Benturan

admin | 19 - Mar - 2008

Ada yang menarik disimak dalam kasus perundingan RI-GAM di Helsinki. Gerakan Aceh Merdeka rupanya tidak perlu ngotot lepas dari Indonesia untuk menjadikan Aceh Merdeka. Tuntutan kemerdekaan rupanya sudah cukup jika ide “pemerintahan sendiri” dipenuhi. Perjuangan self determination dari GAM kini tidak lagi harus mendobrak tembok NKRI, lalu menuntut pemisahan diri (secessionist). Sembari berada dalam lingkup negara Indonesia, Aceh tak harus menanggalkan semangat kebangsaannya yang khas, dan memiliki otonomi mengurus dirinya sendiri, begitu kira-kira tuntutan GAM.

Soalnya, bagaimana rumusan “pemerintahan sendiri” di Aceh kelak agar tidak menjadi konflik baru dengan kubu RI? Jelas, ini bukan pekerjaan mudah.

Sampai hari ini, ideologi NKRI masih melihat jangkar politik pusat sebagai sosok “yang maha menguasai” rakyat Indonesia. Nyaris seluruh praktik hidup kita berbangsa tak lepas dari dominasi dan hegemoni pusat ini. Atribut keindonesiaan kita tak hanya lekat dalam urusan administratif kewarganegaraan (citizenship), tapi juga asal-usul kebangsaan, keagamaan, kesukuan—semua harus berada dalam subordinasi pusat.Padahal, bukankah Aceh sampai hari ini juga masih merasa sebagai entitas bangsa? Timor Timur sebelum memisah dari RI, Papua, dan juga sebagian rakyat Riau dengan Riau Merdeka-nya, dalam banyak hal adalah gema sebuah bangsa. Ini belum termasuk agama dan etnis-etnis lokal yang mungkin klaimnya bisa jadi serupa. Karena dalam banyak hal, etnik dan bangsa seperti dua mata uang dari koin yang sama.Sayang, suara-suara lokal ini tergerus oleh politik nation-state, yang atas nama nasionalisme, terjadi homogenisasi segala bidang. Bertolak dari mitos Sumpah Pemuda 1928, narasi keindonesiaan sampai hari ini masih meyakini betapa penting kemanunggalan negara dan bangsa (juga bahasa). Hubungan-hubungan ini lalu dirumuskan ke dalam teori integralistik, yang oleh Marsilam Simanjuntak justru dianggap menyimpan ideologi Chauvinisme yang akut.Orde Baru menjadi bukti paling otentik atas praktik teori ini, betapa negara begitu alergi dengan kolektivisme kesukuan, keagamaan, dan apalagi kebangsaan yang dianggap tidak sesuai dengan semangat persatuan. Kebijakan Darah Operasi Militer (DOM) di Aceh, Timor Timur, Papua, dan penggerusan budaya-budaya lokal oleh proyek nasional adalah korban-korban politik Orde Baru yang paling spektakuler.

Kemajuan di GAM juga perlu terjadi di kubu RI. Kita mesti sadar, kegagalan nation state di banyak negara mulai dipertanyakan. Self determination ternyata masih terus ditagih oleh bangsa dan kelompok minoritas yang hidupnya masih papa oleh kesewenangan pihak-pihak yang mengatasnamakan,”kepentingan/integrasi nasional”, “budaya nasional”, dan segala proyek nasional yang serba absurd lainnya.Di tengah rimba modernitas yang serba ingin menyamaratakan gaya hidup, selera, identitas, toh pendulum glokal(isme) tak mudah ditepis oleh arus penyeragaman itu. Bukan saja Timor-Timur dulu, Papua, Aceh, yang kini tampak artikulatif. Kekenyalan komunalitas yang memayungi etnic Wana di Sulteng, agama Bayan di NTB, Parmalim di Sumut, Sedulur Sikep di Pati, Towani-Tolotan dan Amatoa-Kajang di Sulsel, adalah arus liyan yang kerap menampakkan sikap anti-modernitas.Jika kita gagal mengapresiasi semua kekayaan budaya bangsa itu, mungkin semua itu kelak bisa menjadi ancaman.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar