Kiai Nyeni

admin | 3 - Mar - 2008

Low profile, ora ngawaki (Jawa), dan sederhana dalam performance ukuran kiai pesantren waktu itu, apalagi sekarang yang rata-rata bermobil menengah ke atas, bersarung sutra, dan berhape komunikator. Kiai Muizzuzaman sangat dikenal, bukan hanya oleh santri-santrinya yang memang berinteraksi setiap hari tetapi juga oleh warga masyarakat sekitar pesantren. Petani, pedagang, buruh, penganggur, pamong desa, guru sekolah, guru ngaji, imam masjid dan langgar, pengurus partai dan ormas, seniman jaranan, ronggeng/ledhek, pelacur, hingga ibu-ibu rumah tangga merasa kenal dekat dengan kiai ini.

Terutama ketika wayang kulit digelar di sekitar pesantren, hampir pasti kiai itu duduk menikmati hingga menjelang subuh. Empat-lima santrinya duduk di kiri-kanan dan belakangnya sambil sesekali membuatkan kopi dari air teremos yang sengaja di persiapkan dari rumah kiai. Baginya, minum kopi dan merokok adalah ‘sahabat’ yang paling dekat dalam hidupnya. Ia sering mensitir pandangan Kiai Ihsan Jampes, Kediri, ketika ditanya bagaimana hukumnya merokok. Kiai Ihsan yang sering dirujuk Gus Dur itu memang menulis buku Ayuhal ihkwan: fi ahkam al-qohwah wa ad-dukhan (Hai kawan: tentang hukumnya minum kopi dan merokok).

Menonton wayang sembari menikmati kopi dan rokok sekaligus ‘berjamaah’ dengan khalayak pedesaan, baginya, jauh lebih penting ketimbang berhura-hura di panggung politik. Dari pemilu ke pemilu sepanjang Orde Baru dan sesudahnya, ia tak pernah meyakinkan santri akan keistimewaan partai tertentu, apalagi menganjurkannya untuk memilih. Berkali-kali ia menyatakan bahwa partai politik tak ubahnya seperti permainan anak-anak di bulan purnama yang selesai tak berbekas ketika permainan itu usai. Menurutnya, berpartai sama sekali tak ada kaitannya dengan kemaslahatan bersama, apalagi kebahagiaan dunia-akherat.

Suatu malam, tak lama usai mengaji (membacakan) Shaheh Muslim kepada sejumlah santrinya, ia tampak terlibat dalam perbincangan ala desa di sebuah warung kopi kampung sebelah pesantren. Belasan penduduk yang memang setiap hari nongkrong di warung itu tampak berbincang santai dan nyaris tanpa jarak. Sesekali Kiai Muiz menyajikan banyolan membuat mereka tertawa. Bajuri, pemilik warung itu, bercerita: “walaupun tidak setiap hari, pak kiai itu sering ke sini, ngrobrol dengan orang-orang”. Dan apapun yang diobrolkan, Bajuri mengatakan, Kiai Muiz selalu bisa meladeninya.

Tidak seperti saat dikabari bahwa beberapa alumninya berhasil menjadi pejabat birokrasi, tokoh partai atau ormas yang disambut dingin, Kiai Muiz justru senang dan berbangga kala alumninya menjadi kiai yang istiqamah di daerahnya. Sesenang ketika ia mendengar beberapa alumninya di Jawa Timur menjadi pemimpin konco reyog, juragan dangdut, pemimpin grup kasidah. Kiai Muiz juga tersenyum cerah saat diberitahu bahwa salah seorang muridnya yang berhasil mendirikan pesantren di ujung timur Jawa Timur selalu mengundang kendhang kempul (sempalan dari gandrung) untuk memeriahkan haflah-haflah rutin di pesantrennya.

Kiai Muiz sendiri lebih suka, dan memang demikian kenyataannya, memeriahkan haflah-haflah seperti ritual akhirussanah bahkan khaul dengan menggelar berbagai kesenian. Mengapa tidak diisi dengan pengajian seperti halnya di pesantren lain? Kiai yang kini sudah almarhum itu hanya mengatakan: “pesantren itu kan tempat orang mengaji. Setiap hari santri membaca Shaheh Bukhari, Shaheh Muslim, Fathul Wahab, Ihya Ulumiddin, dan kitab-kitab kecil lain. Mengapa perayaan haflah harus selalu pengajian?”

Pengajian dan gelar seni memang berbeda. Dan bagi Kiai Muiz, gelar seni juga punya arti penting, selain tentu saja mengaji yang telah menjadi rutinitas sehari-hari. Desantara



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian