Perencanaan Anggaran kita Abai terhadap Kesenian
admin | 3 - Mar - 2008Khudri Arsyad, Koordinator Forum Informasi dan Komunikasi NGO, Sulsel
Desantara : Bagaimana penyusunan dan pembahasan APBD tahun ini?
Khudri : Penyusunan anggaran di DPRD lebih banyak diwarnai oleh rasionalisasi untuk kepentingan anggaran berulang, seperti gaji pegawai, pengadaan sarana kantor dan hal-hal berkaitan dengan pembangunan fisik. Perdebatannya tidak mengarahkan pada apa sebenarnya yang dibutuhkan rakyat. Selain itu proses perencanaannya tidak berangkat dari basis masalah, melainkan dari prioritas program. Sementara anda tahu agenda prioritas sudah ditentukan dari atas.
Desantara : Sejauhmana porsi sektor kesenian dan kebudayaan memperoleh perhatian dalam perbincangan APBD?
Khudri : Selama ini yang saya amati, proses penentuan anggaran lebih banyak mengarah kepada pembangunan fisik. Padahal RPJMD (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah) propinsi jelas ada hal yang berkaitan dengan seni dan budaya. Namun pada saat penetapan rancangan anggaran sektor semacam ini tak diperhitungkan sama sekali.
Desantara : Kenapa begitu, bisa Anda jelaskan?
Khudri : Pemerintah Sulawesi Selatan tidak menganggap persoalan kebudayaan dan kesenian sebagai sesuatu yang penting. Ini berkaitan dengan cara pandang mereka yang melihat penting-tidaknya sesuatu hanya dari sisi ekonomi. Misalnya, dilihat dari PAD-nya, sektor kesenian dan kebudayaan hanya menyedot pendapatan daerah sebesar 200 juta saja.
Desantara : Berapa sebenarnya besar anggaran untuk sektor kebudayaan jika dibandingkan dengan besaran di sektor lain?
Khudri : Untuk anggaran tahun 2007 jumlahnya hanya 15.058.557.030. Bandingkan dengan PU yang lebih dari 155 milyar. Anda jangan terjebak dengan angka 15 milyar lebih itu, karena anggaran tersebut sebagian besar dialokasikan untuk gaji dan honor pegawai, sisanya untuk pembangunan dan perawatan gedung kesenian atau acara-acara seremonial lainnya. Jadi jangan pernah berharap dari sekian anggaran itu bisa sampai ke para seniman di daerah. Kalaupun ada seniman yang merasakan hanyalah mereka yang selama ini merepresentasikan dirinya sebagai seniman, yang dekat dengan kekuasaan. Anggaran yang diserap oleh kelompok-kelompok ini ujung-ujungnya digunakan untuk membangun konstituen. Jadi mereka me-lobby bagian anggaran kesenian bukan untuk kepentingan seni dan budaya, tapi untuk kepentingan politik mereka sendiri.
Desantara : Bagaimana keterlibatan seniman sendiri dalam perencanaan anggaran?
Khudri : Ya… kalangan seniman sama sekali tidak pernah dilibatkan. Mereka yang terlibat adalah orang-orang yang selama ini mengaku seniman dan merepresentasikan seniman yang kini duduk di dewan. Proses pengaturan anggaran juga lebih mementingkan prosedur formal tanpa melihat dan mendengarkan aspirasi masyarakat lokal atau para seniman.
Desantara : Bagaimana mekanisme Musrembang (Musyawarah Rencana pembangunan) selama ini, bukankah partisipasi masyarakat (seniman) ditingkat desa bisa dioptimalkan?
Khudri : Susah, karena Musrembang biasanya digiring untuk meminta dana pembangunan fisik, bukan yang berkaitan dengan masalah budaya dan seni. Masyarakat sendiri sebenarnya sudah terjebak dengan merancang pembangunan fisik seperti ini, seperti pembangunan jalan, jembatan, pagar dan lain-lain. Soal-soal yang berkaitan dengan seni dan budaya sama sekali tak disinggung. Rupanya ini disengaja … ini sudah jadi rancangan dari politik anggaran kita.
Desantara : Bila demikian apa yang mesti dilakukan para seniman?
Khudri : Para seniman harus didorong agar terlibat dalam perencanaan. Dalam Musrembang, mereka tidak hanya menunggu tapi harus pro-aktif. Misalnya ikut melihat Renstra (Rencana Strategis) dan rencana kerja Pariwisata. Karena selama ini Renstra lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan instansi, bukan kepentingan kebudayaan dan kesenian itu sendiri.
Desantara : Untuk pemerintah?
Khudri : Jika pemerintah hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata, maka seni dan kebudayaan pasti juga akan dilihat dalam konteks kepentingan ekonomi semata. Menurut saya paradigma ini keliru, sebab kesenian dan kebudayaan sesungguhnya adalah modal dasar dan modal sosial bangsa kita. Jadi sektor kesenian dan kebudayaan tidak semestinya hanya diorientasikan untuk peningkatan PAD, sebab ada yang lebih subtansial dari itu. Desantara
Tweet
« Paradigma Budaya dan Politik Anggaran Kita
Tulisan sesudahnya:
Nasyid, Arabisasi dan Identitas Puritan Islam »
Pencarian
Kategori Berita ID
- Komunitas Lokal, Krisis Ekologis dan Budaya : Sebuah Diskusi Awal
- Bermufakat Melawan Perusak Lingkungan
- LP USU – Desantara Foundation gelar diskusi buku
- Dakwah Membawa Amarah
- Pelatihan Fotografi dalam Perspektif Multikultural
- Kami Ingin Hidup Berdampingan: Kabar dari Ahmadiyah Makassar
- Kronologis Penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik, Banten
- LOWONGAN PEKERJAAN: Staf Keuangan
- Susahnya Menjaga Kewarasan di Negeri ini
- Anarkisme Pembangunan di Atas Situs Benteng Somba Opu Makassar
- Sedulur Sikep, Sedulur (Saudara) yang sering disalahtafsirkan
- Seni dan Gerakan Sosial
- Problematika dan Siasat Ekonomi Perempuan Porong
- Penulis buku Bencana Industri merasakan adanya intimidasi
- Diskusi Tentang Film Perempuan Multikultural
Random Post
- Cikoang bagian 3(0)
- Komunitas Karampuang: Bertahan Mengawal Tradisi(0)
- Tak Perlu Negara?(0)
- Upacara ritual Arajang di Komunitas Bissu(0)
- Hak-hak Perempuan dalam Nikah Muta’h(0)
- Ada Apa Dengan RUU Kerukunan Umat Beragama?(0)
- Deport 10 ed. Indonesia : Teror Massa(0)
- Srinthil edisi 23: Perempuan petani mengelola perubahan(0)
- Politik Ruang(0)
- Upacara Seren Taon di Cigugur(0)
- Hikayat Si Baik melawan Si Jahat(2)
- Majalah Desantara Edisi 14/Tahun V/2005 : Beragam Agama, Satu Budaya(0)
- Perempuan Kampung Pamanah di Industri Tenun Sarung Samarinda(0)
- Islam Khalwatiyah bag. 3(0)
- Selasa Nestapa Di Desa Manis Lor(0)