Seniman Cikeusal, Tegar di Tengah Kemoderenan

Saeful Badar | 12 - May - 2008

Sekelompok lelaki tua yang terbilang uzur tampak dengan semangat menyanyi dan menari di atas panggung. Gerakan mereka tak canggung, bahkan terlihat sangat ekspresif. Empat orang di antaranya memikul padi yang digeugeus-geugeus (disusun dan diikat) dengan pikulan berupa gelondongan bambu. Keempat orang tersebut terus menggggoyang-goyangkan pikulan padinya ke kiri dan ke kanan. Gerakan ini memunculkan suara-suara yang cukup artistik.

Suara-suara ini menjadi suatu harmoni tersendiri ketika dipadukan dengan suara tepukan terebang (gebes) yang dilakukan oleh lima lelaki tua lainnya. Dan pada saat yang bersamaan tiga orang lelaki tua lainnya dengan asyik melantunkan sejumlah tembang, baik berupa sholawatan maupun Beluk. Irama yang dilantunkan pun terus bergerak secara bertahap mulai dari irama datar, kemudian melengking naik dan semakin lama semakin melengking tinggi sekali. Tak ayal pertunjukan ini membuat para hadirin bertepuk tangan dengan penuh gairah. Secara spontan hadirin memberikan applaus panjang atas penampilan para lelaki tua itu.

Begitulah kurang lebih gambaran dari pentas seniman tradisional yang tergabung dalam Candralijaya, dari Kampung Cirangkong, Desa Cikeusal, Kecamatan Tanjungjaya, Tasikmalaya.. Pentas yang berlangsung pada 29 Maret 2003 di Gedung Dakwah Tasikmalaya tersebut merupakan bagian dari acara “Muktamar Penyair Jawa Barat” yang diselenggarakan oleh Sanggar Sastra Tasik (SST).

Pentas para seniman tua pada malam itu, sebenarnya memiliki pesan yang lain di samping untuk memberikan hiburan. Pesan itu adalah bahwa, hingga sekarang eksistensi kesenian Cikeusal masih berdiri tegak meski selama ini tidak pernah mendapat perhatian yang semestinya dari pemerintah setempat. Bahkan meski telah terjadi pergantian pejabat beberapa kali di lingkungan pemerintahan, perhatian yang baik tidak pernah mampir ke komunitas ini.

Sejarah

Menurut sejarahnya, kesenian yang ditampilkan seniman Cikeusal ini merupakan jenis kesenian yang bebasis tradisi bertani. Seni Beluk misalnya, yang mengandalkan pada kekuatan vokal tanpa waditra (instrumen), banyak terdapat di beberapa daerah pertanian di Jawa Barat. Hingga kini, kesenian tersebut masih sering dipakai dalam kegiatan membajak sawah.

Seperti dituturkan oleh Toha Bin Encu (65 tahun) salah seorang tokoh seniman Beluk dari kampung Cilulumpang, desa Cikeusal, kesenian Beluk itu merupakan warisan dari leluhurnya. Dulu kesenian ini biasa dipertunjukkan para petani saat membajak sawah. “Kalau diiringi dengan Beluk, kerbau yang sedang membajak, jadi lebih bersemangat, demikian juga para petaninya,” tutur Toha.

Kesenian tampaknya memang merupakan bagian dari denyut nadi kehidupan masyarakat Cikeusal. Panggung bagi mereka, adalah sebidang tanah pesawahan dengan akustiknya alam semesta. Sedang penontonnya adalah tanah, pepohonan, rerumputan, dan juga binatang. Lewat kesenian yang menyatu dalam keseharian seperti itu, mereka berdialog dengan alam dengan pepohonan, dan dengan kehidupan itu sendiri. Ada kegairahan di situ. Begitulah ritus keseharian mereka. Seni adalah ritualitas keseharian milik mereka.

Toha yang sehari-harinya bertani dan berdagang hasil bumi di pasar, mengaku sejak kecil sudah mengenal Beluk sebagai kesenian tradisional di kampungnya. Semula dia tidak cukup tertarik dengan kesenian ini. Tetapi belakangan saat usianya memasuki kepala empat, dia mulai tertarik. Semakin diperhatikan kesenian tersebut semakin menarik baginya. Kini ia merasa cukup bangga karena seni Beluk yang digelutinya, selain memberikan kegembiraan saat membajak sawah, juga telah membawa dirinya mentas di berbagai kota.

Selain Beluk, di Desa Cikeusal juga ada seni Rengkong yang hingga kini masih dipakai dalam acara mengangkut padi sewaktu panen. Menurut Ipin Saripin, salah seorang seniman Rengkong, dalam pentas Rengkong, padi-padi itu diikat bergeugeus-geugeus, kemudian dipikul oleh para pemain rengkong dari sawah menuju rumah pemilik sawah. Namun sayang saat ini tidak banyak petani yang memanfaatkan seni rengkong untuk mengangkut padinya. Hal ini antara lain karena sistem bertani sudah berubah. Jenis padi yang ditanam bukan padi yang biasa digeugeus.

Di luar Beluk dan Rengkong, di Cikeusal ada juga seni Terebang Gebes. Ini merupakan seni tetabuhan Terebang yang lebih banyak mengandalkan pada kekuatan fisik. Pada awal pertumbuhannya Terebang Gebes dipertunjukkan malam hari, mulai pukul 02.00 sampai pukul 04.00 dinihari dengan menggunakan lantai tanah sebagai panggungnya. Pertunjukan ini biasa digelar dalam acara khitanan, perkawinan, pindah rumah, dan lain-lain. Namun kadang juga digelar di panggung-panggung seremonial pemerintahan, festival, pekan seni, dan lain-lain.

Menurut Ipin, seni Terebang Gebes ini dulunya juga sering dijadikan ajang adu kekuatan fisik. Beberapa kelompok penabuh Terebang tampil bersama-sama dalam sebuah perhelatan khusus. Mereka mengerahkan jampi-jampi khusus dan bermain sampai tangannya berdarah-darah. Yang menang dalam pertarungan tersebut adalah mereka yang bertahan main paling lama. Sedang yang kalah, di tengah pertunjukan, tiba-tiba Terebang yang mereka tabuh tidak menngeluarkan bunyi samasekali. “Ini pengaruh dari kekuatan magis yang muncul lewat mantera-mantera yang dimiliki oleh kelompok lawan,” kata Ipin sambil menambahkan bahwa tradisi bertarung dalam Terebang Gebes tersebut, sudah lama tidak dilakukan lagi.

Para seniman Terebang Gebes ini bertekad untuk melestarikan kesenian ini. Kini dalam pementasan, mereka biasanya memasukkan beberapa unsur ke-Islaman, seperti sholawat, pepujian kepada Nabi Muhammad, dan pepatah-pepatah ke-Islaman. Dalam keadaan diringi oleh nyanyian-nyanyian seperti itu, seni Terebang mereka dinamakan Terebang Sejak.

Tekad kuat untuk melestarikan kesenian itu antara lain ditunjukkan oleh Asep (60). Penabuh Terebang Gebes ini mengaku, sejak kecil ia telah tertarik dengan seni terebang ini. Meski dimarahi oleh orang tuanya, Asep tidak mau menghentikan kegiatannya belajar Terebang. Kini ia merupakan salah seorang pemain Terebang senior. “Saya berniat mewariskan kemahiran di bidang seni ini kepada cucu-cucu saya,” katanya Asep.

Sedang Oman Abdul Rohman (70) penduduk kampung Sukahurip, Desa Cikeusal, adalah salah seorang pemain Terebang Sejak. Dia biasa melantunkan berbagai sholawat dan pepujian untuk memperkuat kelompoknya. Dia mengaku belajar Terebang Sejak dari pendahulunya.

Menyinggung soal regenerasi, para seniman di Kampung Cikeusal tampaknya tidak merasa risau dengan hal itu. Sebab bagi mereka tak sulit mendapatkan generasi muda di Cikeusal yang mau diajak berlatih bermain Terebang atau Beluk. Seperti Oman, misalnya, selain mempunyai kelompok yang selalu siap tampil, juga memiliki beberapa murid usia 30 hingga 40-an. Demikian pula halnya dengan Toha, ia memiliki murid tak kurang dari 15 orang untuk berlatih Beluk.

Kampung Cikeusal memang kampung yang sederhana. Sebuah kampung di wilayah agraris, yang juga menjadi gambaran sebuah wilayah yang tak lepas dari berbagai serbuan kekuatan asing, baik kekuatan politik, budaya industri maupun gelombang budaya asing. Namun di tengah serbuan budaya dan politik itu, warga desa Cikeusal tampak tangguh mempertahankan tradisi warisan nenek moyang mereka. Sebuah dedikasi yang pantas untuk ditiru dan dihargai. Desantara / Saeful Badar



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian