A Brief History of Desantara Foundation

admin | 6 - Apr - 2008

In 1997, Indonesia was hit by an economic crisis which was followed by a crisis of legitimation of the New Order regime. This crisis was marked by riots and student mass demonstrations in various places that eventually shaked the whole network of the New Order structure which was built upon political centralism and market economy. The authoritarian New Order regime reached its point of destruction with the development of civil society in Indonesia.

The Islamic groups, which was initially a passive power in the New Order structure, emerged as an important socio-political power. In the middle of mass demonstrations and reformation movement, Islam appeared in various modes of thought and political action. Desantara was born in the middle of this situation. Initially, Desantara was a discussion circle run by several young people that have various activities: NGO, researcher and newspaper writer in Jakarta. Desantara then became an official icon of the discussion activities that specifically wrestle with religious and cultural issues.

There are several reasons why the presence of the discussions about religious and cultural issues is important. First, for several years in Indonesia, the notion of religion and culture seems to be isolated from each other. If there are efforts to connect religion and culture, most of them are limited to make culture compatible with religion. Because most intellectuals and religious figures in Indonesia conceive religion as superior to culture. Second, the existence of cultural networks (cultural observers) are only limited to several places in Indonesia. Even in Jakarta, there are only a few groups that have an interest in cultural problems. Most of these networks are centralized in big cities and have a tendency to embrace an urban-biased cultural paradigm. These facts have a big impact on cultural thought and practices in Indonesia. One of them is the marginalization of the local cultural works and thought that are not covered by the mass media. This is why the debate on culture in Indonesia is not only about the authenticity of a nation with the name Indonesia (“who is the Indonesian?”), but also

The fall of the New Order reminded many people. The politically quiet and mute regions in Indonesia suddenly started to reject and criticize the authoritarian power of the New Order. Mass demonstrations and critical movements do not only happened in the big cities, but even in the small partitioned spaces in the pesantrens, anti-authoritarianism and militarism knowledge was started to be produced. In the pesantrens, for example, the traditional Moslems formed a network of religious figures and youth that promotes the ideas of democracy, pluralism and gender equality.

Desantara was born in the middle of that kind of community. Along with the increasing crisis and delegitimation of the New Order, Desantara developed as a network of civil society movement and thought that stemmed from the youth that wanted to realize democratic change in Indonesia. The traditional pesantren background and different educational background became a meeting point for them. The study circle of Desantara opened new debates on religious, cultural and gender equality issues, and their implications to the life of the rural grassroot community. For Desantara, cultural discourses should bring impact in the form of a more just and equal life in various fields of life. Therefore, cultural discourses have to become the voice of the voiceless, the marginal groups, and groups that have isolated themselves because of the loss of confidence in the face of the monolithic, oppressive, and unjust structure and cultural values.

Therefore, one of the concerns of Desantara community is the rural groups that have been suffering from total paralysis in the face of the urban-biased and centralist New Order policies. Because of New Order centralism, in which political and economic capital circulation and social transformation was concentrated in the cities, rural areas lost their vitality in all aspects of their life: social, economy, politics and culture. The agricultural, forest and fishermen life increasingly lost their chances to become the most important cultural sites.

Modernity should not be viewed as a process towards a more modern situation by merely referring to monolithic values. At this time, the plurality of religion, culture and individual self-identity is a fact that cannot be judged with binary opposition (right/wrong, good/bad, dark/light, etc.). The plurality of religion, culture, gender and other identities in society should be faced with more inclusive and transformative thought and action. This view is important to be socialized and planted as common values to achieve a more equal and just life.

Desantara’s Vision

The creation of a dominant inclusive knowledge (tolerant towards differences, not closing itself) and the upholding of the economic and social justice values.
Desantara’s Mission Until 2009:

1.    Strengthening Desantara institution to become a more accountable and healthy organization.
2.    Strengthening the network in local areas, which could be an epistemic group in their respective areas to guard Desantara’s vision.
3.    Campaigning Desantara’s vision through publication and audio visual.
4.    Encouraging and participating in other groups’ work networks in an effort to change any legal system which is problematic and against Desantara’s vision.

Desantara’s Institutional Structure

       Desantara has been an official institution registered with notary act since 2000. However, institutional changes and the founders of Desantara obliged this institution to register again these changes. In 2005, this institution was officially registered as a foundation under Decision Letter of the Ministry of Justice of the Republic of Indonesia Number: C – 336.HT.03.02 Year 2005 with the name Desantara Foundation.
 {/slide}Tahun 1997 bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi yang diikuti dengan krisis legitimasi pemerintahan Orde Baru. Krisis ini ditandai dengan berbagai kerusuhan sosial dan aksi mahasiswa di beberapa tempat, yang pada akhirnya mengguncang seluruh jaringan struktur Orde Baru yang ditopang oleh sentralisme politik dengan sistem ekonominya yang bermadzhab “neoliberal”. Rezim otoritarianisme Orde Baru ini mencapai titik balik dengan semakin tumbuhnya berbagai kekuatan civil society di Indonesia.
Kelompok Islam yang semula hanya menjadi label pasif dalam struktur Orde Baru kemudian muncul sebagai kekuatan politik dan sosial yang signifikan. Meskipun Islam muncul dalam berbagai lembaga dan gerakan sosial,   kelompok yang merupakan komunitas terbesar di Indonesia ini juga melahirkan sejumlah lapisan cerdik pandai dan aktivis sosial yang secara aktif menjadi lokomotif proses demokratisasi mengiiringi runtuhnya kekuasan Soeharto yang represif.  

Salah satu kekuatan Islam di Indonesia yang patut diperhitungkan sampai saat ini adalah lembaga pesantren. Di kalangan masyarakat arus bawah pesantren menjadi bagian penting yang tidak dapat dikesampingkan. Pesantren hingga saat ini telah sukses menjadi lembaga pendidikan paling populis yang memiliki jaringan lintas kelas dan etnis selama puluhan tahun. Bersamaan dengan lapisan kelas menengah dari kalangan pesantren yang mengenyam pendidikan tinggi, kelompok pesantren yang berserak di berbagai tempat di pedesaan ini turut meramaikan aksi gerakan masyarakat sipil. Kenyataan ini dapat dilihat, misalnya, dari semakin maraknya forum diskusi, kajian sosio-keagamaan, jaringan advokasi akar rumput, serta gerakan perempuan dari kalangan muda pesantren yang  juga memiliki basis pendidikan di universitas dan perguruan tinggi Islam.

Desantara lahir di tengah komunitas seperti ini.  Bersamaan dengan terus menguatnya krisis dan delegitimasi Orde Baru, Desantara terus tumbuh sebagai jaringan pemikiran dan gerakan civil society dari kalangan muda yang menginginkan terjadinya perubahan di Indonesia yang lebih demokratis.  Latar belakang pesantren tradisional dan minat studi di perguruan tinggi yang berbeda-beda merupakan simpul yang mempertemukannya.  Salah satu isu menarik yang terus diminati di forum ini adalah keinginan untuk mengembangkan wacana kebudayaan sebagai modal kutural yang lebih transformatif. Pesantren bersama dengan kekuatan-kekuatan arus bawah lainnya dibidik sebagai target yang diharapkan menjadi salah satu agen transformatif tersebut. 

Sebagaimana kita ketahui sebelumnya, kebijakan kebudayaan di masa Orde Baru menghasilkan sejumlah implikasi sosio-kultural  yang begitu besar di kalangan masyarakat akar rumput. Peristiwa 1965 dianggap sebagai titik balik orientasi kebudayaan yang menceraiberaikan berbagai kekuatan-kekuatan politik di masyarakat untuk kemudian dibawa ke dalam sistem Orde Baru yang mengakibatkan terjadinya floating mass. 

Desantara berminat ingin menyegarkan kembali pergulatan, kontestasi dan  dialog yang tumbuh subur sebagaimana pernah terjadi di masa sebelumnya.  Bagi Desantara sejarah yang terputus harus dirememorisasi dan direinvensi dengan semangat yang lebih aktual. Ini dilakukan dengan cara mengangkat dan memberi ruang kembali  kekuatan-kekuatan kebudayaan di masyarakat yang lebih otonom, inklusif, dan demokratis.   

Bidang pertama yang digeluti menjadi program berkelanjutan adalah pembentukan komunitas-komunitas epistemik di kalangan pesantren dan komunitas lokal (masyarakat adat) untuk menjembatani kesenjangan dan ketegangan pemikiran diantara mereka.  Terbentuknya komunitas ini seterusnya menjadi modal sosial bagi terus tumbuhnya pemikiran dan praktik kebudayaan yang lebih inklusif dan liberatif di massa rakyat.   Pesantren dan komunitas-komunitas lain di tingkat lokal perlu didorong agar memiliki kapasitas untuk berkiprah di ruang publik. Dalam konteks ini Desantara menfasilitasi terbentuknya ruang komunikasi yang partisipatoris sekaligus mendorong repositioning subyek yang transformatif di tengah himpitan struktur dan praktik  budaya yang melingkupinya.       

Maka dalam perkembangannya, jaringan dan komunitas Desantara di tingkat akar rumput menuntut tersedianya proses pendampingan yang lebih luas.  Bagi Desantara penyemaian gagasan keagamaan yang lebih inklusif dan transformatif berdampak pula kepada keharusan membangkitkan politik kewargaan yang lebih kritis di berbagai bidang.  Problem massa rakyat tidak dapat disempitkan semata kepada satu isu tunggal.

Karena, dalam pengalaman Desantara, kebudayaan ternyata tidak sebatas  representasi simbolik sebagaimana dalam kesenian dan ritual. Bagi Desantara kebudayaan meliputi berbagai proses interaksi antar manusia yang menghasilkan berbagai makna simbolik sebagai representasi dari beragam kepentingan untuk mendominasi, menghegemoni, mengintimadasi, mengeksklusi, dan juga kepentingan untuk membebaskan dan mencairkan beragam bentuk dominasi dan represi tersebut. Di tengah situasi seperti ini maka bagi Desantara kerja atau praktik kebudayaan itu setidaknya memiliki tiga hal:

  • Representasi proses emansipasi manusia untuk memperjuangkan serta menegakkan hak-hak dan martabatnya
  •  Representasi pluralitas dan kemajemukan suatu komunitas atau masyarakat; dan
  • Konsep holistik yang mencakup dimensi etik, estetik, dan progresif-evaluatif terbentuk oleh dan melalui interaksi antar sesama manusia dan antar berbagai aspek kehidupan.

Pandangan seperti ini mengimplikasikan suatu kebutuhan membangun gerakan sosial yang mampu menembus aspek-aspek ketimpangan sosial, politik, dan kebudayaan.  Maka demi memenuhi tuntutan perbaikan kelembagaan yang lebih profesional dan akuntable Yayasan ini menghadap Notaris Wiwik Asriwahyuni Santosa, SH. Untuk didaftarkan kembali pada tahun 2005 sebagai yayasan yang berada di bawah SK menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: C – 336.HT.03.02 Th 2000.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian