Tradisi Nyangku Di Panjalu: Mengenang Perjuangan Sang Prabu

Badar/Bode/Eri/Komunitas Azan | 23 - May - 2008

Senin pagi di awal Mei lalu, ribuan masyarakat Panjalu tampak sudah berkumpul di sekitar Alun-alun Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Ketika hari mulai beranjak siang, jumlah pengunjung pun semakin membludak. Mereka sudah menunggu-nunggu detik-detik berlangsungnya upacara Nyangku, yaitu pencucian barang-barang pusaka warisan leluhur Kerajaan Panjalu. Saat itulah biasanya mereka bisa menyaksikan secara langsung barang-barang pusaka milik Prabu Borosngora yang selama ini tersimpan dalam keadaan terbungkus di Bumi Alit.

Pada saat upacara Nyangku, kain pembungkus barang-barang tersebut memang dibuka dan dicuci sambil dipertontonkan kepada masyarakat. Masyarakat tampaknya tidak hanya ingin tahu, tetapi mereka juga menghormati dan mempercayai bahwa benda-benda tersebut memiliki tuah dan keramat. Karena itu banyak anggota masyarakat yang berebut untuk mendapatkan air bekas pencucian benda-benda pusaka tersebut karena ingin mendapatkan berkah. Air pencuci benda-benda pusaka itu kabarnya memang bukan sembarang air, melainkan air yang diambil dari tujuh sumber mata air yang berbeda-beda, yang berkait dengan sejarah dan silsilah Panjalu. Upacara Nyangku yang berlangsung pada tanggal 2 Mei lalu itu, dipimpin oleh RH Atong Tjakradinata (78 tahun), salah seorang keturunan Panjalu yang juga ketua Yayasan Borosngora. Yayasan inilah yang memiliki otoritas untuk menyelenggarakan upacara Nyangku di Panjalu. Upacara pencucian benda pusaka, dilakukan tepat di tengah alun-alun, yang sudah dibangun sebuah panggung dari bambu.

Rangkaian Upacara Nyangku hari itu dimulai dengan pengambilan benda-benda pusaka dari Bumi Alit, lalu diarak menuju Nusa Gede yang berada di tengah-tengah Situ Lengkong untuk diziarahkan ke makam keramat yang ada di sana. Makam yang ada di Nusa Gede itu bukanlah makam Prabu Borosngora, tapi makam Hariang Kancana, salah seorang anak Prabu Borosngora. Prabu Borosngora sendiri tidak diketahui di mana makamnya. Raja Islam pertama di Kerajaan Panjalu ini kabarnya memang tidak menghendaki makamnya diketahui. Dalam salah satu pesannya, ia mengatakan:

“Sing saha anak incu kaula, isuk jaganing geto hayang ziarah ka kaula, teu perlu neangan di mana kaula dimakamkeun, tapi cukup nempo ieu parabot. Lain kaula nyurup ka ieu parabot, tapi pikirkeun ieu parabot, bukti perjuangan kaula ngalap elmu jeung nyebarkeun Islam” (Siapa saja anak cucuku, besok atau lusa hendak berziarah kepadaku, tidak perlu mencari di mana makamku, tapi lihatlah perkakas ini. Bukan aku menyatu dalam perkakas ini, tapi pikirkanlah bahwa peralatan ini adalah bukti perjuanganku mencari ilmu dan menyebarkan Islam).

Atas dasar pesan tersebut, hingga kini para keturunan kerajaan Panjalu senantiasa menyelenggarakan upacara Nyangku setiap tahun, dan biasanya upacara ini digelar pada akhir bulan Maulud (Rabiul Awal). Upacara Nyangku sendiri, kini telah menjadi ritual dan kegembiaraan tersendiri bagi masyarakat setempat.

Nyangku

Upacara Nyangku, merupakan ritual yang selalu ditunggu-tunggu masyarakat Panjalu. Seperti yang terjadi hari Senin 2 Mei lalu, upacara Nyangku telah menyedot perhatian masyarakat, baik di lingkungan Panjalu sendiri maupun luar Panjalu, seperti Tasikmalaya, Ciamis, Bandung, Jakarta, bahkan dari Jawa Timur. Tak kurang mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga hadir pada malam sebelumnya, dan sempat memberikan siraman rohani dalam acara Tausiyah Kubro yang merupakan bagian dari rangkaian acara ritual tahunan tersebut.

Inti dari upacara Nyangku adalah merawat benda-benda pusaka peninggalan Sanghyang Borosngora. Benda-benda pusaka tersebut antara lain berupa pedang. Kabarnya ini bukan sembarang pedang, karena ia merupakan tanda mata yang didapat Prabu Borosngora dari sahabat yang sekaligus menantu Rasulullah SAW, Sayyidina Ali RA tatkala Borosngora selesai berguru padanya. Prabu Borosngora, dalam pemahaman masyarakat Panjalu memang sempat bermukim di tanah suci Mekkah dalam waktu yang lama.

Selain membawa pedang dari Sayyidina Ali, Prabu Borosngora juga membawa cis (tongkat), pakaian haji dan air zamzam yang ditaruh dalam gayung bungbas (gayung yang berlubang kecil-kecil). Air zamzam tersebut oleh Prabu Borosngora kemudian ditumpahkan ke lembah (legok) Pasir Jambu. Saat lembah tersebut dibendung, berubahlah lembah itu menjadi danau, yang kini dikenal dengan nama Situ Lengkong. Situ Lengkong dan tradisi Nyangku kini telah dikenal luas oleh masyarakat luar Panjalu sebagai daerah wisata dan budaya di Jawa Barat.

Secara tradisi upacara Nyangku mengandung makna pelestarian nilai-nilai kehidupan Islami sebagaimana diamanatkan oleh Prabu Sanghyang Borosngora alias Haji Abdul Iman, alias Sykeh Panjalu. Sedang makna filosofisnya yang utama adalah mengevaluasi kembali perilaku hidup yang berpedoman kepada ajaran agama, yakni amar ma’ruf nahi munkar.

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sendiri telah beberapa kali menghadiri perayaan Nyangku di Panjalu ini. Pada Minggu malam tanggal 1 Mei 2005, Gus Dur juga berkunjung ke Panjalu, dan menyampaikan tausiahnya pada perayaan Maulud dan Nyangku. Pada kesempatan tersebut, Gus Dur menyampaikan pandangannya bahwa agama dan budaya itu tak dapat dipisahkan. “Ketika para Kyai, ustadz, atau ajengan menyampaikan ajaran agama itu ‘kan dia pakai kopiah, sarung, atau baju koko, misalnya. Kopiah, sarung, dan baju itu ‘kan budaya. Cara menyampaikan ajaran agama itu juga budaya. Jadi antara agama dan budaya itu merupakan satu kesatuan,” urai Gus Dur.

Merujuk pada apa yang dikatakan Gus Dur, R.H. Atong Tjakradinata, sesepuh masyarakat Panjalu menolak anggapan sejumlah tokoh Islam yang mengatakan bahwa tradisi Nyangku di Panjalu sebagai perbuatan musykrik yang menyimpang dari ajaran Islam. “Nyangku atau membersihkan alat-alat peninggalan leluhur ini tentu saja juga bukan untuk musyrik. Bukan untuk menduakan atau menyekutukan Allah. Nauudzubilahhi mindzalik. Kami mupusti atau memeliharanya dan bukan untuk migusti atau mangerankeun atau menuhankan alat,” tutur Atong Cakradinata.

“Pedang Sayidina Ali yang dihadiahkan kepada Sanghyang Prabu Borosngora yang kami bersihkan dalam upacara Nyangku, adalah untuk menggugah kesadaran warga Panjalu khususnya, dan Umat Islam umumnya, agar memahami betapa berat dan sulitnya belajar dan menyebarkan Agama Islam dengan baik dan benar,” lanjut Atong sambil memberi minyak wangi pada beberapa batu ali, pedang, keris, dan berbagai senjata kuno lainnya, di antara rekan-rekan atau saudaranya yang juga turut membantu membersihkan.

Begitulah, Nyangku telah menjadi bagian dari budaya warga Panjalu yang penuh dengan pesan-pesan keislaman. Sementara kehadiran dan anjuran Gus Dur yang turut menyemarakkan upacara Nyangku, telah meningkatkan kesejahteraan warga Panjalu. Seperti diakui Kuwu atau Kepala Desa Panjalu, Doni bahwa kehadiran Gus Dur merupakan sesuatu yang sangat bermakna bagi pelestarian tradisi Nyangku ini. “Sejak kedatangan Gus Dur, PAD (Pendapatan Asli Daerah-red) dari situ Lengkong Panjalu meningkat dari semula Rp 200-300 juta, menjadi Rp 600 hingga Rp 800 jutaan. Bahkan, dari keseluruhan PAD berbagai sektor di desa Panjalu, pernah mencapai Rp 1,4 Milyar,” tutur Kuwu Doni bangga dan penuh rasa syukur.

Lalu, mampukah masyarakat setempat memanfaatkan momentum Maulid Nabi Muhammad SAW, Nyangku, serta kehadiran Gus Dur dalam acara tersebut, untuk kemaslahatan sejati warga masyarakat? Desantara / Badar/Bode/Eri/Komunitas Azan



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian