Gelar Seni dan Kritik Sosial
admin | 4 - Mar - 2008Di tengah meluasnya pertanyaan dan diskusi tentang peran seni pertunjukan, serangkaian gelar seni oleh Gebrak Lapindo dua minggu lalu terasa sangat menarik. Bukan hanya karena disaksikan oleh banyak orang secara khusyu’ dan bukan pula karena lawakan-lawakan jenaka yang membuat audiens terkekeh, tetapi hampir semua pergelaran saat itu begitu terkesan menyentuh problem kehidupan yang paling riil. Baik ketoprak dari Kediri dan ludruk dari Malang, misalnya, melalui lawakan dan cerita yang dilakonkan terkesan membumi di problem kehidupan warga (pengungsi) Pasar Baru Porong yang terlunta akibat ulah Lapindo Inc. memuntahkan lumpur. Pementasan kedua seni pertunjukan itu mengingatkan kita pada satire yang dahulu pernah melekat pada kebanyakan seni pertunjukan rakyat di negeri ini.
Ludruk sebelum peristiwa 65, demikian simpul James L. Peacock, mampu berperan sebagai pendorong, agen atau mediator perubahan massa rakyat Jawa Timur dari komunal mulai beringsut ke arah ekstra kampung yang heterogen dan rasional-spesifik. Ketoprak yang biasanya menyajikan kisah-kisah pakem keraton, seperti diungkap Budi Susanto, ternyata memperlihatkan kemampuan membalik aras pemikiran dan imajinasi elite ketika hendak mencari penyelesaian soal pembunuhan Udin di Bantul dengan membuang berkas di laut selatan. Demikian pula reyog Ponorogo yang seluruhnya tampil secara simbolik, semula diciptakan untuk melakukan kritik (satire) terhadap kebijakan Prabu Brawijaya terakhir yang dianggap tidak adil.
Tetapi, sebagaimana dirisaukan sejumlah pemerhati kesenian, potensi dan kemampuan itu memudar bersamaan putaran kebijakan kebudayaan di negeri ini (pasca 65) yang tidak lagi toleran terhadap kebebasan ekspresi berkesenian. Seni pertunjukan menjadi hanya sebuah tontonan yang menghibur dan seringkali tanpa menyentuh problem-problem kehidupan warga yang paling konkret. Bahkan, seperti diperlihatkan banyak kasus, diarahkan menjadi seni untuk seni yang bertumpu pada estetika eksternal (modern) dan moralitas eksklusif yang dibayangkan. Salah satu implikasi serius dari itu berkesenian menjadi serangkaian olah keterampilan yang murni fisik dan tanpa akar kultural.
Ada memang ekspresi seni pertunjukan yang kritis terhadap keadaan. Misalnya, Bengkel Teater, Teater Koma, dan Teater Gandrik yang hampir selalu menyajikan pertunjukan dalam konteks problem sosial politik, ekonomi, dan budaya. Akan tetapi, karena pementasan teater-teater tersebut selalu bergantung pada sponsor dan tersaji dalam gedung-gedung di kota, kritik keadaan itu hanya diakses oleh segelintir orang apalagi pementasannya terbilang tidak kontinyu (temporer). Sehingga pengaruhnya pun terhadap perubahan agak sulit dibayangkan, kecuali pada percakapan liar sesaat setelah pertunjukan itu usai.
Secercah harapan muncul saat-saat menyaksikan pertunjukan di Pasar Baru Porong tersebut. Totok, pemimpin ludruk yang pentas saat itu, sangat tertarik mengadopsi sajak-sajak liris Acep Zamzamnoer (dibacakan di akhir pagelaran) yang secara transparan mengajukan kritik untuk ditransformasi menjadi kidungan. Tampak ia bersemangat untuk mereaktualisasi ludruk dalam kehidupan yang paling konkret, problem-problem sosial kemanusiaan.
Seni memang tidak hanya untuk seni. Sebagai sebuah ekspresi – dan artikulasi – ia merupakan bagian tak terpisah dari kehidupan. Jika terjemahan kehidupan kini adalah serangkaian problem yang menggayut terutama warga kebanyakan (wong cilik), maka aktualisasi seni pertunjukan untuk kritik sosial menjadi keniscayaan. Kita songsong pentas-pentas seni pertunjukan yang aktual-kontekstual sehingga bermanfaat bagi kehidupan. Desantara
Tweet
« Dg Naba, Sang Maskot Gandrang Bulo
Tulisan sesudahnya:
Gerakan Kebudayaan di Pasar Baru Porong »
Pencarian
Kategori Esai ID
- Matinya Erau dari Tradisi ke Politisasi Etnik
- Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013
- Islam Kutai dan Persinggungan Politik
- “Menciptakan Seni Alternatif bagi Masyarakat”
- Paraben andi’ ana’, Belenjer andi’ Lake (Perawan Punya Anak, Janda Punya Suami): Kritik Sosial Perempuan Seni Madura terhadap Santri Coret
- Tanah dan Pergeseran Kosmologi Dayak Kenyah
- Prahara Budaya: Refleksi Peradaban Manusia Dayak
- Memahami Klaim Kebenaran Agama: Suatu Refleksi Filosofis
- Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, Kutai Kartanegara
- Komunitas Nyerakat : Geliat di Tengah Gempuran Arus Modernitas
- Bisnis Perizinan Kuasa Pertambangan dan Geliat Pilkada Kota Samarinda
- Perempuan Kampung Pamanah di Industri Tenun Sarung Samarinda
- Pesantren Tegalrejo: Lautan di Lereng Merbabu
- Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai
- Wajah Lain Dari Tegalrejo
Random Post
- Senimanku Sayang, Senimanku Malang(0)
- Menjadi Diri Sendiri(0)
- Kronologi Kasus Dayak Losarang(0)
- Deport 2 ed. Indonesia(0)
- Srinthil 15 : Jejak Negosiasi Perempuan Aceh(1)
- Dedi: Apa Sih Maunya Negara?(0)
- Menyingkap Selaput-selaput Buram: Dilema Kesenian Tradisi(0)
- Dayak dalam Imajinasi Politik Elit(0)
- Menyoal Perda Kerukunan Umat Bergama di Sumatera Barat(0)
- Ritual Botor Buyang: Pertaruhan Makna dan Paradoks Kebijakan(0)
- A Brief History of Desantara Foundation(0)
- Mitos Sinrilik dan Narasi Kolonial(0)
- Test tennese Flood(0)
- Jaker PAKB2 Hearing dengan Komis III DPR RI(0)
- Pemda Kuningan: Kami Mengakui Ada Diskriminasi Agama(1)