Ketika Jaranan Thik Melawan Reyog

Ahmad Zainul Hamdi | 12 - May - 2008

Panggung, bagi jaranan thik, rupanya bukan semata arena pertunjukan. Area itu benar-benar menjadi tempat dimana keaslian identitas dikisahkan dan eksistensi mereka ditegaskan. Siang itu, suara gamelan yang rancak, dinamis dan nyaring itu mulai menghentak. Serentak enam orang para penari berwajah sangar, berkumis dan berjenggot lebat dengan pakaian serba hitam memasuki arena panggung. Gerakannya kasar, tangan mengepal dan kaki mengentak-ngentak sambil sesekali posisi saling berhadapan.

Syahdan Demang Ngebel, Warok Suro Joyo beserta punggawanya sedang menggelar pesta besar. Mereka menikmati makanan hasil dari berburu para prajurit dan punggawanya di hutan. Selesai pesta, beberapa babak kemudian, di atas panggung muncul sosok bertopeng kepala naga (barong). Berbalut kain hitam, sosok ini menari-nari penuh liukan tak terduga. Dikisahkan sang naga yang merupakan penjelmaan sukma babi, mengamuk dan memporak-porandakan seluruh kademangan Ngebel. Banjir bandang pun menenggelamkan seluruh penduduk negeri. Tak ada yang bertahan kecuali Rondo Dadapan, yang dalam cerita itu tidak larut dalam pesta besar.

Selesailah legenda Naga Baru Klinting. Tapi pertunjukan belum usai. Seseorang yang sejak awal berdiri di samping gapura naga yang juga pintu gerbang panggung tiba-tiba mengejang. Tubuhnya terlihat kaku dan terjatuh di lantai. Namun sejurus kemudian ia pun menari-nari atraktif. Matanya melotot dan meloncat-loncat menakutkan. Orang-orang sering menyebutnya sebagai ndadi atau kesurupan yang menjadi ciri khas kesenian jaranan.

Ya, siang itu jaranan thik Turonggo Sakti atau yang sering disebut oleh komunitasnya sendiri sebagai “reyog thik”, sedang pentas. Penonton dibuat terhibur. Kadang mereka terpingkal-pingkal lantaran ceritanya berbumbui dialog dan tarian lucu. Kadang pula dibuat tercengang oleh atraksi-atraksi nekat. Mereka menikmati bukan saja ritual ndadi yang khas dalam setiap jaranan, tapi juga tari-tarian baru yang mengisahkan legenda Telaga Ngebel yang membedakannya dengan jaranan-jaranan di daerah lain, seperti sentherewe, jaranan, jaran kipang dan lainnya. Kehadiran gamelan yang mirip reyog dan juga kehadiran tokoh yang menyerupai warok dengan pakaian serba hitam menambah penampilan jaranan thik ini lebih unik. Menghadirkannya sebagai yang juga “khas Ponorogo”.

Di Dusun Ngradi yang menjadi bagian dari wilayah desa Singgahan itu, jaranan thik yang dikemas dalam cerita Naga Baru Klinthing yang mengisahkan asal usul Telaga Ngeber bisa dibilang sebuah perkembangan baru. Lantaran pada awalnya jaranan thik adalah tarian pagon (kuda lumping biasa) tanpa ndadi, dan ritual kesurupan itu baru masuk setelah ada pengaruh dari jaranan lain.

Entah bagaimana kisah itu hadir. Yang jelas, cerita itu diyakini terkait dengan masa lalu munculnya jaranan thik. Sebagaimana dituturkan Sugito, salah seorang seniman jaranan thik. Penyebaran jaranan di berbagai daerah lantaran peran Raden Mas Broto yang membawa kesenian ini ke bagian timur gunung Wilis seperti Tulungagung, Trenggalek dan Kediri. Mas Broto adalah pemuda Trenggalek yang diperebutkan oleh dua orang warok Ponorogo bernama Suro Menggolo dan Suro Gentho untuk dijadikan menantu. Sebuah cerita yang juga dijadikan pijakan komunitas jaranan thik kalau lebih tua ketimbang reyog. Karena reyog merujukkan dirinya pada sejarah pertarungan Batoro Katong dan Ki Ageng Tutu yang datang lebih belakangan.

Dominasi reyog

Bagi orang yang tidak mengenal pergulatan jaranan thik atau mereka yang terlanjur percaya reyog sebagai satu-satunya kesenian asli Ponorogo, pengakuan mengenai jaranan thik yang asli Ponorogo ini terdengar mengada-ada. Bahkan ditolak. Sebagaimana kesaksian Agus yang anggota tim kreatif Turonggo Sakti, perihal tokoh-tokoh reyog di Ngradi yang terang-terangan menolak jaranan thik. Tidak jarang kehadiran jaranan thik dianggap ingin menggusur ikon budaya Ponorogo itu. Seperti terlontar dari mulut konco-konco reyog, “sudah punya reyog kok ngurusi kesenian lain, tidak asli Ponorogo lagi.”

Nasib serupa rupanya dialami pemain jaranan thik yang lain. Ahmad Isnen, misalnya. Sejak menggeluti jaranan thik, pria yang kini ketua paguyuban jaranan thik Turonggo Sakti ini pernah menerima cemoohan. “Dudu kesenian asli kok diuripi, ngurusi senterewe (thik) keluargane opo arep dipakani rawe?” (bukan kesenian asli kok dihidupi. Dengan menghidupi senterewe, apa keluarganya mau diberi makan rawe?). Demikian kata mereka memperolok.

Olok-olokan semacam itu boleh dibilang sebagian saja respon warga dan beberapa komunitas reyog di daerah yang masuk desa Singgahan itu. Yang dalam benak mereka, jaranan thik bukanlah kesenian asli Ponorogo. Hanya reyoglah yang asli, dan karenanya yang lain pantas mati.

Bisa jadi keputusan pemda menetapkan reyog sebagai ikon budaya daerah Ponorogo ikut andil mendorong situasi ini. Di desa-desa hingga ke dusun-dusun, reyog menikmati privelese dari para aparat pemerintah. Menerima dana pengembangan, undangan pertunjukan, dan seterusnya yang nota bene tak pernah dinikmati seniman lain non-reyog macam jaranan thik. Tak jarang pula aparat desa ikut memusuhi atau menunjukkan sikap tak mengenakkan kepada komunitas jaranan thik lantaran dianggap akan menggeser kedudukan reyog yang sudah mapan di Singgahan. Yang semuanya ini menunjukkan betapa kesenian di Ponorogo sedang menuju ke arah proses penunggalan yang serius dan sistematis.

Namun demikian bukan berarti komunitas seniman jaranan thik berdiam diri tanpa upaya agar bisa diterima oleh warga reyog. Mengingat berkonflik dengan reyog bukan saja bisa memicu perpecahan antar warga, tetapi juga tidak menguntungkan bagi keberlangsungan jaranan thik. Komunitas jaranan thik meminta Pak Saiman dalam posisinya sebagai tokoh reyog Singgahan, menjadi ketua Turonggo Sakti. “Supaya bisa menjembatani komunikasi antara seniman jaranan thik dengan reyog,” tutur Mahfud yang juga penggagas jaranan thik Turonggo Sakti.

Dalam hal ini pulalah seniman thik nampaknya amat menyadari pentingnya kreatifitas performance di atas panggung. Seperti terekam di bagian awal catatan ini, pementasan jaranan thik dengan paduan legenda Naga Baru Klinthing yang merujuk pada sejarah Telaga Ngebel semakin menegaskan bahwa jaranan thik sebenarnya tidaklah asing bagi orang Ponorogo. Apalagi unsur warok yang menjadi bagian dari inti pertunjukan, secara langsung mendekatkan jaranan thik dengan ikon keponorogoan yang telah terlanjur diidentifikasikan dengan kereyogan. Di atas panggung jaranan thik tidak lagi menampilkan imajinasi tentang dunia luar yang jauh di sana. Melainkan sesuatu yang intim, akrab, dan yang sudah lama dikenal.

Jaranan thik, seperti halnya dilakukan reyog, kini tengah membangun cerita tentang keaslian identitas dan situs sejarahnya di Ponorogo. Keduanya tidak harus dan memang tidak perlu dipertentangkan, lantaran jaranan thik memiliki situs sejarahnya sendiri, begitu pula reyog. Lagi pula rekaman kisah jaranan thik ini nampaknya toh lebih merupakan semacam esensialisme strategis keluar dari marginalisasi, bukan? Desantara / Ahmad Zainul Hamdi



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian