Beragama dalam Kekuasaan: Sebuah Kelahiran Diskriminasi

Khoirul Anam | 10 - Mar - 2008

Jika agama hanya dipahami sebagai sesuatu yang ‘mutlak’ karena masuk dalam dunia sakral, abadi, dan samawi, maka agama itu akan cenderung berbenturan dengan nilai-nilai yang tidak masuk atau bahkan tidak sesuai dengan nilai agama itu. Dia akan menjadi mesin perusak nila-nilai tersebut atas nama kemutlakan itu. Tidak peduli apakah agama atau kepercayaan tersebut didukung mayoritas atau pihak minoritas. Berbeda jika kita memahami agama atau kepercayaan sebagai nilai, bila terjadi benturan nilai dengan nilai yang lain justeru akan menjadi mesin yang akan memproduksi sikap/nilai saling menghargai, toleran dan saling mendukung.

Di Indonesia, dua pemahaman di atas tumbuh subur dalam dialektika agama dan negara. Pemahaman yang menganggap agama sebagai kemutlakan tampak lebih menonjol dalam pergolakan real politik kekuasaan. Apalagi para politisi yang memiliki pemahaman tersebut selalu bersandar pada label mayoritas. Sejarah kita pernah mencatat perdebatan konstitusional tentang dimasukkannya kata-kata “syariat Islam” sebagai dasar negara kita.

Dan saat ini pun atas nama penerapan otonomi daerah, masing-masing daerah berlomba untuk ‘memutlakkan’ keyakinan agama sebagai kaidah publik melalui kebijakan kekuasaan negara. Di beberapa daerah kita bisa melihat perda tentang perlunya membaca al-Quran untuk masuk ke jenjang sekolah lebih tinggi, dll. Padahal justeru hal inilah yang akan memudahkan munculnya diskriminasi terhadap agama dan keyakinan tertentu yang dianggap minoritas atau terhadap sebuah kepercayaan yang tidak diakui negara. Nilai-nilai atau keyakinan luar jadi dicurigai, dibatasi dan bahkan diberikan ‘label’ tertentu. Seperti pengakuan negara ini terhadap hanya lima agama resmi. Dan dari label ‘resmi’ inilah, lalu ada pembatasan, pelabelan dan kecurigaan.

Kondisi ini berangkat dari persinggungan antara kekuasaan negara dan keyakinan agama/kepercayaan. Jika kekuasaan negara menjadi alat mayoritas untuk menguasai dan menancapkan legitimasi agama dan kepercayaan tertentu, maka hal ini akan menjadikan agama sebagai sesuatu yang menakutkan. Sebagaimana ditulis Charles Kimball dalam When Religion Becomes Evil (2002): ”Alih-alih mengharapkan kedamaian dan keadilan yang menjadi muatan utama agama, malah sebaliknya, sakralitas agama pun dinodai oleh umatnya demi menuruti ambisi sesaatnya. Agama pun, menjadi semacam 'makhluk' menakutkan yang hanya menebar kejahatan (evil)”.

Fenomena di atas memang bukan sesuatu yang baru. Sebelum lahirnya Indonesia pun hal tersebut telah terjadi. Tinggal melihat apa dan siapa yang memanfaatkan; apakah agama memanfaatkan kekuasaan untuk mencari dukungan umat yang lebih besar, ataukah, kekuasaan yang memanfaatkan agama untuk melegitimasi dirinya. Namun yang pasti, kekuasaan akan lebih dominan tatkala agama/kepercayaan tertentu ada di dalamnya. Kekuasaan dominan akan menafikan nilai atau kelompok yang bukan bagian kelompoknya.

Pada mulanya kekuasaan di Nusantara dibangun dengan kekuatan perdagangan. Melihat agama Hindu yang dibawa oleh para pedagang dari India itu sangat berpotensi untuk memberikan basis legitimasi kekuasaan. Apalagi agama Hindu membawa ’aksara’ yang dapat digunakan alat perluasan propaganda dan konsolidasi kekuasaan raja. Maka agama Hindu yang lebih terstruktur daripada pola lama “animisme-dinamisme” tradisional bisa memberikan kekuatan ideologi yang lebih ketat. Seperti pengakuan bahwa raja adalah utusan tertinggi para dewa. Agama baru ini dalam kekuasaan Nusantara juga membawa implikasi terhadap pola produksi yang berimplikasi pada relasi politik kekuasaan. Ini dapat dilihat dari terciptanya sistem produksi feodal yang berbasis pada kekuasaan raja dan kerabat raja atas nama otoritas tertinggi perwakilan para dewa. Raja menjadikan dirinya sebagai ukuran ‘nilai’. Atas nama agama baru dan untuk kepentingan menjaga struktur baru ini, sang raja memperlakukan agama di luar Hindu sebagai “yang lain”.

Setelah muncul pergeseran perdagangan dari Asia ke arah Tiongkok yang menganut Budhisme, maka kekuasaan di Nusantara merubah agama ‘resminya’ menjadi agama Budha. Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar saat itu menjadikan agama Budha sebagai agama resmi untuk mempermudah hubungan ekonomi politik. Sedangkan pada Majapahit yang tengah bangkit, kerajaan ini melihat pentingnya bermain dalam dua ranah, Budhisme dan Hinduisme. Majapahit memunculkan konsep agama ‘Siwa-Budha’ agar dapat melakukan ekspansi perdagangan hingga ke Tiongkok dan India. Masa ini pun bergeser dengan masuknya agama Islam yang dibawa oleh pedagang Gujarat. Struktur masyarakat dan ekonomi-politik pun berubah. Setelah ditemukannya sistem irigasi pertanian yang menghindarkan kekeringan dan banjir, masyarakat merasa tidak diperlukan lagi banyak dewa untuk menjaga pertanian. Dan Islam yang monoteistik pun lalu menjadi pilihan mereka. Jelas, perubahan ini erat kaitannya dengan pola produksi yang berlangsung saat itu.

Dari tilikan sejarah singkat ini, tampak bahwa otoritas kekuasaan yang bersandar pada agama, atau sebaliknya, agama yang bersandar pada kekuasaan negara, hanya menjadikan negara berkuasa mutlak. Memutuskan sesuatu hal seenaknya, mengabaikan “yang lain” yang berbeda, serta menjadikan agama sebagai legitimasi kekuasaan belaka tanpa menciptakan keadilan bagi semua masyarakat. Sehingga identitas keagamaan atau keyakinan tergantung kepada kekuasaan. Dari sinilah awal diskriminasi terhadap agama dan kepercayaan itu lahir.

Di sinilah relevansi Firman Allah dalam Al-Qur’an: “Tak ada paksaan dalam beragama, (karena) benar-benar telah jelas mana yang benar dan mana yang palsu (la ikraha fiddin qad tabayyana al-rusydu minal ghayyi)”. Jelas dalam ayat itu, negara tidak berperan melainkan masyarakat yang berperan menentukan mana yang benar dan mana yang palsu. Jika semua agama bersikap saling menghormati, maka setiap agama berhak hidup di negeri ini, terlepas dari senang atau tidaknya pejabat pemerintahan.

Dr Abdolkarim Soroush, intelektual Muslim asal Iran, menegaskan bahwa umat beragama dihadapkan pada dua persoalan: problem-problem lokal dan problem-problem universal, yakni problem kemanusiaan secara keseluruhan. Menurut dia, saat ini problem-problem seperti perdamaian, hak-hak asasi manusia, hak-hak perempuan, telah menjadi problem global, dan harus diselesaikan pada level itu. Pada level lokal, persoalan penting adalah pemahaman nilai toleransi yang dilahirkan oleh agama atau kepercayaan. Yaitu nilai yang mendorong terciptanya tatanan beragama yang saling menghormati dan menghargai satu sama lain dan meletakkan persolan agama dalam ruang privat, tanpa ada campur tangan kekuasaan baik melalui lembaga resmi negara ataupun otoritas lembaga agama. Adapun pada level global, yang dimaksud adalah pentingnya perlindungan atas hak-hak asasi manusia. Misalnya bagaimana negara menjamin perlindungan kebebasan beragama dan berkepercayaan tanpa membeda-bedakannya, tanpa diskriminasi. Desantara- Khoirul Anam (Aktivis Radio Voice of Human Rights)



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian