Sirajuddin Bantam: “Tak Perlu Mengemis Sama Pemerintah”
MHN. Huda dan Syamsurijal Adhan | 25 - Apr - 2008Siapa yang tak kenal Sirajuddin Bantam, seniman ulet pemilik sanggar seni Sirajuddin. Ia bersama rekan-rekan seniman di kampungnya gigih mengembangkan tarian Pakarena, kesenian ritual rakyat yang sering diabaikan dan mulai tercerabut dari akar tradisinya. “Pemerintah tidak memberikan ruang yang cukup terhadap kesenian rakyat semacam Pakarena ini,” tuturnya memulai perbincangan dengan Desantara.
Sirajuddin memang sejak kecil telah bersentuhan dengan Pakarena, tarian rakyat yang kini ia geluti. Dia belajar Pakarena dari ayahnya mulai dari memukul gendang sampai menari. Lambat laun Sirajuddin kecil pun mengerti kalau Pakarena amat dibutuhkan masyarakat, meski ironisnya kehidupan para senimannya serba pas-pasan. Sejak itu pula ia bercita-cita mengangkat Pakarena dan juga kehidupan komunitasnya.
Apakah pemerintah tidak tertarik mengangkat Pakarena di ajang pementasan? “Bukan itu,” kata Sirajuddin menampik. “Pemerintah memang sering mencari seniman Pakarena setiap mau festival. Masalahnya bukan sekedar tampil atau tidak. Tapi, pemerintah tidak pernah memperhatikan kehidupan seniman,” ujar pria yang menjadi guru tari salah satu SMU di Gowa ini.
Menurut Sirajuddin, pemda kini hanya memperebutkan legitimasi budaya. Pertama, Pakarena dianggap punya basis massa, dan kedua dianggap representasi budaya daerah yang unik. “Setiap menjelang pilkada politisi atau pejabat mulai mencari seniman Pakarena, seperti saya ini,” kata Sirajuddin.
Karena itu menjelang masa pensiunnya pria tua ini mengingatkan agar para seniman tidak mengemis sama pemerintah. Sebab bisa bikin seniman tidak kreatif, tidak mandiri dan gampang diintervensi, katanya. Apalagi sekarang kebijakan pemerintah belum sepenuhnya memihak para seniman rakyat. Pemerintah belum memikirkan sejauhmana pementasan-pementasan Pakarena memberikan keuntungan kepada seniman.
“Bukan sekedar kebanggaan saja bisa tampil. Pemda juga mestinya mampu memahami kalau Pakarena bagian dari ritual. Karena itu pemerintah harus menjadi fasilitator yang menjembatani agar tidak ada pihak yang merampas hak-hak orang lain, apalagi terhadap ritual yang bagian dari tradisi kita di Sul-sel,” ujar Sirajuddin menanggapi upaya pemberlakuan standar agama tertentu dalam kehidupan kesenian oleh Pemda. Hal ini terkait dengan program “Islamisasi” budaya yang sedang dicanangkan Pemda melalui Visi Sulsel 2020, yang sempat mengingatkannya pada masa DI/TII yang memaksakan gerakan pemurnian terhadap kehidupan masyarakat.
Dalam rangka itu Sirajuddin kini getol membangun dialog antara seniman dan kalangan agamawan. Ia juga diakui sebagai tokoh seniman rakyat yang gigih membela hak-hak komunitas adat, sambil terus memperjuangkan kehidupan mereka. Di antaranya dengan membangun relasi dengan seniman lain, membuat brosur, dan mengenalkan Pakarena secara mandiri ke mancanegara. Karena itu ia juga mengaku ikut mengkreasi Pakarena agar menarik ditonton. Tapi itu dilakukan tanpa menciderai aspek dan esensi seni ritualnya.
“Perubahan ini supaya saya bisa bersaing dengan kreasi teman-teman seniman di Makassar,” ujarnya. Ini baru seniman rakyat beneran. Desantara / MHN. Huda dan Syamsurijal Adhan
Tweet
« Ngatrulin, Dukun Desan Ngadas, Tengger
Tulisan sesudahnya:
Karya Sastra Santri “Terpinggirkan” »
Pencarian
Kategori Esai ID
- Matinya Erau dari Tradisi ke Politisasi Etnik
- Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013
- Islam Kutai dan Persinggungan Politik
- “Menciptakan Seni Alternatif bagi Masyarakat”
- Paraben andi’ ana’, Belenjer andi’ Lake (Perawan Punya Anak, Janda Punya Suami): Kritik Sosial Perempuan Seni Madura terhadap Santri Coret
- Tanah dan Pergeseran Kosmologi Dayak Kenyah
- Prahara Budaya: Refleksi Peradaban Manusia Dayak
- Memahami Klaim Kebenaran Agama: Suatu Refleksi Filosofis
- Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, Kutai Kartanegara
- Komunitas Nyerakat : Geliat di Tengah Gempuran Arus Modernitas
- Bisnis Perizinan Kuasa Pertambangan dan Geliat Pilkada Kota Samarinda
- Perempuan Kampung Pamanah di Industri Tenun Sarung Samarinda
- Pesantren Tegalrejo: Lautan di Lereng Merbabu
- Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai
- Wajah Lain Dari Tegalrejo
Random Post
- Membaranya Batubara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin-Sawahlunto-Sumatera Barat (1892-1996)(0)
- ‘Kafir’ versus Memori Kolektif(0)
- Pengalaman dari desa Bombong:Dari Pertemuan, Pertemanan dan Ide Untuk Perubahan(2)
- Ahmadiyah di Mata Nara(0)
- RUU Terapan Hukum Perkawinan Islam Abaikan Kesetaraan dan Pluralisme(0)
- Srinthil 16 : Dilema Status Kewarganegaraan Perempuan Tionghoa Miskin(0)
- Dari Jalanan Menuju Gedung Dewan(0)
- Srinthil edisi 20 : Perempuan di atas lumpur(0)
- Dari Tanah Gayo, Membaca Narasi Lain Aceh(0)
- Demo menolak RUU Antipornografi dan Pornoaksi bag. 1(0)
- A Brief History of Desantara Foundation(0)
- Gender dan Nasionalisme(0)
- Tengger: Medan Pertarungan Nan Abadi(0)
- Test tennese Flood(0)
- “Menciptakan Seni Alternatif bagi Masyarakat”(0)


betul mas.