Syarifuddin Dg Tutu: Siapa Bilang Sinrilik Tidak Islami?
admin | 29 - Apr - 2008Syarifuddin Dg Tutu, namanya. Mustahil rasanya masyarakat di sekitar Gowa tak mengenalnya. Pria ramah ini adalah salah satu seniman sinrilik yang cukup terkenal. Bahkan ia bukan hanya ahli membaca sinrilik, ia juga mahir menampilkan tari pakarena dan beberapa seni tradisi lainnya.
Saat DESANTARA bertandang ke rumahnya di daerah Bontoramba, wajahnya tampak sumringah. Ia bersemangat melayani perbincangan kami terutama saat menyinggung seputar tradisi sinrilik yang juga ia geluti. “Sekarang ini sinrilik praktis makin termarginalkan,” ujar Syarifuddin tiba-tiba dengan nada suara yang terdengar berat.
Syarifuddin memang nampak tak bisa menyembunyikan rasa gundahnya. Raut wajahnya menyiratkan kegalauan yang dalam. Pasalnya, sinrilik dan beberapa seni tradisi lain bukan hanya menjadi sarana hiburan semata dan harus bersaing dengan industri kesenian modern, tetapi juga nyaris terpinggirkan oleh tekanan dari agama resmi. Sinrilik seringkali tersingkir dan memperoleh stigma tidak Islami. “Kesenian tradisi macam sinrilik ini masih saja ditekan-tekan. Kalau dulu zaman DI/TII kesenian tradisi semacam ini dilarang, dianggap musyrik, sekarang distigma dan dijauhi,” kata seniman yang juga berprofesi sebagai pegawai negeri ini.Padahal, sambung Syarifuddin, orang yang menganggap sinrilik tidak Islami dengan alasan tidak ada contoh dari Rasulullah itu sangat keliru dan tidak tepat. Sebab, dalam konteks masyarakat Sul-sel yang tidak mengerti bahasa Arab tidak mungkin mengangkat kesenian berbahasa Arab semata. Dakwah akan lebih efektif justeru bila menggunakan bahasa sendiri, ujarnya.“Jadi siapa bilang sinrilik tidak Islami? Lihat, isinya banyak nasehat-nasehat, anjuran berbuat baik terhadap yang lain, menuntut ilmu dan lainnya. Semua itu kan hal yang Islami. Memang asal-usulnya bukan dari masa Rasulullah, melainkan dari budaya kita sendiri. Tapi apa dengan begitu, lalu dianggap tidak Islami? Pandangan itu keliru!,“ tegas Syarifuddin.
Argumentasi yang diajukan Syarifuddin ini memang masuk akal. Apalagi dalam sejarahnya proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Sul-sel berlangsung melalui perkawinannya dengan tradisi. Begitu juga persebaran Islam di wilayah-wilayah lain, seperti di tanah Jawa dan Sumatera yang lebih melalui jalur-jalur perdagangan dan perkawinan ketimbang saling menyingkirkan. “Ulama dulu tidak menghilangkan tradisi lokal, tapi memadukannya dengan ajaran Islam yang baru datang. Termasuk dalam tradisi pasang ataupun paruntu kana yang menjadi cikal bakal dari Sinrilik ini,” ujar Syarifuddin.
Lebih lanjut Syarifuddin menegaskan, proses perpaduan itu cukup berjalan secara kultural. Artinya dalam pertemuan antar dua tradisi yang berbeda itu masing-masing tidak saling saling menghilangkan. “Masyarakat kita dulu tahu betul kalau dalam proses perkawinan tradisi ini keyakinan subtansial mereka tidak boleh hilang,” tambahnya.
Oleh karena itu bukan hal yang aneh dalam pandangan Syarifuddin, kalau masyarakat kita mengikuti tata cara doa Islam, sementara isi doanya berisi puja-puji dan doa yang telah ada pada komunitas itu sendiri. Demikian pula dalam sinrilik. Ia bisa menjadi media untuk menyampaikan pesan-pesan Islam, sambil tetap mempertahankan tradisi khas dalam sinrilik. Seperti kebiasaan menyelamati alat musik kesok-kesok atau kerek-kerek gallang (sejenis rebab) menjelang tampil.Karena itu Syarifuddin lantas berargumentasi, kalau upaya untuk mengislamisasi kesenian tradisional selama ini sebenarnya kurang pas. Apalagi bila dibuat bermacam-macam kebijakan segala. “Semua kesenian bisa saja Islami, tergantung niat kita,” kata Syarifuddin pelan sambil mengakhiri perbincangannya dengan Desantara. [Pewawancara: Syamsurijal Adhan]
Tweet
« Pakarena, Estetika Pariwisata dan Konstruksi Agama
Tulisan sesudahnya:
Statement Desantara Foundation »
Pencarian
Kategori Esai ID
- Matinya Erau dari Tradisi ke Politisasi Etnik
- Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013
- Islam Kutai dan Persinggungan Politik
- “Menciptakan Seni Alternatif bagi Masyarakat”
- Paraben andi’ ana’, Belenjer andi’ Lake (Perawan Punya Anak, Janda Punya Suami): Kritik Sosial Perempuan Seni Madura terhadap Santri Coret
- Tanah dan Pergeseran Kosmologi Dayak Kenyah
- Prahara Budaya: Refleksi Peradaban Manusia Dayak
- Memahami Klaim Kebenaran Agama: Suatu Refleksi Filosofis
- Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, Kutai Kartanegara
- Komunitas Nyerakat : Geliat di Tengah Gempuran Arus Modernitas
- Bisnis Perizinan Kuasa Pertambangan dan Geliat Pilkada Kota Samarinda
- Perempuan Kampung Pamanah di Industri Tenun Sarung Samarinda
- Pesantren Tegalrejo: Lautan di Lereng Merbabu
- Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai
- Wajah Lain Dari Tegalrejo
Random Post
- Sekolah Multikultural(0)
- Lagu atau Nasyid?(0)
- Lawakan Kritis(0)
- Srinthil edisi 23: Perempuan petani mengelola perubahan(0)
- Syahrun Latjupa, Peneliti Sosial: Alam dan Manusia Itu Satu-Kesatuan Hidup(0)
- Daftar Inventarisasi Masalah RUU Kerukunan Umat Beragama(0)
- Islam Kutai dan Persinggungan Politik(0)
- Fitna dan Problem Multikulturalisme(0)
- Pesantren Kecapi dan Kecapi Pesantren(0)
- Pelatihan Jurnalistik Perempuan Multikultural(0)
- Tarian Kehidupan Gandrung Temu(0)
- Gandrung: Tarian Perlawanan Orang Using(0)
- Ada Apa di Balik Grebeg Singosari?(0)
- Warga Pengungsi Sampaikan Unek-uneknya di Tengah Panggung Ketoprak(0)
- Jejak Identitas Perempuan Tionghoa dalam Karya Sastra(0)
Islami… sinrili jangan terlalu salah ditafsirkan…makna islami itu sendiri seperti apa? setahu saya islami itu adalah suatu aktivitas yang menjalankan semua proses kehidupan berdasarkan alquran dan sunah rasul…sinrili sendiri jenis kesenian khas makassar yaitu sejenis nyanyian yang dibawakan secara bertutur dan diiringi alat musik tradisi yang disebut keso-keso. yang membawakannya bukan seorang ulama tetapi pelaku seni yang isinya ada yang disebut pappasang…perlu kajian ulang tentang pendapat bahwa sinrili itu islam…
Ani dan Asty: Kaya’nya saya harus kembali belajar Sejarah di Sekolah Dasar
hahaha…
Fakta sejarah memberikan gambaran kepada kita bahwa Islam hadir ke bumi pertiwi tidak dengan penumbangan kekuasaan maupun agresi militer ataupun jalan-jalan pemaksaan lainnya,namun melalui jalan damai yaitu akulturasi budaya.Secara cerdas Walisongo menginisiasi pencerdasan dan pembangunan masyarakat secara kultural dan dari sanalah penyebaran Islam dilakukan.Sebuah pelajaran berharga mengenai bagaimana menyikapi perbedaan.Bahkan kita melihat bagaimana wayang sekalipun yang notabene berasal dari ajaran animisme yang sangat kontras dengan ajaran Islam dapat digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan Islam setelah dilakukan modifikasi terlebih dahulu.Para penyebar agama Islam di tanah air dahulu mencoba menggali dan memahami adat istiadat dan khazanah budaya yang ada terlebih dahulu untuk kemudian dimanfaatkan untuk berdakwah.
Hal ini menjadi pelajaran bagi segenapa elemen bangsa bahwa perbedaan keyakinan agama diantara kita tidak menjadi panghalang untuk bersama menjalin harmonisasi dalam melaksanakan pembangunan.Bahkan aktivitas relijius sepatutnya juga memiliki implikasi positif bagi tatanan sosial masyarakat bukan sekedar upaya propaganda jargon-jargon kosong semata bahkan malah berujung pada konflik atau bahkan kekerasan terhadap sesama.Walisongo dan para penyebar agama Islam pada masa lalu di Nusantara telah membuktikan bahwa ajaran Islam adalah rahmatan lil alamin dan dapat menjadi harapan dalam memperbaiki dan membangun masyarakat.
pak Sang kala : duluan mana islam atau budaya ada di tanah gowa?
apakah islam yang menyesuaikan atau budaya?
Kadang bagi beberapa orang membuat agama menjadi tameng, sehingga agama itu racun yang bisa meracuni otak kita menjadi rasis. Agama itu bukannya pembawa perdamaian melainkan pemecah belah.
Islam tidak kaku Pak Sang kala
Islam adalah agama yang mudah, tidak sukar dan tidak sempit, Allah SWT. berfirman: “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78)
Pak Sang Kala :
sy masih ingat pelajaran di Sekolah Dasar kalau ada Wali bahkan beliau ulama besar dia menggunakan wayang sebagai media menyebarkan ajaran islam.
Disamping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya,para wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan lakon islami.
dan skarang sudah menjadi tradisi. ini sama maksudnya dengan kata pak syarifuddin “Ulama dulu tidak menghilangkan tradisi lokal, tapi memadukannya dengan ajaran Islam yang baru datang. Termasuk dalam tradisi pasang ataupun paruntu kana yang menjadi cikal bakal dari Sinrilik ini,”
pak Sang kala :kalau bisa jangan menghakimi budaya dengan agama menjadi tameng karna sudah banyak budaya yang terkikis karena beberapa orang yang berpahaman kaku.
kenapa setiap qta melakukan ibadah di anjurkan berniat? menurut adikku yang skarang kelas 6 SD ” Qta berniat supaya kita tahu, apa, dan untuk siapa kita beibadah” lalu beranikah agamawan mengkafirkan seseorang jika niatnya semata-mata karena Allah taala