Tak Hanya Wanita Komunis

admin | 20 - Apr - 2010

Waktu itu saya berusia belasan tahun, masih remaja seusia anak sekolah menengah atas. Sekali waktu saya mengantar dan turut serta dalam kursus menjahit di daerah Matraman yang diadakan oleh Gerwani. Kadang-kadang saya membantu  proses registrasi para peserta kursus yang biaya pelatihannya tak seberapa, sekitar Rp. 150,-. Sekali tempo kakak ipar sayalah yang memberi pelajaran kursus menjahit. Saya dan kakak ipar bukan orang pergerakan dan tidak terdaftar sebagai anggota partai PKI (Partai Komunis Indonesia) atau Gerwani. Keikutsertaan kami saat itu tak kurang hanya ingin memberi ilmu dan ketrampilan pada kaum wanita. Kakak ipar saya adalah istri politikus PKI Njoto tapi tak tahu sama sekali tentang politik, yang dia  tahu hanya bagaimana menjahit, memasak dan mengurus rumahtangga. Kami tidak terdaftar menjadi anggota Gerwani, tidak menggambil bagian dalam tubuh organisasi, dan banyak dari peserta atau pun pengajar kursus menjahit yang tidak tahu menahu tentang politik dan organisasi…  (Disadur dari perbincangan penulis dengan Iramani, 26 Januari 2009).

“Waktu itu saya berusia belasan tahun, masih remaja seusia anak sekolah menengah atas. Sekali waktu saya mengantar dan turut serta dalam kursus menjahit di daerah Matraman yang diadakan oleh Gerwani. Kadang-kadang saya membantu proses registrasi para peserta kursus yang biaya pelatihannya tak seberapa, sekitar Rp. 150,-. Sekali tempo kakak ipar sayalah yang memberi pelajaran kursus menjahit. Saya dan kakak ipar bukan orang pergerakan dan tidak terdaftar sebagai anggota partai PKI (Partai Komunis Indonesia) atau Gerwani. Keikutsertaan kami saat itu tak kurang hanya ingin memberi ilmu dan ketrampilan pada kaum wanita. Kakak ipar saya adalah istri politikus PKI Njoto tapi tak tahu sama sekali tentang politik, yang dia tahu hanya bagaimana menjahit, memasak dan mengurus rumahtangga. Kami tidak terdaftar menjadi anggota Gerwani, tidak menggambil bagian dalam tubuh organisasi, dan banyak dari peserta atau pun pengajar kursus menjahit yang tidak tahu menahu tentang politik dan organisasi… ” (Disadur dari perbincangan penulis dengan Iramani, 26 Januari 2009).

“Gerwani sebagai penerus tjita-tjita dan jedjak perdjuangan Kartini dan Clara Zetkin jang dalam meningkatan diri menjesuaikan dengan proses kristalisasi politik dewasa ini, merupakan gerakan emansipasi jang menghimpun wanita Komunis dan progresif non Komunis…” (DPP Gerwani, Harian Rakjat, 8 Maret 1965)

“Perkembangan Gerwani sekarang ini juga dapat dilihat dengan adanja kenjataan, bahwa Gerwani telah menghimpun didalamnja dua djuta lebih anggota, jang terdiri dari Wanita Komunis dan wanita progresif non-komunis, jang berdjuang dalam satu barisan wanita revolusioner tidak hanja emansipasi wanita, tetapi djuga untuk pembaharuan masjarakat Indonesia. (Harian Rakjat, 14 Januari 1965).

 

Dari cuplikan langsung yang diunduh dari tulisan DPP Gerwani dan Suharti S, di Ruang Wanita Harian Rakjat saat menjelang berlangsungnya sidang pleno ke IV DPP Gerwani di muka, kita dapat mengetahui bahwa keanggotaan organisasi Gerwani tidak hanya kumpulan wanita komunis saja tetapi ada juga wanita progresif non-komunis. Dari perbincangan di muka juga diketahui kemudian bahwa kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Gerwani tidak serta merta hanya diikuti anggota Gerwani saja tetapi juga wanita yang ingin dan turut serta memperoleh ketrampilan dan pengetahuan tertentu.

Selain beberapa pelatihan ketrampilan praktis, Gerwani juga menyandarkan keberadaan media sebagai alat untuk memajukan organisasi. Melalui Api Kartini, Berita Gerwani plus Harian Rakjat dapat kita temui kegiatan organisasi, maupun tulisan aktifis Gerwani yang mencerminkan padu padan sosialisme dan feminisme.

Gerwani dan Perjuangan Lewat Pena

Pembibitan jurnalis perempuan sejatinya sudah jauh dirintis Tirto Adhi Surjo lewat Poetri Hindia. Suratkabar ini terbit pertama pada 1 Juli 1908. Tertulis di bawah nama koran, “SOERAT KABAR DAN ADVERTENTIE BOEAT POETRI HINDIA”. Sebenarnya, ruang bagi wanita pribumi pada suratkabar berbahasa Melayu sudah muncul pada koran Soenda Berita (terbit pertama pada Februari 1903). Di Soenda Berita Tirto menuliskan pemikirannya yang diberi judul “Pengajaran Buat Perempuan Bumiputera” (lihat, Soenda Berita, Th. II No. 20, 1904). Namun Poetri Hindia jauh lebih leluasa menyoal perempuan dengan jumlah halaman lebih banyak.

Poetri Hindia bukan saja tempat belajar mengelola suratkabar, ia juga ajang perempuan belajar menulis. Salah satunya Siti Soendari, yang nantinya menjadi punggawa suratkabar Wanita Swara. Siti Soendari adalah adalah satu di antara perempuan yang pada masanya punya ketajaman pena, cerdas, dan berani. Malahan ia berulangkali berurusan dengan polisi rahasia Belanda. Siti Soendari adalah wanita yang dicitrakan radikal, tak segan membela dan turun langsung ke akar rumput membela kaum buruh. Keradikalannya dan ideologi yang dianut semakin tampak ketika bergabung dengan Marco Kartodikromo di Doenia Bergerak. Siti Soendari adalah titik semai perempuan pribumi yang memadupadankan sosialis dan feminisme.

Setelah Poetri Hindia gulung tikar, muncullah Soenting Melajoe dari tanah Minang yang dipunggawai oleh Rohana Kudus. Pada tahun terbitnya Soenting Melajoe, di Jawa (Brebes) terbit juga suratkabar bernama Wanita Swara, yang memperkenalkan nama Siti Soendari.

Wanita Swara adalah sebuah suratkabar yang diterbitkan oleh perkumpulan Boedi Oetomo cabang Pacitan. Soendari hanya menyebut demikian, dan tak diketahui pasti apakah organ pers Boedi Oetomo atau sayap wanita Boedi Oetomo cabang Pacitan. Jika memang diterbitkan oleh sayap wanita, berarti Wanita Swara adalah suratkabar perempuan awal yang dijadikan sebagai organ atau corongnya organisasi perempuan meski hanya sayap wanita dari sebuah organisasi. Dari sinilah bermunculan suratkabar atau majalah perempuan yang notabene adalah organ dari organisasi perempuan. Tradisi ?pers? sebagai corong organisasi hingga kini pun terus bertahan.

Di tahun-tahun gelap sesudah penjajahan Jepang, yang waktu itu hanya membolehkan keberadaan satu organisasi perempuan Fujinkai, muncullah Gerwis yang tergolong organisasi wanita radikal. Keradikalan Gerwis tak lepas dari pengaruh tokoh-tokohnya, yakni S.K. Trimurti, Salawati Daud, Sujinah, Sulami dan Sri Panggihan, yang memang telah kenyang merasai asam manis perjuangan. Selain itu terdapat nama Moenasiah, aktivis perempuan PKI dan Sarekat Islam “merah” bagian perempuan awal tahun 1920-an. Ia juga menjadi dedengkot “Aksi Caping Keropak” atau demonstrasi buruh perempuan menuntut perbaikan nasib. Corong organisasi yang radikal ini adalah majalah “Wanita Sedar”. Seiring dengan perubahan nama organ Gerwis menjadi Gerwani pelahan “Wanita Sedar” harus menemui ajalnya. Melalui Api Kartini plus Harian Rakjat itulah Gerwani menyatakan dirinya keluar.

Selain Api Kartini Gerwani juga menerbitkan Berita Gerwani. Keduanya beda segmen pembaca sesuai klasifikasi perempuan ala Gerwani, yakni perempuan yang telah “sadar” dan perempuan lapisan menengah ke bawah yang sedang tumbuh menuju “sadar”. Api Kartini ditujukan bagi pembaca lapisan tengah yang sedang tumbuh.

Berita Gerwani adalah majalah intern organisasi, sehingga lebih banyak berisi kegiatan organisasi, dan kunjungan-kunjungan ke organisasi perempuan di negeri-negeri sosialis. Isi Berita Gerwani jauh lebih radikal, guna mendukung kinerja kader organisasi. Hanya saja usia Berita Gerwani tak panjang, lantaran persoalan ekonomi.

Api Kartini masih lumayan, bernafas lebih panjang daripada Berita Gerwani. Ada banyak rubrik yang disediakan untuk kaum menengah yang sedang tumbuh , misalnya rubrik semacam mode, pengasuhan anak, Busana, Tokoh, Sruk (puisi), Arena Remaja, Masakan, Rawat Muka dan Rambut, Bacaan Anak-Anak Kita, dan Ruangan Pendidikan. Dengan aneka rubrik itu, Gerwani ingin mencitrakan bahwa ia peduli juga dengan persoalan-persoalan perempuan tradisional.

Politik keredaksian yang dianuti Api Kartini jelas, yakni keberpihakan terhadap persoalan perempuan akar rumput termasuk buruh tani dan buruh industri. Ada berita Seminar Wanita Tani yang diadakan Gerwani pada 20 Januari 1961 di Gedung Wanita, Jakarta, dan berita serupa juga diwartakan di lembar Harian Rakjat.

Yang membedakan Api Kartini dengan majalah perempuan lain selain persoalan ideologi dibalik pengelola majalah adalah sebagaimana yang ia rumuskan sendiri dan pernah termuat dalam Api Kartini:

“Ada majalah wanita yang hanya berupa hiburan, ada pula majalah yang lahirnya dibuat sangat menarik tapi isinya mencegah kaum wanita menjadi sadar akan keadaan yang tidak adil. Tetapi sebagaimana tumbuhnya gerakan wanita yang progresif, pesat juga perkembangan Pers Wanita yang demokratis. Tidak saja berisi hiburan, tetapi juga berbicara ke hati mereka (perempuan), mendidik mereka, meninggikan kesadaran?untuk berjuang sampai cita-cita mereka tercapai.”

Sedangkan PKI memberikan fasilitas kepada Gerwani space khusus “Ruangan Wanita” di koran Harian Rakjat. ?Ruangaan Wanita? hadir setiap hari rabu, mengisi setengah halaman III Harian Rakjat. Lewat Harian Rakjat teman-teman satu ideologi seperti Gerwani, Lekra, BTI, SOBSI dan PKI saling dukung satu sama lain dalam berbagai kegiatan. Misalnya saat Gerwani mengadakan seminar wanita tani, Lekra turut serta memberikan materi pada seminar tersebut, BTI memberi sambutannya. Tak lupa ketua CC PKI D.N. Aidit turut serta memberi dukungan dalam pidatonya:

“Kaum wanita tani adalah tenaga produktif jang sangat penting. Oleh karena itu, untuk melaksanakan ?landreform? para wanita harus ambil bagian jang se-aktif2nja. Tanpa kaum wanita tani ambil bagian, dan bagian yang aktif, landreform” tidak mungkin terlaksana. Djuga pelaksanaan Undang2 Bagi Hasil tidak mungkin baik selama kaum wanita tani tidak ambil peran aktif. Pendeknja tiap2 kemadjuan di desa, walaupun bagaimana ketjilnja harus dengan ikut serta setjara aktif kaum wanita tani. ” (Harian Rakjat, 21 Januari 1961).

Nj. Umi Sardjono ketua DPP Gerwani mengatakan bahwa Harian Rakjat adalah suratkabar yang membela emansipasi wanita:

“Harian Rakjat sebagai organisator dan agistor kolektif partai dan massa Rakjat, telah memainkan peranan penting dalam membangkitkan, memobilisasi dan mengorganisasi massa Rakjat, chusunja massa wanita setjara luas kepada perdjuangan melawan imperialisme, feodalisme…..” (Harian Rakjat, 30 Januari 1965).

Nj. Umi Sardjono nampaknya sadar betul peran Harian Rakjat salah satu koran politik terbesar dalam memfasilitasi Gerwani:

“…dalam perdjuangan Gerwani “HR” telah memberikan bantuan jang berharga sekali dalam berbagai lapangan. Di samping “HR”memuat berita2 kegiatan organisasi dan kegiatan perdjuangan aksi2 wanita menuntut perbaikan nasib….”HR” djuga setjara terus menerus mengadakan ruangan rubrik chusus ruangan wanita, memuat artikel2 penting jang selalu diikuti dengan teliti oleh massa anggota terutama oleh kader2 Gerwani…..”HR” telah memberikan dorongan timbulnja berbagai aktivitet di lain2 daerah dan telah melahirkan penulis2 wanita muda di lingkungan kader2 Gerwani….” (Harian Rakjat, 30 Januari 1965).

“Ruangan Wanita” tidak hanya menjadi ajang Gerwani mewartakan organisasi dan kegiatannya. Di “ruangan wanita” juga menjadi ajang berbagi informasi, disuguhkan dari masalah wanita dan politik, kegiatan organisasi sampai belajar menyulam, memasak, menulis cerpen, atau mendidik anak.

 

Lewat pelbagai media yang tersebut di muka, Gerwani telah menyebarkan pandangan politik, tujuan-tujuan, dan kegiatan-kegiatan organisasi yang akhirnya memberikan andil besar pada perkembangan organisasi.

Gerwis: Media Semai Gerwani

Sekitar 4 Juni 1950 pada saat di mana Rakjat Indonesia dihadapkan pada suatu kenyataan dengan telah ditandatanganinya Perjanjian KMB, yang pada hekekatya merestorasi kedudukan modal monopoli Belanda di Indonesia. Pada waktu itu organisasi wanita harus menjawab dua problem politik sesuai dengan situasi tanah air: setuju atau tidak dengan perjanjian KMB. Selain itu juga apakah setuju atau tidak menggabungkan diri dalam dalam Gabungan Wanita Demokratis Sedunia (GWDS) atau keluar dari keanggotaan GDWS. Saat itulah Gerwis dilahirkan. Enam organisasi perempuan, yakni Rupindo dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Istri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Murba Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia dari Pasuruan bersepakat meleburkan diri dalam satu organisasi yang dinamai Gerwis. Jadilah tersusun pengurus besar Gerwis yang dipanglimai Tris Metty.

Gerwis didirikan atas dasar pengertian bahwa perempuan mempunyai kepentingan dalam perjuangan anti penjajahan. Karena perempuan seringkali menjadi korban paling riil, terutama menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari keluarga. Penjajah yang dimaksud adalah mereka yang dikategorikan sebagai kaum pemodal alias para kapitalis dan imperialis, yang sulit berdamai dengan kaum proletar.

Gerwis juga identik dengan kaum merah ataupun kaum kiri. Apalagi ada kemungkinan bahwa PKI turut andil dalam pembentukan Gerwis. Dalam Gerwis ada juga tarik menarik antara sayap feminis dengan mereka yang ingin menonjolkan pengaruh PKI dalam organisasi, sekaligus menjadikan Gerwis bukan semata organisasi kader (terbatas) tetapi adalah organisasi massa.

Pertarungan dua kubu makin memuncak saat kongres I Gerwis pada 1951. Sayap feminis makin terpencil, meski PKI harus tergopoh menempatkan kadernya agar menjadi pucuk pimpinan Gerwis. Nama organisasi pun diputuskan berubah dari Gerwis menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Namun adanya perlawanan dari sebagian anggota Gerwis yang tidak menghendaki dominasi PKI, membuat terjadinya kompromi, bahwa untuk sementara waktu nama Gerwis tetap dipakai. Perubahan nama baru terlaksana pada 1954, ketika diadakan kongres II Gerwis. Namun demikian, sebelum 1954, nama Gerwani mulai akrab, dan dipakai di beberapa daerah.

 

Gerwani sendiri merefleksikan Gerwis sebagai organisasi cikal bakal yang mampu mengambil sikap dan terus berkembang: ?dari 500 orang menjadi 6000 orang pada waktu konggres ke I 1951 dan menjadi 74. 977 orang waktu konggres II Januari 1954. Ini merupakan hal yang sangat baik. Akan tetapi Gerwis juga memiliki kelemahan-kelemahannya yang serius, yaitu karena Gerwis dihinggapi penyakit sektarisme, sehingga kurang berkembang luas dikalangan massa wanita.

 

Kemudian hari Gerwani melihat penyakit sektarisme Gerwis: “… sikap yang kurang mau kerjasama dengan ormas-ormas lain dan kurang bekerja dengan garis massa. Nama Gerwis sendiri, yaitu Gerakan Wanita Indonesia Sedar berarti membatasi keanggotaan organisasi. Yang diterima menjadi anggota organisasi hanyalah mereka wanita-wanita yang telah sadar saja, padahal berjuta-juta massa wanita banyak yang belum “sedar” dan harus ditarik dalam perjuangan. Selama itu Gerwis berkembang.” (Harian Rakjat, Januari 1965).

Ini Gerwani bukan Gerwis

“Apa hak moril tuan-tuan di Barat akan mengedjek2 wanita kita?” (Harian Rakjat, 17 Januari 1965),

Demikian Njoto dalam artikelnya bertajuk “Wanita dan Marxisme; kerdja di kalangan wanita tani jang utama” yang dimuat bersambung pada Harian Rakjat. Njoto melanjutkan:

“Timur dihuni oleh pengembara2 dan orang2 liar, kata tuan, dan sebagai ilustrasi atas keliaran Timur tuan sebutkan kedudukan wanita Timur. Baik kita diskusikan soal keliaran ini. Di pentas2 ruangan2 musik di Eropa berpuluh-puluh dan beratus-ratus wanita diseluruh mempertontonkan keterlandjangannja. Tidaklah bagi tuan lajak bahwa menarik perhatian umum kepada tubuh wanita telandjang harus membangkitkan protes2 tertentu dari ibu2, isteri2 dan kakak2 dari kaum intelektuil Eropa?…Bagi saja, penarikan minat jang memuakkan dan vulger ini tak ajal lagi bukti atas kenjataan bahwa borjuasi Eropa melorot kedalam keliaran dan dekadensi”.

Lalu bagaimana dengan Gerwani salah satu gambaran wanita Indonesia yang dibela-bela Njoto dengan kesamaan dan seperkawanan ideologi? Gerwani cepat-cepat berbenah diri, tak mau mengulang penyakit sektarisme Gerwis yang menghambat perkembangan organisasi dan untuk melaksanakan garis massa. Perubahan dilakukan, cara kerja lebih revolusioner untuk mengimbanginnya. Anggaran Dasar pun diubah. Gerwani mulai meluaskan aksi-aksi untuk pembelaaan hak-hak wanita dan anak-anak serta memperkuat aksi-aksi untuk kemerdekaan nasional dan memperkuat setiakawan internasional.

 

Euforia politik yang terus memanas sejak Soekarno memutuskan hubungan dengan PBB disikapi Gerwani dengan tegas yaitu mendukung situasi perjuangan terutama dalam mensukseskan Dwikora dan mengganyang Malaysia dan mendukung sepenuhnya keluarnya RI dari PBB. Sikap PBB dianggap tidak mengindahkan perjuangan Rakyat Indonesia dengan mendudukkan Malaysia dalam Dewan Keamanan PBB dan menunjukkan bahwa PBB masih didominasi kaum imperialis, terutama imperialis AS.

 

“DPP Gerwani telah menjatakan sikap memprotes PBB, mendukung sepenuhnja komando presiden agar Indonesia keluar dari PBB dan menuntut agar semua perwakilan PBB maupun organisasi/lembaga2 PBB lainnja segera angkat kaki dari bumi Indonesia.” (Harian Rakjat, 14 Januari 1965).

Dukungan untuk mensukseskan DWIKORA, meningkatkan perjuangan penggayangan “Malaysia” proyek neokolonialisme Inggris dan imperialis AS diujudkan nyata dengan membuka dan melatih sukarelawati untuk mempersiapkan ketahanan keamanan yang diserukan pada perayaan hari Wanita Internasional oleh DPP Gerwani:

“Basis2 Gerwani supaja segera mempersiapkan latihan2 sukarelawati, membentuk brigade2 tempur/produksi….mempertinggi kewaspadaan nasional sehingga kampung dan desa2, mengembangkan aksi2 seluruh rakjat Indonesia dalam melawan subversi dan intervensi imperialis Amerikat, jang semakin nekad berhubung dengan keluarnja Indonesia dari PBB…(Harian Rakjat, 8 Maret 1965)

Tak main-main, sekira tiga bulan kemudian tepatnya tanggal 4 Juni 1965 dilembar Harian Rakjat melangsir foto sukarelawati Gerwani di daerah Bali yang tengah berlatih militer. Kredit title foto itu berbunyi “Sukwati Gerwani Bali mengadakan latihan-latihan kemiliteran dalam training center untuk menggajang projek “Malaysia”. Gerwani memang bersegera membentuk unit-unit sukwati terkecil di basis tempat tinggal terdiri dari 10-12 orang. Dibentuk pula Sukwati tingkat cabang. Sukwati Gerwani ini adalah salah satu bagian teraktif dalam tubuh Gerwani.

 

Pembentukan sukarelawati ini sejatinya dicetuskan Gerwani bertolak dari komando PJM presiden Sukarno yang mengomandokan kepada seluruh seluruh sukarelawan Dwikora untuk membentuk unit-unit sukarelawan kecil dan kemudian mengadakan gerakan turun ke bawah (turba). Menurut Gerwani, gerakan Sukwati ini adalah salah satu upaya mendongkrak pandangan-pandangan kolot yang menempatkan kaum wanita pada tempat yang terbelakang untuk sebatas mengurus dapur, anak-anak dan rumah tangga:

…Sukwati sebagai panggilan revolusi telah menarik kaum wanita dari keadaan dan pandangan jang kolot dan terbelakang tersebut, dan tampillah ke depan ibu2, wanita2, jang tidak hanja pandai menggurus rumahtangga, tetapi djuga siap sedia memikul tugas2 dalam masjarakat.?(Harian Rakjat, 8 Juli 1965)

Dengan lima azimat revolusi Indonesia (1) Nasakom, (2) Pancasila, (3) Manipol, (4) Trisakti Tavip, dan (5) Berdikari, sukwati-sukwati dan para sukarelawan kian giat mengintensifkan latihan-latihan untuk berjuang lebih keras untuk melaksanakan Dwikora, menggayang Malaysia dan imperialis AS. Inilah sekilas gambaran Sukwati Gerwani:

“Seorang Ibu jang djuga menjatakan dirinja sebagai sukwati Gerwani, sambil menggendong anaknja jang sapihan di belakang dan jang masih menjusu di depan, dan karena sulitnja perhubungan dengan djalan kaki menempuh djarak 17 km siap dalam appel dan menjatakan kesiapannja melaksanakan tugas dan segala instruksi DPP Gerwani.

 

“Sukwati dari daerah Wonogiri, Prajumantoro dengan tidak bersepatu berbaris tegap2 dari djarak tidak kurang 40 km. Diorama mukanja terlukis kesanggupannja untuk mempertahankan tanahairnja dan menjelematkan revolusi dari rorongan nekolim, setan dunia, dan tudjuh setan desa, djuga siap untuk menghadapi dan terus berkonfrontasi dengan Malaysia”. (Harian Rakjat,, 27 September 1965).

Sikap Gerwani ini sejatinya adalah kompas bahwa organisasi wanita pada massanya berkembang dan tak anti dengan masalah politik bangsa. Dalam perpolitikan DPP Gerwani juga mendukung keputusan-keputusan Presiden melarang ?BPS? dan melarang untuk sementara kegiatan Partai Murba beserta ormas-ormas pendukungnya. Menurut Gerwani keputusan-keputusannya ini adalah usaha ?untuk menjelamatkan RI dan mensukseskan Dwikora sangat tepat dan perlu diteruskan dengan adanja retooling terhadap aparat-aparat dan lembaga-lembaga negara dari semua oknum2 .? Lalu diserukan bagi kaum wanita sendiri mengahalau bahaya imperialis dengan ? mempertinggi kewaspadaan dan memperkuat persatuan nasional revolusioner berpatokan Nasakom, untuk menghadapi kegiatan dari kombinasi 3 kekuatan jahat, yaitu kaum imperialis, kapitalis birokrat dan trotskis.?

Di bidang Internasional, Gerwani senantiasa aktiv mengikuti sidang-sidang GWDS dan mengirim delegasi-delegasi ke berbagai negeri untuk mengumandangkan cita-cita wanita Indonesia dan tujuan revolusi Indonesia.Gerwani memperkuat setiakawan dengan perjuangan Rakyat Vietnam Selatan, Kongo untuk menggayang agresi imperialis AS, bertekat untuk turut serta menentang pangkalan-pangkalan asing dan memboikot film-film AS:

“DPP Gerwani dalam tilgramnja djuga menjatakan protes keras dan menuntut agar pemerintah AS menghentikan serangan dan menaati persetudjuaan Djenewa, menarik semua pasukan AS dari Vietsel. …Selain itu djuga dinjatakan ucapan selamat dan sukses atas hasilnja Tentera Rakjat Vietnam menembak djatuhnja pesawat terbang AS!” (Harian Rakjat, 10 Februari 1965).

 

Untuk mengembangkan organisasi, Gerwani meluaskan sayapnya tidak hanya di Jawa, tetapi juga di pulau-pulau lainnya. Sedangkan untuk kepentingan regenerasi dimulai adanya pendidikan kader-kader wanita yang menjadi tulang punggung organisasi. Satu hal yang penting dalam usaha Gerwani ialah dengan berjuang secara gigih dalam pemilihan umum dimana Gerwani mengorganisasi lebih 30.000 aktivis untuk memenangkan daftar calon pimpinan-pimpinan dari Gerwani.

 

Untuk mengintensifkan gerakan dan mencetak kader-kader wanita revolusioner, berfikiran cerdas dan berkemauan keras maka sidang Pleno ke IV DPP Gerwani 15-18 Januari 1965, memutuskan untuk mendirikan Yayasan Pendidikan Wanita Revolusioner dengan nama “Sri Panggihan”. Yayasan pendidikan ini yang akan mendirikan institute pendidikan sekolah-sekolah wanita revolusioner dari tingkat pusat sampai anak cabang. Sebagai mata pelajaran pokok adalah Marxisme:

 

“Untuk mempersiapkan institute, Pleno menugaskan Dewan Harian untuk segera mengadakan kursus aplikasi guru agar segera dapat mentjukupi tenaga2 chusus di bidang pendidikan wanita revolusioner, Marxisme adalah ilmu jang kompeten untuk mendjelaskan revolusi… sebelum tugas2 institut bisa dilaksanakan, maka Pusat, Daerah Tjabang sampai Anak Tjabang harus tetap mengusahakan adanja pendidikan jang bermatjam bentuknja…”

 

Gerwani nampaknya menyadari bahwa pendidikan adalah salah satu senjata penting untuk menciptakan kader revolusioner, hal tersebut bisa dilihat dengan segera mereka berbenah dan merapikan dan mengintensifkan bidang pendidikan kader. Pembentukan Yayasan ?Sri Panggihan? secara resmi diumumkan pada hari Wanita Internasional 8 Maret 1965, dan bentukan cabang-cabang yayasan akan diresmikan pada peringgatan Hari Kartini 21 April 1965. Bulan Juni 1965 pada rapat umum Gerwani diumumkan pembukaan angkatan pertama pendidikan wanita revolusioner ?Sri Panggihan?. Angkatan pertama ini beranggotakan wanita-wanita dari berbagai daerah untuk mengikuti pendidikan. Pendidikan ?Sri Panggihan? ini berjalan kurang lebih selama dua bulan, pada tanggal 9 September 1965 diwisudalah anggkatan pertama ?Sri Panggihan? (Harian Rakjat, 9 September 1965). Kendati demikian realisasi lulusan ?Sri Panggihan? dalam Gerwani tak terlihat nyata menggingat pada bulan yang sama pecah peristiwa September 1965.

 

Masalah pendidikan anak tak luput dari perhatian Gerwani, sejak tahun 1954 mulai didirikan 24 Taman Kanak-kanak dibawah naungan “Jajasan Pendidikan”. Taman Kanak-kanak yang diasuh Gerwani berlandaskan; (1) Tjinta tanah air, (2) Tjinta Ilmu Pengetahuan, (3) Tjinta kerdja dan Rakjat Pekerdja, (4) Tjinta Perdamaian dan Persahabatan antar bangsa2 dan (5) Tjinta orang tua (Harian Rakjat, 15 Juni 1965). Taman Kanak-kanak (TK) Melati ini didirikan untuk menyediakan sekolah murah bagi para buruh dan tani. Dan hingga tahun 1963 TK Melati Gerwani terus berkembang bahkan mulai dipikirkan untuk mendirikan sekolah lanjutan, serta pendidikan untuk guru-guru, maka ketika berlangsung konggres ke II dari GTKI Gerwani menaruh perhatian besar dan ikut bergabung di dalamnya dan memberikan prasarana meningkatkan mutu guru-guru TK dan sekolah lanjut dengan kursus dan training.

 

Dengan adanya usaha-usaha yang giat Gerwani mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini bisa dilihat dari naiknya keanggotaan Gerwani, yaitu dari 74.977 orang menjadi 631.342 pada kongres ke III di Solo tahun 1957 dan menjadi 1.056.436 pada konggres ke IV 1961 di Jakarta. Cabang-cabang Gerwani mulai berkembang di seluruh kepulauan Indonesia.

 

Gerwani juga menyelenggarakan seminar-seminar wanita tani di daerah dan nasional. Seminar wanita tani pertama kali diselenggarakan pada tanggal 17-20 Januari 1961, tujuannya adalah untuk meningkatkan sumbangan kaum wanita tani dalam meningkatkan masyarakat adil makmur, melaksanakan manipol, meningkatkan taraf hidup wanita tani dan melaksanakan Undang-undang bagi hasil dan Landreform. (Lihat Harian Rakjat, 7 Januari 1961).

 

Menurut Hj. Umi Sardjono seminar wanita tani ini diselenggarakan dalam rangka melaksanakan kongres ke-3 Gerwani dan Sidang pleno ke-1 DPP Gerwani, yang menekankan pentingnya menyimpulkan hasil penelitian dari aktivis-aktivis Gerwani, baik pusat maupun daerah setelah melakukan gerakan turun ke bawah di desa-desa. Di samping untuk menyambut ketetapan MPRS serta komando Presiden tentang pelaksanaan pembangunan pertama yang menggariskan bahwa basis-basis pembangunan adalah landreform. (Harian Rakjat, 18 Januari 1961)

 

Seminar ini diikuti delegasi-delegasi dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimanatan Selatan, Kalimantan Timur, Manado, Djawa Timur, Djawa Tengah, Djawa Barat dan Djakarta Raja. (Lihat Harian Rakjat,17 Januari 1961)

 

Perlu digarisbawahi meskipun Gerwani segaris dan pendukung setia Sukarno namun tidak berarti organisasi ini tak kritis pada pemerintah, buktinya ketika pemerintah menaikkan harga-harga kebutuhan 50-150% dalam satu bulan Gerwani ikut berteriak pada kebijakan pemerintah:

 

“Gerwani mengusulkan agar distribusi beras bagi pegawai negeri tidak diganti dengan uang, kenaikan tarif ditindjau dan mentjegah kenaikan tarif lainnja, penjaluran 9 bahan pokok kebutuhan se-hari2 diawasi dengan mengikut sertakan Rakjat jang terorganisasi dan melaksanakan ketetapan MPRS, untuk mempertinggi produksi”. (Harian Rakjat, 27 Juli 1965)

 

Untuk memperkuat basis massa kegiatan Gerwani memang menyentuh berbagai aspek kehidupan politik, sosial, pendidikkan, anak, dan ekonomi secara nasional maupun internasional. Gerwani sebagai organisasi wanita revolusioner harus bernasib naas seperti organisasi-organisasi seideologinya. Peristiwa 1 Oktober 1965 adalah awal gemuruhnya lonceng kematian bagi siapapun dan organisasi mana pun yang sekawan atau seideologi dengan PKI. Begitu pula dengan aktivis, anggota Gerwani, bahkan simpatisannya.

 

Catatan ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tertentu, wanita Indonesia pun memiliki keahlian memainkan penannya sendiri. Mereka pun mengikuti dan mencebur dalam perkembangan politik, ekonomi, pendidikan dan masalah-masalah sosial bangsa hingga bergerak dalam identitasnya sendiri.

***

Rhoma Dwi Aria Yuliantri, penggemar sejarah, Jogja-Bandung-Jakarta-Medan.

 



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

One Response to “Tak Hanya Wanita Komunis”

  1. anisah effendi says:

    ada apa sebenarnya di balik peristiwa 1 oktober 1965? kenapa gerwani juga harus dikorbankan? kapan lagi perempuan2 indonesia memiliki organisasi progresif revolusioner seperti gerwani?.. indonesia sungguh aku mencintaimu…

Isi Komentar

Pencarian