Ritus Bebalai dalam Tarikan Arus Modernisasi

Asman Aziz | 22 - May - 2008

Pada 2006 silam, tepatnya Minggu, 19 November, tepat pukul 20.20 wita. Dari arah ruang kamarnya, Kumala (51), pemimpin ritual bebalai dengan dibalut pakaian serba kuning melangkah pelan menuju depan balai (pusat ritual yang berada tepat di tengah rumah yang terbuat dari bambu kuning, lengkap dengan aneka macam sesajen berhias janur kuning). Ia lalu duduk dan memulai ritus bebalai dengan melafadzkan mantra-mantranya. Sementara kedua tangannya bermain-main di atas api kemenyan, yang asapnya mengepul ke seluruh sudut ruang rumahnya.

Ritual yang berlangsung tiga hari, 19-21 November ini, dimaksudkan untuk mengundang dan menghadirkan para arwah leluhur. Para penunggu dan penguasa laut, karang, sungai, kampung, dan hutan yang mereka sebut sebagai sahabat untuk hadir di tempat ritual. Selain itu juga mengundang semua kerabat dan komunitasnya untuk hadir bersama mengobati diri, agar tetap sehat tubuh, jiwa, dan rohnya. Tak lama kemudian, ia melangkah menuju balai sambil menari. Dengan diiringi alunan musik khas bebalai yang terdiri dari sebuah gong besar, tujuh buah gong kecil (kelintangan), dan dua buah gendang. Semakin keras suara musiknya, tarian Kumala juga bertambah kuat.

Langkah dan hentakan kaki Kumala diikuti kerabatnya dan tamu yang hadir, hingga membentuk lingkaran yang tidak terputus. Puluhan laki dan perempuan menari mengelilingi balai sambil larut dalam suara musik bebalai. Mereka yang ikut dalam pusaran mengelilingi balai beberapa kali, dianggap sudah bisa dipolesi pinang mayang (pucuk daun kelapa) untuk diobati. Kumala yang dalam keadaan trance lalu duduk di atas balai dan mengobati satu-persatu orang-orang yang dihadapkan padanya.

Setelah mengobati dan diobati, Kumala dan yang lainnya yang masih dalam keadaan trance, dipandu mendekati dan bersimpuh pada tali gantungan gong yang lalu dipukul sekeras-kerasnya untuk mengembalikan kesadaran mereka. Dalam keyakinan Kumala dan komunitas bebalai ini, dalam suara gong tersebut terdapat bisikan atau ilham dari luar diri mereka. Termasuk bisikan apakah tarian bebalai masih harus dilanjutkan atau sudah saatnya dihentikan.

Bebalai adalah ritual yang memiliki daya rekat utama bagi komunitas ini. Setiap tahun mereka melaksanakannya di penghujung tahun. Sehari sebelum bebalai dimulai, penduduk dari kampung Nyerakat, yang berjumlah sekitar 350-an orang tumpah-ruah di rumah Kumala, tempat ritual berlangsung. Bahkan masyarakat Bontang Kuala, Tanjung Limau, Melahing, dan Pulau Selangan, yang masih dalam satu komunitas dan kekerabatan suku Bontang Kuala, turut hadir dalam hajatan besar ini.

Masyarakat di sekitar daerah Nyerakat pun tak ketinggalan. Mereka berdatangan membawa bahan makanan untuk dimasak bersama di tempat ritual. Ada yang membawa beras, ubi, ikan, dan juga sayur-sayuran. Bahkan kelompok-kelompok masyarakat yang jauh sekalipun yang ada dalam wilayah kota Bontang, terutama yang berprofesi sebagai nelayan ketika mengetahui bahwa upacara adat bebalai akan dilaksanakan juga turut mendukung dan membantu pelaksanaan ritual ini. ”Bagi kami para pelaut, upacara ini sangat penting dalam menjaga kelestarian laut,” papar Masdar, suami Kumala.

Sekilas Kampung Nyerakat

Upacara bebalai adalah satu ritus pengobatan massal yang masih terus dipertahankan oleh komunitas Nyerakat. Komunitas Nyerakat ini mengklaim diri sebagai suku ”asli” Bontang. Nyerakat adalah salah satu kampung di ujung selatan kota Bontang. Kampung ini masuk dalam wilayah administrasi kelurahan Bontang Lestari, kecamatan Bontang Selatan.

Kampung ini bisa ditempuh melalui tiga jalur. Jalur pertama, lewat km. 10 poros Bontang-Samarinda. Jalur ini melewati jalan perusahaan tambang batu bara PT. Indominco Mandiri yang melewati kampung Nyerakat. Jalur kedua, lewat jalan Flores. Bisa ditempuh sekitar satu jam dari kota Bontang dengan menggunakan sepeda motor atau mobil. Dan jalur ketiga, lewat laut dengan menggunakan kapal di pelabuhan Tanjung Laut Indah, Bontang. Tetapi, saat ini jalur yang ketiga sudah sangat jarang dimamfaatkan.

Sebelumnya, komunitas ini mendiami daerah Bontang Kuala (kampung di atas laut yang ditopang oleh ribuan tiang penyangga dari kayu ulin) di utara kota Bontang. Secara administratif, Bontang Kuala adalah kampung pertama di kota Bontang (M. Nasir Makkaraka, 2006). Sejak tahun 1969 sebagian penduduk Bontang Kuala memilih Nyerakat sebagai kediaman baru mereka. Kampung ini dipilih karena dianggap cocok untuk berkebun dan berladang. Mereka mulai memilih berkebun setelah saat itu bahan pangan sulit didapat. ”Mengandalkan penghasilan melaut saja tidak cukup,” ujar Masdar, suami Kumala menegaskan alasannya.

Kampung ini dinamai Nyerakat, dengan harapan penduduknya rekat dan rukun. Sebagian besar penduduk dusun kecil ini berprofesi sebagai pekerja serabutan. Apalagi sejak 2005 banyak proyek pembangunan infrastruktur yang terbuka di daerah ini. Ini terkait dengan kebijakan pembangunan pemerintah kota Bontang yang diarahkan ke selatan yang meliputi daerah mereka. Sebagian yang lain tetap menekuni profesi bertani sekaligus nelayan. Dan sebagian kecilnya bekerja sebagai buruh di perusahaan batu bara PT. Indominco yang bersebelahan dengan kampung mereka. Dari 350-an orang penduduk Nyerakat, hanya 1 orang yang beragama Nasrani, yang lainnya muslim.

Dalam penuturan Masdar, yang juga salah seorang tetua kampung Nyerakat, leluhur mereka adalah percampuran tiga suku yang merupakan founding father kota Bontang; Kutai, Bugis, dan Bajau. Ritual bebalai ini menjadi bukti percampuran tiga suku ini. Properti upacara dan benda-benda pusaka yang dipakai dalam ritual ini melambangkan ketiga suku tersebut. Salah satu benda pusaka yang berupa sepasang senjata tajam (mereka menyebutnya badik, yang diadopsi dari bahasa Bugis/Makassar), yang diyakini suami-istri. ”Suaminya Bugis bernama Sulthan Bambang Yatul Ghaib, dan istrinya Kutai bernama Puteri Junjung Buya”, demikian Kumala menjelaskan. Dengan keyakinan seperti ini, tidak heran kalau kemudian komunitas ini sangat terbuka dan toleran terhadap segala hal yang berlabel ”beda”. Prinsip-prinsip kebersamaan dalam perbedaan menghunjam dalam di lubuk keyakinan mereka.

Media Siasat dan Resistensi

Disela-sela ritual ini banyak cerita yang bermunculan seputar keseharian mereka. Mulai dari stigma dan streotype bernada sumbang yang senantiasa dialamatkan kepada mereka. Hingga cerita-cerita lucu berbau ”porno” yang kesemuanya diorganisir sebagai media siasat dan resistensi atas segala yang hadir kepada mereka. Semua itu dilakukan dengan gaya humor yang tinggi.

Misalnya saja suatu saat, Srinthil menyaksikan seorang ibu-ibu bercanda dengan seorang anak muda dengan gaya pertunjukan sandiwara. ”Kamu kenapa tidak sembahyang?”, tanya anak muda itu. ”Eh, kamu itu tidak tahu saya. Kamu tidak selalu melihat dan memperhatikan saya. Aku ini duduk-duduk begini dapat melakukan sembahyang, tidak kayak kamu kerjanya selalu menyalahkan orang”, jawab si ibu disertai gaya khasnya yang membuat Srinthil tersenyum geli.

Bagi sebagian komunitas di luar mereka, seringkali ada pandangan miring yang menyebut bahwa apa yang mereka lakukan dituduh dan dihakimi bid’ah, khurafat, atau bahkan musyrik yang melanggar dan bertentangan dengan ajaran syari’at Islam. “Kadang ada yang bilang, acara apa itu memanggil-manggil setan. Padahal mereka tidak tahu kalau tidak dilakukan banyak orang yang sakit,” kata Masniah, salah seorang warga Nyerakat.

MUI Bontang misalnya, pernah merilis sebuah pernyataan resmi di media pada tahun 2003 bahwa upacara adat yang dilakukan oleh komunitas Nyerakat itu musyrik dan telah menyalahi ketentuan agama Islam. Hal ini diamini oleh H. Umar, ketua MUI Bontang ketika dikonfirmasi. Menurutnya ”kalau ritual itu diyakini membawa kebaikan atau untuk menolak bala atau bencana, maka itu telah menyeret pelakunya kepada pengaburan dan pendangkalan aqidah, bahkan bisa terjerumus kepada kemusyrikan”. Demikian H. Umar menegaskan.

Juga, suatu saat Kumala mengobati seorang pasiennya di daerah Melahing. Tiba-tiba ada seorang ustadz yang ia sebut seperti orang Arab. Memakai jubah dan sering tinggal dari satu mesjid ke mesjid yang lain memperingatkannya bahwa apa yang ia lakukan telah menyalahi syari’at Islam. ”Bahkan ia berusaha menghalang-halangi saya untuk mengobati pasien,” tutur Kumala.

Tapi bukannya surut, Kumala malah berpandangan teguh. ”Jangankan manusia biasa, Nabi saja memiliki ritual adat, apalagi kita sebagai manusia yang bergaul dengan alam. Biar aja orang-orang menganggap bid’ah, khurafat, atau musyrik, toh Tuhan itu yang Maha Tahu segalanya,” tegasnya lagi. Dan Kumala melanjutkan, “lihat saja ritual ini dimulai dengan do’a yang dibacakan oleh pak Imam, dan juga diakhiri dengan do’a sebagai permohonan keselamatan. Bahkan, pada malam terakhir setelah semua prosesi ritual telah dilaksanakan, kami selalu baca barzanji sebagai tanda syukur, lalu bagaimana mereka menyebut ini menyalahi aturan agama,” papar Kumala dengan nada sedikit emosi.

Bahkan H. M. Nasir Makkaraka, salah seorang tokoh komunitas Bontang Kuala, yang juga menjadi bagian dari tradisi bebalai ini malah mencurigai orang-orang yang mengatakan bahwa praktek kebudayaan ini sebagai musyrik itu malah yang tidak memahami agama dengan baik. ”Saya sebagai pelaku budaya di Bontang Kuala tidak pernah melarang orang lain untuk shalat, sebaliknya malah menganjurkannya,” tegas Nasir. Bahkan menurutnya yang ironis, ada orang yang rutin shalatnya tetapi tidak baik hubungan sosialnya dengan sesamanya, korupsi di kantornya, dan segala bentuk perbuatan tak terpuji lainnya. Jadi ibadah itu hanya sebagai kedok yang tidak berpengaruh sama sekali pada perilaku hidupnya. ”Mestinya ini yang mendapatkan perhatian oleh MUI, bukan mengurusi kebudayaan kami,” ujar Nasir.

”Termasuk kalau kita mau jujur. Sebenarnya kemusyrikan itu berbarengan hadirnya dengan modernitas. Dengan masuknya proses modernisasi, nelayan mulai pintar mem-bom ikan, karang, yang sejatinya itu merusak lingkungan. Sebenarnya itulah yang menyalahi ajaran agama. Jadi menurut saya, kemusyrikan itu tidak semata persoalan teologis, tetapi juga sosial”, tegas Nasir lagi.

Nasir juga menegaskan bahwa fungsi kebudayaan itu pada dasarnya meneguhkan agama. Bagi orang Nyerakat dan Bontang Kuala, bebalai diyakini sebagai ritus untuk mendekatkan atau bahkan menyatukan manusia dan alam sekitarnya. Dan ini sangat sesuai dengan prinsip-prinsip utama agama Islam yang sangat menekankan pentingnya penghargaan terhadap alam. Dengan bebalai diharapkan laut akan bermurah hati memberikan ikannya bagi para pelaut, bumi menjadi subur sehingga padi dan tanaman lainnya bisa menghasilkan dengan baik.

Dan komunitas ini meyakini bahwa jika bebalai tidak dilakukan, akan mendapat petaka bagi orang yang tinggal di kampung. Bahkan Masdar mengatakan bahwa apabila lalai, apalagi tidak melaksanakannya pasti ada saja anak-cucunya yang terkena ”kelainan” yang tidak bisa disembuhkan oleh siapa pun. ”Di bawah keluar masuk rumah sakit, tidak apa-apa kata dokter. Tetapi kalau sudah dilaksanakan bebalai, hanya sekedar dipercikkan air putih pasti sembuh,” ujar Masdar lagi. Hal inilah yang sering dijadikan pembenar bagi orang luar, bahwa setan dan roh-roh jahat sering mengganggu kampung mereka agar terus-menerus meyakini ritual ini.

Tapi bagi Masdar dan Kumala, boleh saja kalau ada orang yang berpendapat seperti itu. Yang penting tidak mengganggu apalagi menghalangi upacara dan ritual ini. ”Karena ini sesuai dengan yang kami alami, bukan kami meminta atau mengharapkannya,” papar Kumala.

Dan kenyataannya, tidak sedikit orang yang pernah dibantu oleh Kumala lewat ritus bebalai ini. ”Ada dokter spesialis di kota Bontang bernama dr. Ida yang juga pernah berobat pada kami. Juga pak Anas Taneng, mantan sekretaris lurah Bontang Lestari. Beliau adalah orang Muhammadiyah, tetapi sering berobat pada kami,” ujar Kumala meyakinkan.

Dan atas perjuangan pak Anas inilah, sehingga saat ini komunitas bebalai ini bisa membeli peralatan ritual berupa gong dan kelintangan, menggantikan perlengkapan upacara lama yang sudah rusak. Dan juga sedang diusahakan agar ritual bebalai ini bisa dilaksanakan lebih meriah lagi sebagai kalender budaya tahunan di kelurahan Bontang Lestari.

”Dan sekiranya sahabat yang datang pada kami itu jahat, mestinya kami tidak bisa menyembuhkan orang lain. Tapi kenyataannya sampai hari ini saya tetap didatangi orang untuk berobat”, demikian Kumala.

Di sisi lain Kumala bercerita bahwa selama ini hubungan mereka dengan komunitas atau masyarakat di luar mereka berjalan cukup baik. Karena menurutnya, tidak ada alasan bagi orang lain untuk memusuhinya. ”Semestinya mereka malah berterima kasih, karena siapa pun yang datang kepada saya untuk berobat, rumah saya terbuka dua puluh empat jam untuk mereka. Termasuk seorang Cina, mama Lingling yang beragama Kristen juga sering berobat sama saya,” cerita Kumala.

Boleh jadi, stigmatisasi dan pandangan miring terhadap komunitas bebalai ini terletak pada interpretasi mereka terhadap apa yang disebut agama. Agama bagi mereka adalah praktik bagaimana manusia berbuat baik. Bukan bagaimana manusia mempraktekkan simbol-simbol peribadatan secara kaku. Sembahyang bukan untuk dipamerkan. “Sembahyang itu kan untuk kegiatan saja, pembuktiannya yah dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Kumala.

Tak mengenal lebih jauh tentang ritual komunitas bebalai ini jelas menjadi faktor utama tudingan yang bernada minor itu. Seperti yang dikisahkan Kumala. Ia mengaku menggunakan patung manusia yang menjadi syarat untuk pengobatan. “Penyakit jin kafir diganti (disimbolkan) dengan patung, baru bisa diobati dengan memindahkan penyakit tersebut ke patung itu,” kata Kumala menyindir penceramah yang di radio kebetulan sedang membahas patung. Bagi Kumala, sulit menjelaskan kepada ustadz-uztadz itu karena kebanyakan dari mereka tidak mempercayai pengobatan ala bebalai ini.

Tetapi dalam pandangan mak Bian, salah seorang pelaku utama ritual bebalai, para ulama atau ustadz yang sering menyindir ritual mereka sebagai penyakit TBC (takhayul, bid’ah, dan khurafat) itu adalah ustadz yang tidak memahami agama secara baik. “Ulama yang benar-benar ulama tidak pernah mempersoalkan masalah adat ini, malahan menganjurkan untuk mempertahankannya. Yah, kecualilah ulama-ulamaan dan ustadz-ustadzan yang sering menganggap sebagai praktik memanggil setan,” kata mak Bian sambil tertawa.

Bebalai dan Medis Modern

“Secara pribadi saya tidak sepakat dengan model pengobatan seperti dukun. Tapi saya juga tidak bisa melarang orang-orang untuk berobat ke dukun. Warga kampung tahu persis bahwa saya ini hanya jam kerja saja ada di puskesmas. Sementara dukun bisa dua puluh empat jam”. (dr. Endang, dokter pukesmas pembantu Nyerakat).

Sejak 1993, puskesmas pembantu mulai hadir di tengah masyarakat Nyerakat. Namun baru tujuh tahun terakhir beroperasi secara aktif, seiring dengan perbaikan akses jalan masuk ke Nyerakat. Dan sudah sejak lama pula warga Nyerakat, bahkan masyarakat yang ada di sekitar Nyerakat memakai jasa pengobatan ala bebalai Kumala dan suaminya. Kumala dikenal sebagai dukun serba bisa, bahkan orang beranak pun bisa ditanganinya.

Kehadiran puskesmas pembantu di Nyerakat tidak membuat peran Kumala ditinggal orang. ”Dalam sehari, saya rata-rata mengobati 4-5 orang, bahkan ada yang datang tengah malam,” papar Kumala.

Harus diakui, peran Kumala bukan hanya sebagai dukun yang datang untuk mengobati. Ia bahkan telah menjadi simbol pengharapan atas penyembuhan segala penyakit. Bukan hanya penyakit jasmani, tetapi juga penyakit non fisik. Ia laksana seorang psikolog yang dapat menenangkan jiwa. ”Di saat saya sakit, ketika mama (Kumala) sudah datang, perasaan saya menjadi tenang,” kata Ancu, seorang generasi muda Nyerakat, yang juga tetangga Kumala.

Bagi Kumala sendiri, medis modern mampu menyembuhkan banyak penyakit. Tetapi ada juga yang tidak bisa dideteksi. ”Beberapa hari yang lalu, ada tetangga saya yang separuh badannya sudah mati, tidak bisa digerakkan sama sekali. Dia sudah hampir satu bulan dirawat di rumah sakit, tetapi tidak ada perubahan. Kemudian keluarganya meminta saya untuk mengobatinya, dan setelah dibuatkan sesajen dan diupacarakan, dia berangsur-angsur membaik,” papar Kumala.

Sebaliknya, menurut Kumala, ada yang tidak bisa ia sembuhkan, tapi bisa diatasi oleh Dokter. ”Saya sendiri kalau tekanan darah saya naik, saya juga ke puskesmas”, demikian Kumala sambil tertawa.

Bagi masyarakat Nyerakat, kehadiran puskesmas pembantu tidak menjadi soal. Malahan bagus. Tetapi mereka tidak sepakat jika kemudian laku ritual pengobatan bebalai yang sudah ada sejak dulu, dianggap tidak memiliki peran apa-apa. Apalagi jika sampai ada program yang ingin menghapus praktik pengobatan tersebut. “Bagi kami, dua-duanya tidak bisa dihilangkan, kalau tidak bisa di dokter ya di dukun,” kata mak Bian. Tetapi menurutnya, dukun lebih banyak berperan daripada dokter. ”Dukun bisa dipanggil ke mana-mana, sementara dokter hanya di puskesmas nunggu pasien,” ujar mak Bian lagi.

Konsepsi tentang apa yang disebut sehat bagi komunitas Nyerakat juga menarik untuk dicermati. Menurutnya, mereka punya cara sehat sendiri. Misalnya saja, bagaimana menghargai orang-orang halus itu. ”Jika menebang pohon diharuskan melakukan ritual hambur beras kuning, supaya penghuni pohon tidak marah dan mengganggu manusia. Hidup sehat yang baik, pertama-tama harus memelihara adat,” ujar mak Bian.

Beda dengan medis modern yang selalu mengaitkan penyakit dengan hal-hal fisik dan rasional. Bagi warga Nyerakat, penyakit bisa saja akibat tubuh manusia yang tidak seimbang. Juga pengaruh dari luar seperti orang-orang halus. Bisa juga dari leluhur yang menegur dan menagih mereka karena mulai tidak melaksanakan ritual. “Jika ritual adat tidak dilakukan, ada saja di antara keluarga kami yang sakit,” tutur mak Bian melanjutkan ceritanya.

Bagi komunitas bebalai ini, kampung mereka juga dihuni oleh makhluk-makhluk yang tidak kasat mata. Tugas orang-orang kampung bagaimana bersahabat dan memperlakukan mereka dengan baik melalui ritual. Dan bebalai masih diyakini sebagai media bertegur-sapa dengan para makhluk tersebut. Tentu ironis, bila bebalai dan komunitas tempat mereka menghayati peran sosial dan kulturalnya harus ditolak, dilupakan dan diabaikan. Desantara / Asman Aziz



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian