Agama Para Raja
admin | 8 - Mar - 2008Ungkapan terkenal “sejarah adalah kisah para raja” ternyata bermakna sangat luas, Tidak hanya mengenai kehebatan pribadi, jejak-langkah sosial dan politik yang di kembangkannya, tetapi juga menyangkut kepastian keberagamaan. Kapan suatu kaum mulai memeluk agama tertentu, hampir pasti ditambatkan sejak kapan pula sang rajanya secara resmi menerima dan memeluk agama yang bersangkutan. Begitu pula mengenai paham keagamaan yang dianut; hampir pasti bahwa jika paham yang dianut oleh suatu komunitas tertentu berbeda dengan yang dianut para raja menjadi tertutup atau dianggap sempalan, penyimpangan, dan tidak resmi.
Ketika kita hendak menyebut sejak kapan orang di Jawa memeluk Islam, sudah pasti akan kembali pada bagaimana para sunan mengokohkan dan mengkristalisasi keislaman di tanah Jawa, bahkan tidak sedikit yang kemudian merujuk masa Demak sebagai titik pangkal. Demikian pula ketika akan memastikan paham apa yang dianut, pastilah hanya melihat apa yang dikembangkan oleh para wali. Sama persis ketika kita akan melongok sejak kapan orang Bugis-Makassar memeluk Islam, pasti hanya merujuk masa ketika para raja (Goa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu) secara resmi menyatakan keislamannya. Keislaman sejumlah komunitas di pesisir yang sangat mungkin bermula sebelum itu sebagai akibat interaksinya dengan para pelaut atau pedagang sama sekali tak diperhitungkan.
Pepatah Arab berbunyi Dinu ar-raiyat ala dini mulukihim, agama rakyat (harus) mengikuti agama raja mereka, tampaknya mejadi kepastian. Beberapa penulis mengartikan pepatah itu sebagai barometer untuk melihat, mengamati, dan menjelaskan bahwa apa yang dianut dan diyakini oleh para raja dan sultan hampir pasti menjadi anutan dan keyakinan rakyat dalam rengkuhan kekuasaan politiknya.
Tetapi banyak pula yang memaknainya sebagai ungkapan politis para penguasa dan kaum terpelajar pendukungnya untuk membangun dan memperkuat legitimasi pemaksaan beragama sesuai dengan yang dianut dan diyakini mereka. Bukankah mereka (para khalifah, sultan, dan para raja) dalam sepanjang sejarah Islam hampir selalu berkecenderungan yang sama: memaksakan pilihan agama mereka kepada rakyat yang dikuasai. Asumsi bahwa jika sang raja adalah penganut sunni, maka rakyatnya pun harus menganut paham itu, dan mereka yang tidak menganutnya akan terpojok dan tersingkir hampir mencapai kebenarannya yang sempurna.
Kecenderungan semacam itu ternyata tidak saja terjadi dalam bentuk pemaksaan dalam arti harfiah, konkrit, berupa perilaku represif, diskriminasi, dan subordinasi, melainkan juga dalam bentuk pemaksaan kognitif-imajinatif terutama bagi generasi yang lebih kemudian. Ini terjadi karena apa yang kita kenal sebagai sejarah, narasi besar, adalah sesuatu yang dibuat dan diproduksi oleh dan hanya untuk (membesarkan) para penguasa. Sebaliknya, apa yang dianut dan diyakini oleh orang-orang kecil di luar kekuasaan politik bukan saja tidak dicatat dan dihitung, tetapi bahkan harus disesuaikan dengan narasi besar, dengan sejarah para raja.
Sejarah, dan dengan semikian agama, memang benar-benar dimonopoli para raja, maenstreim, dan para penguasa politik dan kultural. Desantara / BE
Tweet
« Sekolah Multikultural Desantara (Angkatan 2008)
Tulisan sesudahnya:
Dari Kemiren ke Hollywood »
Pencarian
Kategori Esai ID
- Matinya Erau dari Tradisi ke Politisasi Etnik
- Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013
- Islam Kutai dan Persinggungan Politik
- “Menciptakan Seni Alternatif bagi Masyarakat”
- Paraben andi’ ana’, Belenjer andi’ Lake (Perawan Punya Anak, Janda Punya Suami): Kritik Sosial Perempuan Seni Madura terhadap Santri Coret
- Tanah dan Pergeseran Kosmologi Dayak Kenyah
- Prahara Budaya: Refleksi Peradaban Manusia Dayak
- Memahami Klaim Kebenaran Agama: Suatu Refleksi Filosofis
- Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, Kutai Kartanegara
- Komunitas Nyerakat : Geliat di Tengah Gempuran Arus Modernitas
- Bisnis Perizinan Kuasa Pertambangan dan Geliat Pilkada Kota Samarinda
- Perempuan Kampung Pamanah di Industri Tenun Sarung Samarinda
- Pesantren Tegalrejo: Lautan di Lereng Merbabu
- Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai
- Wajah Lain Dari Tegalrejo
Random Post
- “Komunitas Adat” di Banyuwangi(0)
- Pelanggaran HAM, Hinduisasi Tolotang(3)
- Dayak Kenyah bag. 1(0)
- Video Komunitas dan Pelatihan Menulis Multikultural(0)
- Kadam, Seniman Ludruk Harus Kreatif(0)
- Kejahatan Hukum terhadap Masyarakat (Catatan dari FGD RKUHP di Makassar)(0)
- Dari Kemiren ke Hollywood(0)
- Aksi Massa Tolak Pabrik Semen di Pati Terus Berlanjut(0)
- Politik ‘Pangestu’ dalam Perilaku Elite Modal dan Lestarinya Piramida Sosial Sisa Warisan Kolonial(0)
- Yang Beda Yang Dibungkam(0)
- Srinthil edisi 23: Perempuan petani mengelola perubahan(0)
- Dari Tanah Gayo, Membaca Narasi Lain Aceh(0)
- Srinthil Edisi 19: Gerak sosial perempuan miskin kota(0)
- Dialog Perempuan Adat, Agama, dan Kepercayaan Menghapus Diskriminasi(0)
- Melawan Lupa(0)