La Condeng: Potret Kemandirian Seniman Kecapi
admin | 12 - May - 2008Namanya Syarifuddin. Lebih dikenal banyak orang dengan sebutan La Condeng. Tak begitu sulit menemukan rumah seniman kecapi yang satu ini. Hampir semua tukang ojek yang menjual jasa transportasi penghubung jalan besar menuju kampung Tollupoccoe, tempat tinggal La Condeng di Sidrap, mengenalinya dengan baik. Profesinya sebagai seniman yang lihai memainkan kecapi secara apik dan menawan. Membuat namanya berkibar dan akrab di telinga para penikmat kecapi, terutama di beberapa wilayah seperti Sidrap, Pinrang dan juga Enrekang.
Bagaimana tidak. Lihat saja berbagai aktifitas manggungnya, meskipun tak sesering dulu. Selain memenuhi berbagai undangan keluarga, petikan kecapinya belakangan ini mampu membius para pendengarnya di radio swasta Bambapuang Pinrang. Ia juga kerap diundang di acara-acara resmi pemerintah, dalam upacara festival dan kampanye tertentu. Bahkan belakangan ini ia sukses melakukan rekaman kecapi tunggal miliknya.
La Condeng memang bukan hanya lihai memainkan kecapi. Sehingga dia termasuk beberapa kecil saja seniman di Sidrap yang masih bertahan hidup sampai sekarang. Ia juga kreatif. Cerdik. Pintar menarik perhatian penonton.
Seperti ungkapan banyak orang jaman sekarang, La Condeng memang tidak ada matinya. Kala seniman lainnya gulung tikar duluan atau larut dalam kepentingan eksternal, ia masih bertengger di tengah perubahan jaman dan derasnya perubahan politik serta industri kesenian modern yang makin dominan.
Pada tahun 70-an misalnya. Ketika ‘simioni kecapi’, sebutan untuk simfoni kecapi yang mengkolaborasikan kecapi dengan suling, yang diusung Ibu Nani Sapada dan A.S. Said atas sponsor pemerintah daerah berikut sanggar-sanggar kesenian yang didirikan, mulai menggeser kemapanan tradisi kesenian rakyat ini. Bahkan ketika grup musik elekton juga mulai mendominasi dan menggantikan kecapi. La Condeng tidak mau kehilangan penggemar. Ia pun tak kehilangan akal. Tak beberapa lama pun, ia mengkreasi tampilan kecapi tunggalnya. Alat musik biola disisipkan dalam pertunjukan. “Saya juga menyelipinya dengan dialog-dialog segar dan lucu dengan penonton,” ujarnya membuka rahasia permainan kecapinya yang selalu diminati banyak penonton.
Begitu pula kala sanggar-sanggar kesenian buatan dinas pariwisata pemerintah menawarkan kreasi baru kecapi. La Condeng juga tak mau kalah. Selain menggubah lagu-lagu daerah yang khas, dia juga mengadaptasi nada lagu modern, seperti lagu populer dangdut milik Rhoma Irama, Begadang, ke dalam melodi khas kecapi. “Saya pelajari melodi musik-musik dangdut yang disukai masyarakat, lalu saya coba mainkan di kecapi dan berhasil, “ kata La Condeng mengenang.
Itu terjadi beberapa tahun lalu, sampai akhir 80-an. Hingga akhirnya kekuatan industri musik modern tanpa bisa dibendung semakin dalam mempengaruhi selera masyarakat. Sampai ujungnya pilihan terakhir pun ia jalani “Saya akhirnya banting setir, jadi penjual obat keliling,“ ujar Lacondeng berkisah tatkala permainan kecapinya mulai tidak lagi seramai dulu.
Tapi seniman ini rupanya tidak buru-buru memuseumkan kecapi yang sudah diakrabinya sejak remaja itu. Kecapinya menemani usahanya memasarkan obat. Petikannya bukan hanya menarik para penggemar kecapi, tapi juga memancing perhatian orang-orang untuk memborong obat yang dijajakannya.
Belakangan ini La Condeng sedang menikmati buah ketekunannya. Selain kerap manggung di radio swasta, permainan kecapi tunggalnya mulai dilirik kembali. Pemerintah dan para agamawan mengajak masyarakat berpaling kembali ke kesenian-kesenian tradisionalnya. Terutama ketika tarian Candoleng-doleng, sebuah tarian erotis yang kini sedang marak di Sulsel, yang muncul baru-baru ini dianggap meresahkan.
Mungkin benar kata orang kecapi tunggal sedang menangguk untung. Tapi kerja keras La Condeng jelas bukan kebetulan, bukan? Apalagi sekadar keberuntungan! Desantara
Tweet
« Pesantren Kecapi dan Kecapi Pesantren
Tulisan sesudahnya:
Marginalisasi: Dari Politik Verbal ke Politik Simbolik »
Pencarian
Kategori Esai ID
- Matinya Erau dari Tradisi ke Politisasi Etnik
- Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013
- Islam Kutai dan Persinggungan Politik
- “Menciptakan Seni Alternatif bagi Masyarakat”
- Paraben andi’ ana’, Belenjer andi’ Lake (Perawan Punya Anak, Janda Punya Suami): Kritik Sosial Perempuan Seni Madura terhadap Santri Coret
- Tanah dan Pergeseran Kosmologi Dayak Kenyah
- Prahara Budaya: Refleksi Peradaban Manusia Dayak
- Memahami Klaim Kebenaran Agama: Suatu Refleksi Filosofis
- Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, Kutai Kartanegara
- Komunitas Nyerakat : Geliat di Tengah Gempuran Arus Modernitas
- Bisnis Perizinan Kuasa Pertambangan dan Geliat Pilkada Kota Samarinda
- Perempuan Kampung Pamanah di Industri Tenun Sarung Samarinda
- Pesantren Tegalrejo: Lautan di Lereng Merbabu
- Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai
- Wajah Lain Dari Tegalrejo
Random Post
- Srinthil 04 : Ketika Aurat Dikuasai Surat(0)
- Perlindungan Anak di Bawah Bayang-Bayang Historiografi “Agama Resmi”(0)
- Gendang Beleq bagian 3(0)
- Pertemuan Tahunan dan Maulid Nabi di Komunitas Khalwatiyah(0)
- Santet: Potret Perih Pewaris Tanah Blambangan(0)
- Bissu bagian 3(0)
- Srinthil 12 : Penari Gandrung dan Gerak Sosial Banyuwangi(0)
- Maggirik, Bukan Sekadar Seni Pertunjukan(0)
- Melepaskan Aliran Dari Jerat Sesat(0)
- Upacara Pernikahan Adat di Wetu Telu(0)
- Aksi Gebrak Lapindo Dibuka dengan Pembacaan Naskah “PROKLAMATI”(0)
- Rosnawati: Biarkan Kesenian Tradisi Milik Rakyat(1)
- Fanonisme(0)
- Beragama dalam Kekuasaan: Sebuah Kelahiran Diskriminasi(0)
- Celana Pendek Dilarang Masuk(0)