Kadam, Seniman Ludruk Harus Kreatif

admin | 13 - Mar - 2008

Perawakan tak terlalu tinggi. Rambutnya yang putih, menutupi sebagian kepala yang agak botak itu seolah memberi tanda sang seniman gaek asal Dusun Karangsuko, Kelurahan Tasikmadu, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang ini memang sudah tak muda lagi. Hanya suaranya yang kecil, tinggi dan kuat itu yang tersisa membangkitkan kenangan di masa kejayaannya dimana setiap penonton dibuat terpukau oleh gregelnya yang khas.

Ya, Kadam (68 tahun) adalah pemilik gleger atau suara cengkok yang meliuk tinggi di ujung lirik kidung yang dinyanyikannya. Berkat kemampuan yang dahsyat itu dirinya dikenal sebagai tandhak ludruk yang kerap mengundang decak kagum dan tepuk meriah penonton. “Kata orang gregel saya itu masih murni, seperti emas, ya tidak dicampuri besi, apalagi kuningan,” ujar pria pemilik nama asli Radi ini.

Jangankan penonton biasa, Soekarno yang mantan presiden pertama RI saja dibuat terkagum-kagum oleh liukan kidung sang tandhak ini. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1960-an saat dirinya masih bergabung dalam group ludruk “Marhaen”, dan ludruk kala itu menjadi salah satu kesenian rakyat yang tak pernah sepi penonton.

“Rupanya Pak Karno langsung keki, kok ada ya anak masih muda yang bisa ngidung seperti itu,” kenang Kadam yang kala itu baru berumur 18 tahun. Ia mengakui kelebihannya terletak pada gregel yang ia miliki dan sejak saat itu pula ia sering diundang ke Istana. Bahkan terhitung sekitar 16 kali ia tampil di Istana, salah satunya manggung di Istana Tampak Siring dan Istana Bogor.

Tetapi di atas semua, kunci utamanya adalah kepercayaan diri. “Langsung enak gitu saja, wong bapak (Sukarno-red.) kan tidak mengerti ludruk, saya itu kan gitu pokoknya waktu pentas yang nonton itu saya anggap tidak mengerti ludruk,” katanya, sambil menyebut banyak personel ludruk “Marhaen” yang masih sangat rikuh tampil di depan Bung Karno.

“Sebagai seniman daerah saya rasa itu sudah cukup,” kata Kadam yang menuturkan sempat bergabung dengan dengan sejumlah group ludruk di Jawa Timur ini mengaku puas. Sebagai seorang seniman yang hidup pas-pasan, Kadam sebelumnya memang pernah malang melintang bersama Ludruk “Warna-Warni Nusantara” Malang dan “Sari Rukun” di Jombang. Baru setelah pecah huru-hara G 30 S 1965, ia terpaksa keluar dari “Marhaen” dan bergabung bersama group “Wijaya Kusuma” Surabaya dan terakhir di group “Persada Malang”.

Meski kini usianya sudah tua dan ludruk sudah tak seramai dulu yang kerap tampil di berbagai acara, Kadam belum benar-benar berhenti bermain ludruk. Sambil bekerja memotong dan menjual jahitan pesanan orang di rumahnya, katanya ada saja group ludruk yang memakai jasanya untuk mentas. Belakangan ini misalnya, ludruk “Tonil Baru” Malang mengajak pentas di TMII Jakarta, tepatnya pertangahan 2006 lalu.

Pertunjukan ludruk yang belakangan ini makin jarang dan sepi penonton, menurut Kadam, adalah hasil perubahan jaman. Banyak kesenian selain ludruk seperti wayang kulit yang masih menggunakan Jawa Kromo Inggil, lanjutnya, akan tergilas. Ini lantaran bahasa Indonesia bahkan bahasa Inggris lebih disukai dan menjadi bahasa praktek sehari-hari masyarakat generasi sekarang.

Untuk bisa bertahan dari badai kepunahan, ludruk harus kreatif. Hal itu, kata Kadam, satu-satunya yang bisa menolong seperti ludruk-ludruk di Mojokerto dan Jombang. Selain karena dukungan kondisi sosio-kultural dan geografis, grup-grup ludruk tersebut terus melakukan inovasi kreatif. Kreativitas yang dimaksudkan Kadam adalah kemampuan sutradara untuk menampilkan hal baru dan menarik dalam bingkai ceritanya. Dan yang tak kalah penting adalah peremajaan. “Kalau ini tidak dilakukan, penonton akan jemu dan bosan,” tandasnya.

Selain itu ia juga menyarankan agar sebuah grup ludruk berhati-hati dalam mengelola keuangan. Manajemen keuangan mesti dikelola secara transparan agar kelompok ludruk tersebut bisa maju dan menghidupi para anggotanya. “Dapat duit berapa saja, semua seniman harus tahu,” tegas Kadam mengingatkan, meski dirinya sebenarnya juga mengakui pengelolaan semacam itu makin sulit karena mayoritas ludruk belakangan ini dikelola dengan sistem juraganan.

“Kalau di juragan kan nggak transparan, juragan kan sak maunya sendiri apalagi kalau orangnya sendiri, itu seperti tidak ada harganya,” kata Kadam.

Bayaran seniman ludruk memang tak terlalu besar. Rata-rata honor dalam satu kali pentas berkisar antara 75 ribu sampai 150 ribu, jumlah yang amat kecil untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal bagi seniman itu tidak ada kepastian berapa kali mereka akan manggung setiap bulannya. Apalagi kini makin sedikit saja orang yang mengundang kesenian ludruk dalam hajatan keluarga karena dinilai relatif lebih mahal ketimbang jenis kesenian lain.
Tapi bagi Kadam, kenyataan itu tak perlu disesali. “Memang gitulah, ya jangan ngresulo ora payu ya memang jamannya seperti ini,” tutur Kadam. Di sudut matanya tetap saja ia nampak tak bisa menyembunyikan keprihatinannya. Kini ludruk sudah turun kualitas, turun harga, turun segalanya.


Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar