Yayasan Pasundan
admin | 12 - May - 2008Sungguh memprihatinkan, sekarang ini banyak keluarga orang Sunda yang tidak lagi merasa bangga, bahkan malu menggunakan bahasa Sunda dalam lingkungan keluarga sehari-hari. Banyak orang tua, yang merasa bangga bila mengajak bicara anak-anaknya yang masih balita dalam bahasa Indonesia. Pantaslah jika anak-anak atau generasi muda sekarang jarang yang mengenal bahasa Sunda sebagai bahasa Ibu mereka.
Situasi ini dirasakan betul oleh Drs. Asep Suyatna, Kepala SMP Pasundan Tasikmalaya. Asep yang Sarjana Lulusan Pendidikan Bahasa Sunda FPBS IKIP Bandung (sekarang UPI) itu mengambil contoh di lingkungan keluarganya sendiri. Adik-adiknya selalu melatih anak-anak mereka berbicara bahasa Indonesia. Dan bila berhasil membuat anaknya bisa berbicara bahasa Indonesia, mereka seakan memiliki prestise tersendiri.
Sebagai sarjana bahasa Sunda yang kini memiliki posisi penting di sebuah lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Dasar dan Menengah Pasundan, ia selalu menekankan kepada sanak saudaranya agar tetap menjaga eksistensi Bahasa Sunda. Juga di tempatnya bekerja, Asep menggariskan kebijakan tegas terhadap guru-guru dan murid-muridnya untuk berkomunikasi dengan berbahasa Sunda. “Paling tidak satu hari dalam seminggu, baik guru dan murid diwajibkan untuk berbahasa Sunda di sekolah,” katanya.
Sayangnya, menurut Asep, kendati sekolah yang dipimpinnya dinaungi oleh Yayasan Pasundan serta memiliki visi Kasundaan dan Keislaman, kurikulum yang digunakan tetap menggunakan Kurikulum Pendidikan Nasional yang tidak jauh berbeda dengan yang digunakan oleh sekolah-sekolah lain pada umumnya. Dalam kurikulm tersebut, mata pelajaran Bahasa Sunda hanya mendapat porsi dua jam pelajaran saja setiap minggu, untuk setiap jenjang kelas.
Apa yang dikembangkan di Yayasan Pasundan ini cukup membuahkan hasil. Para alumni sekolah Pasundan memang merasa mendapat tempaan tersendiri dalam hal kesundaan. Wit Jabo, misalnya, seorang pekerja seni di Tasikmalaya, merasa sekolah di Pasundan cukup mendapatkan pengajaran yang baik tentang bahasa dan budaya Sunda. Hal yang sama juga dirasakan Hesti dan Yuli, yang kini kuliah di sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Bandung. “Sekolah di Pasundan, membuat saya tidak lupa akan bahasa dan budaya Sunda,” ujar mereka.
Lain pula pengalaman Diah, alumnus sekolah Pasundan di Tasikmalaya. Meski berasal dari suku Jawa dan masih kesulitan untuk bisa menggunakan bahasa Sunda, Diah melihat sisi yang menyenangkan dari perilaku orang Sunda. Tutur katanya sangat halus, demikian juga dengan cara mereka bersikap di hadapan orang lain. Menurutnya, orang Sunda itu umumnya sangat ramah dan rendah hati.
Menurut Diah yang kini kuliah di Bandung, bahasa dan budaya Sunda merupakan sebuah entitas budaya yang paling halus yang pernah dia lihat. “Ini telah saya lihat ketika mengikuti pertukaran pelajar antar propinsi sewaktu saya masih SMA. Di antara pergaulan dengan etnis-etnis lain, orang Sunda saya lihat paling halus dan paling luwes. Terus-terang, saya bangga pernah menjadi duta orang Sunda dalam program pertukaran pelajar tersebut,” katanya. Desantara / Badar/Bode/Azan
Tweet
« Seniman Cikeusal, Tegar di Tengah Kemoderenan
Tulisan sesudahnya:
Nasib Seniman Kecapi dan Perubahan Sosial »
Pencarian
Kategori Istilah
Random Post
- Chicklit: Dari Perempuan untuk Perempuan(0)
- Kerudung Santet Gandung(0)
- Dari Tanah Gayo, Membaca Narasi Lain Aceh(0)
- Pancasila Ternodai di Hari Kelahirannya(0)
- Deport 3 ed. Indonesia(0)
- Omah Kendeng: Rumah Belajar Kita(0)
- RUU Kependudukan dan Pembangunan Keluarga(0)
- Aspek Struktural dan Aspek Prosesual Ideologi(0)
- Penyerangan Naqsabandiyah Oleh Sekelompok Orang Bercadar(6)
- Buki Sahidin Korban Diskriminasi Agama, Negara, dan Publik(0)
- Kami Takut Jika Satu Saat Nanti Kami Diserang Lagi(0)
- Bencana Industri; Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil(1)
- Selamat datang di Banyuwangi(0)
- RUU Terapan Hukum Perkawinan Islam Abaikan Kesetaraan dan Pluralisme(0)
- Mimikri(0)