seperti ini. Tetapi Raja Pangkajene selalu menyebut warga Towani dengan Tolotan (To selatan), yang maksudnya orang yang berdiam di selatan. Dalam budaya Sulawesi Selatan, cara memanggil yang seperti itu berarti memposisikan rendah bagi yang dipanggil. Tidak hanya itu, tokoh-tokoh tua Tolotan selalu dipanggil Uwa.Uwa dalam budaya Bugis merupakan panggilan bagi orang-orang tua berkasta rendah. Padahal sebutan
Perendahan dan mungkin juga pelecahan budaya yang dirasakan komunitas Towani tidak hanya berhenti sampai di situ. Dalam soal keyakinan-agama, mereka juga mengalami perlakuan yang sangat menyakitkan. Orang-orang di luar komunitas ini, banyak yang menuduh Towani berlaku syirik, bahkan juga ateis, tak bertuhan. Dengan tuduhan-tuduhan itu, mereka tidak saja rentan terhadap ketidak-adilkan dan kekerasan sosial budaya, tetapi juga politik. Contohnya adalah apa yang terjadi pada tahun 1965. Ketika pemberontakan G30S meletus, tentara melakukan sweeping, penumpasan, terhadap orang-orang yang praktek ritual keagamaannya berbeda dengan agama-agama resmi. Di Sidrap sweeping tersebut dikenal dengan nama ‘mappakainge’ yang dilakukan oleh Kodam. Sejumlah tokoh Towani ditangkap, dibawa ke markas militer, dan dipaksa mengaku sebagai PKI. (Lihat: “Wawancara dengan La Unge Setti: Biarkan Kami Menganut Keyakinan Ini…”).
Tidak sekali dua kali, komunitas Towani menempuh jalur konstitusi, melakukan pendekatan birokrasi agar penguasa mengakui eksistensi mereka. Bahkan seperti dituturkan salah seorang tokoh komunitas Towani, La Unge Setti, salah seorang saudaranya terpaksa tinggal di Jakarta selama tiga tahun untuk mengurus masalah ini ke pemerintahan pusat dan juga ke DPR. Bahkan akibat dari mengurus masalah ini, yang bersangkutan dipecat dari status kepegawaiannya. Tetapi hasilnya sangat menyakitkan. Yaitu keluarnya lembaran Undang-undang Nomor 6/1966, yang isinya menyatakan bahwa ajaran-ajaran Towani-Tolotan memiliki kemiripan dengan Hinduisme. Dan sebagai tindak lanjutnya, KTP (Kartu Tanda Penduduk) warga komunitas Towani-Tolotang di bagian kolom agama, ditulis Agama Hindu. Dengan kata lain—bak perusahaan komersiil yang bangkrut—mereka dipaksa untuk merger (bergabung) dengan agama lain; Hindu.
Apa salah Towani sehingga mereka diperlakukan seperti itu, di tanah airnya sendiri? Tindakan kriminil macam apa yang telah mereka lakukan? Mungkin pertanyaan-pertanyaan inilah yang terus menghantui komunitas Towani, dari dulu hingga sekarang. Dan mungkin tak akan pernah menemukan jawabannya, karena di dalam ajaran Towani tak ada tuntunan untuk melakukan tindakan-tindakan keji. Apa yang diajarkan oleh Towani tidak ada perbedaan mendasar dengan ajaran agama-agama lain; kejujuran, keadilan, kebijaksanaan, berlaku baik terhadap sesama, tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lain dan sebagainya.
Memang saat ini komunitas Towani tidak memiliki kitab suci, sebagaimana umat Islam memiliki Al-Qur’an atau kaum Nasrani yang memiliki Injil. Kitab suci mereka, sebagaimana dikatakan La Unge Setti, telah terbakar. Sehingga tradisi yang mereka praktekkan dalam mengajarkan agama kepada anak-anak dan cucu-cucu mereka adalah melalui tradisi lisan. Tradisi itu mereka wariskan secara turun temurun, baik melalui pergaulan sehari-hari maupun melalui upacara-upacara ritual yang mereka gelar secara berkala.
Salah satu contoh ajaran yang diturunkan lewat lisan dan populer di tengah warga komunitas Towani, adalah tentang perlunya bersikap sabar dan toleran terhadap orang lain. Bunyi ajaran itu kurang lebih demikian: Jikalau ada orang lain berbuat kesalahan/keburukan kepada kita, maka kita masih banyak pengharapan di kemudian hari. Begitu pun sebaliknya, jikalau kita berbuat kesalahan/keburukan kepada orang lain, maka orang lain tersebut masih banyak pengharapannya di hari kemudian. Ajaran perlunya saling menenggang atas kesalahan orang lain seperti ini, tentulah ajaran yang mulia (mana ada manusia yang tak pernah berbuat salah?). Hal yang sama kita dapati di dalam agama-agama resmi; Islam, Kristen-Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha. Jika demikian, mengapa harus dilarang?
Warga Towani-Tolotan adalah warga Indonesia juga, warga negara yang ingin hidup wajar, damai dan tenteram. Mereka tidak menuntut satu perlakuan yang istimewa, baik dari masyarakat sekitarnya, apalagi dari penguasa politik. Mereka hanya menginginkan kedudukan yang wajar, sejajar, dan mendapat pengakuan eksistensial atas keyakinan mereka. Mereka tidak ingin menjadi komunitas yang eksklusif, tertutup dari pergaulan luas. Untuk itu mereka selalu terlibat dengan berbagai perkembangan dan aktivitas yang ada di sekitarnya. Mereka mengirim anak-anak dan cucu mereka ke sekolah, bahkan hingga perguruan tinggi. Dengan harapan mereka bisa setapak lebih maju dan bergaul bersama komunitas lain di bumi nusantara.
Tetapi tampaknya keinginan ini pun kini terlalu berlebihan. Karena tembok stereotyp yang telah dibangun berbagai kekuatan di luar dirinya—bahwa Towani identik dengan komunitas masyarakat yang sesat, musyrik, salah, kafir, ateis—sangatlah tebal. Bahkan untuk sekadar berdialog pun, rasanya mereka tidak berani. Sebagai satu komunitas, mereka benar-benar terpuruk. Sambil menerima kenyataan diri sebagai ‘orang Hindu’ dari ‘komunitas Tolotan’, dari balik tembok tebal itu mereka berteriak lirih; “Panggil kami Towani”. Desantara / LAPAR
Tweet
« Maggirik, Bukan Sekadar Seni Pertunjukan
Tulisan sesudahnya:
Kanto: Lelaki Dari Bawakaraeng »
Pencarian
Kategori Berita ID
- Komunitas Lokal, Krisis Ekologis dan Budaya : Sebuah Diskusi Awal
- Bermufakat Melawan Perusak Lingkungan
- LP USU – Desantara Foundation gelar diskusi buku
- Dakwah Membawa Amarah
- Pelatihan Fotografi dalam Perspektif Multikultural
- Kami Ingin Hidup Berdampingan: Kabar dari Ahmadiyah Makassar
- Kronologis Penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik, Banten
- LOWONGAN PEKERJAAN: Staf Keuangan
- Susahnya Menjaga Kewarasan di Negeri ini
- Anarkisme Pembangunan di Atas Situs Benteng Somba Opu Makassar
- Sedulur Sikep, Sedulur (Saudara) yang sering disalahtafsirkan
- Seni dan Gerakan Sosial
- Problematika dan Siasat Ekonomi Perempuan Porong
- Penulis buku Bencana Industri merasakan adanya intimidasi
- Diskusi Tentang Film Perempuan Multikultural
Random Post
- Pali-pali(0)
- Radikalisasi Pemuda, PRD Melawan Tirani(0)
- Isi SKB 3 Menteri Tentang Ahmadiyah(0)
- Potret Islam Kajang(0)
- Warisan dan Jalan Bahagia Tuan Baak(0)
- Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota(0)
- Politik perbedaan sebagai modus multikulturalisme(0)
- Tak Hanya Wanita Komunis(1)
- Sahuni(0)
- Belanda merampas Tanah Makam, Lapindo merampas Tanah dan Tempat Tinggal?(0)
- Polemik Pembangunan Pemakaman Kristen Di Kedung Menjangan Cirebon(0)
- Beragama dalam Kekuasaan: Sebuah Kelahiran Diskriminasi(0)
- Pilkada Jabar, Jangan Lupakan Setumpuk Problem Kerakyatan(0)
- Diaspora(0)
- Pecahnya Sebuah Periuk Pelebur(0)