Mama..Makannya di McDonald?s, Ya!!!
admin | 5 - Mar - 2008Seorang kawan yang dikenal sebagai aktivis selalu meluangkan waktu mengunjungi McDonal’s. Parodoks: aktivis kok bertamu ke rumah Kapitalis, menyantap hidangannya lalu keluar sambil menenteng dengan bangga kantong plastik ber-merk McDonal’s laksana pangeran menggandeng permaisuri. Tentu ada alasan yang melatarinya, bukan? “Ini pesoalan performance dan lifestyle,” katanya diselingi tawa.
Boleh jadi jawaban kawan kita itu benar: bahwa McDonal’s tidak sekedar makanan yang mengenyangkan perut, tapi juga menorehkan image dan citra dalam diri korbannya: lebih modern, lebih gagah, lebih terhormat dan sejuta angan kelebihan lainnya. Hebatnya, citra yang ke-wah-an tidak hanya menghipnotis remaja atau orang tua, tapi juga anak-anak kecil. Subhan, anak bungsu saudara saya yang tinggal di Jakarta yang berusia 6 tahun, merengek-rengek di depan ibunya. Pasalnya, ia ingin acara ultah-nya diadakan di Mcdonal’s. Dari mana Subhan punya pikiran seperti itu? Ternyata beberapa teman sekolahnya di TK sudah biasa merayakan ul-tah di ruamah makan seperti itu.
Saya ingin mencantumkan lagi satu kenyataan bahwa McDonal’s menguasai semua orang tanpa memandang kelas, ras, usia. Anggia, anak jalanan yang sering mangkal di Pasar Jum’at Lebak bulus, sudah terbiasa membelanjakan hasil ngamen dan ngemisnya di McDonal’s. Lifestyle seperti apa yang diingiunkan oleh Anggia? Lagi-lagi, McDonal’s menjadi prestise di antara komunitasnya: ini bukti bahwa saya lebih hebat dari kalian dalam mencari uang.
Sekali lagi, McDonal’s bukan sekedar persoalan perut, tapi jua ideologis: Amerikanisasi. Dalam persoalan ideologis, ada jaring kuasa yang sedang ditebar. Jaring kuasa ini, menurut Foucalt, tidak melulu harus difahami dan dimaknai sebagai sesuatu yang refresif. Dalam fenomena diatas, jaring kuasa mengambil bentuk mengenakkan, nikmat, bahkan melahirkan kebanggaan: menindas tapi tidak seperti menindas. Buktinya, ketika McDonal’s dibuka pertama kali di Sarinah, Jakarta, sekeitar lima tahun yang lalu, Bambang N. Rachmadi, bos McDonal’s Indonesia, saat itu sampai tidak tahu jam berapa restorannya harus tutup [Bre Redana, 2002].
Kinerja kuasa yang mengenakan melalui produk makanan ini mengingatkan saya pada Abu Hurairah, sahabat Nabi yang disebut oleh Mahmud Rayyah sebagai Syeikh Al-Mudhirrah. Mudhirrah adalah sejenis makanan favorit dan kesukaan Mu’awiyyah, seorang raja dinasti Umayyah. Konon, jika seseorang mencicipi makanan itu, serta merta akan mendukung dan menjadi budak Mu’awiyyah. Di antara sahabat yang pernah menikmati makanan itu adalah Abu Hurairah. Sehingga, melalui lisannya mengalir ribuan hadis palsu mengagungkan dan memuji penguasa dinasti Ummayyah serta menjelek-jelekkan semua rival politiknya.
Akankah McDonal’s sebagai gaya hidup membuat kita semakian terpesona pada Amerika beserta seluruh produknya (fashion, musik, film, dll) dan bangga menjadi budaknya? Dan, pada akhirnya, kita akan menyingkirkan semua produk lokal dan mengangapnya sebagai produk kuno, tak berbudaya dan nora. Lalu, bagaimana menyikapi fenomena tersebut? Apakah hanya dengan ungkapan:”Ini sudah garis takdir, nanti juga akan muncul takdir lain yang akan menggantikannya”, atau “Memang, ini kurang baik, tapi apa yang bisa kita lakukan?” atau juga “Bagaimanapun ini merupakan imprealisme kultural yang harus dilawan. Dan, kita harus menyiapkan langkah dan strategi kultural unutk menghadangnya”? Desantara
Tweet
« Mimpi Di Ujung Lidah
Tulisan sesudahnya:
Nirvana, Bukan Hanya Dirimu »
Pencarian
Kategori Esai ID
- Matinya Erau dari Tradisi ke Politisasi Etnik
- Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013
- Islam Kutai dan Persinggungan Politik
- “Menciptakan Seni Alternatif bagi Masyarakat”
- Paraben andi’ ana’, Belenjer andi’ Lake (Perawan Punya Anak, Janda Punya Suami): Kritik Sosial Perempuan Seni Madura terhadap Santri Coret
- Tanah dan Pergeseran Kosmologi Dayak Kenyah
- Prahara Budaya: Refleksi Peradaban Manusia Dayak
- Memahami Klaim Kebenaran Agama: Suatu Refleksi Filosofis
- Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, Kutai Kartanegara
- Komunitas Nyerakat : Geliat di Tengah Gempuran Arus Modernitas
- Bisnis Perizinan Kuasa Pertambangan dan Geliat Pilkada Kota Samarinda
- Perempuan Kampung Pamanah di Industri Tenun Sarung Samarinda
- Pesantren Tegalrejo: Lautan di Lereng Merbabu
- Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai
- Wajah Lain Dari Tegalrejo
Random Post
- Komunitas NU di AS Terbentuk(0)
- Rancangan Perda Kota Mataram ttg Pencegahan Maksiat(0)
- Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Satra(0)
- Chicklit: Dari Perempuan untuk Perempuan(0)
- Demo menolak RUU Antipornografi dan Pornoaksi bag. 4(0)
- Menimang Kembali Eksistensi Bahasa Sunda(0)
- Sekolah Multikultural(0)
- Gandrung dan Identitas Daerah(0)
- Paul Feyerabend(0)
- Warisan dan Jalan Bahagia Tuan Baak(0)
- Polemik Pembangunan Pemakaman Kristen Di Kedung Menjangan Cirebon(0)
- Tradisi Nyangku Di Panjalu: Mengenang Perjuangan Sang Prabu(0)
- La Unge Setti: Biarkan Kami Menganut Keyakinan Ini…(0)
- Ketika ‘Genk Rese’ Memaknai Syariat Islam(1)
- Ketika Massenrengpulu Menampik Bugis(0)
nasib… nasib. ini karena lemahnya pembangunan karakter bangsa. ada yang terpesona dengan barat, denga arab, atau korea. ujungnya: kapitalisme memang hebat………….
Ini kritik buat para aktivis yg ketika masih mahasiswa berkoar2 menolak amerika dan kapitalisme. tapi sesudah makmur, nyaman dipelukannya. Apakah ini kompromi, atau pragmatisme? yang jelas, mantan aktivis itu sekarang sudah menduduki jabatan2 tinggi di negara ini, di DPR, Kementerian, LSM, lembaga negara, dll. Tapi ya sama saja dengan yang bukan mantan aktivis. Kekuasaan memang manis, apalagi kapitalisme. Kiri telah mati…