Gandrung Temu, Merawat Harapan
admin | 8 - Mar - 2008Saat bersua dengan Gandrung Temu dan Basuki (panjak gandrung) Agustus 2007 di Desa Kemiren, Banyuwangi, terlintas di benak saya apakah hal yang sama akan menimpa keduanya, seperti nasib Rasminah maestro penari topeng Cirebon yang terpaksa makan nasi aking karena terbelit masalah ekonomi, sementara namanya begitu populer hingga ke mancanegara.
Saya lahir di tengah keluarga wartawan—seniman tradisi. Kakek saya seorang dalang Istana Merdeka di zaman Bung Karno. Saya tahu persis kehidupan seniman tradisi kita seperti apa: buram! Tak ada niat sedikit pun merendahkan ranah intelektual, apalagi melanggar kode etik jurnalistik seperti yang dituduhkan kepada saya. Saya juga mencintai profesi jurnalis dengan sepenuh hati. Sebagai penulis saya menghormati narasumber (informan), termasuk Philip Yampolsky. Oleh sebab itu, pada 8 September 2007 pukul 12.57 saya mengirimkan surat elektronik yang berisi pertanyaan seputar Temu—dengan alamat e-mail pyampolsky@yahoo.com. Penantian saya selama 2,5 bulan tanpa hasil.
Kalau saya dituduh bekerja tanpa standar jurnalistik, tak melakukan kros cek kepada narasumber, saya tegas menolak! Saya telah berusaha menghubungi narasumber. Surat elektronik yang saya kirim tak mendapat tanggapan apa pun!
Sebagai penulis saya memang bertanggung jawab atas kesalahan data: rank sales amazon.com dan kalkulasi angka yang terlalu besar. Tapi, soal mikro jangan sampai mengalihkan soal yang lebih besar. Yang saya suarakan bukanlah melulu besaran angka, tapi terutama nasib seniman tradisi kita yang terpuruk, karena dimanipulasi oleh sejumlah "lembaga" dan "pribadi".
Di Kemiren, Temu pernah menuturkan, "Kata Pak Philip, rekaman itu untuk pembelajaran saja. CD-nya tidak dijual". Pendapat serupa juga dikatakan oleh Basuki, bahkan ia menjawab, "CD saja tidak diberi!" Toh, kenyataan di lapangan bertolak belakang. CD Song Before Dawn dijual hingga aras internasional. Ironis, bila rekaman album Temu yang berawal dari ranah intelektual itu, karena satu dan lain hal, tak mengindahkan standar moral. Buktinya, tidak ada MOU berupa surat tertulis atau kuitansi pembayaran honor kepada Temu dan kelima panjak gandrung. Apakah itu bukan persoalan?
Akan berbeda kasusnya tatkala Temu berurusan dengan perusahaan rekaman lokal seperti Sandi Record. Biarpun dibayar cuma Rp 1 juta per album, ada proses negosiasi antara Temu dan Sandi Record. Ia pun menganggap persoalan itu cukup adil. "Dulu saya dibayar Rp 500.000," kata Temu.
Maaf, bila saya menemukan fakta yang berbeda. Secara pribadi saya berterima kasih atas koreksi dan tantangan Endo Suanda agar membuktikan dan menjelaskan perhitungan angka. Saya hanyalah wartawan lepas di kantor berita Italia, sesekali menulis untuk situs The Cheers dan Kyoto Review Journal. Barangkali saya tak (layak) diperhitungkan oleh kolega Endo Suanda, narasumber sehebat dan sekredibel Philip Yampolsky, Anthony Seeger, atau Daniel Sheeny. Pertanyaan yang saya ajukan (hanya bisa lewat surat elektronik karena saya tak punya dana untuk mengajukannya secara lebih baik dan langsung), agaknya tak dianggap penting! Di balik itu semua, saya sedih bercampur gembira, banyak tanggapan publik di situs internet baik yang pro dan kontra. Saya perlu tegaskan bahwa saya mendompleng penelitian orang lain, seperti yang dituduhkan oleh pihak tertentu di berbagai milis. Saya percaya dengan instinct of journalism, bahwa nasib Temu dan kelima panjaknya layak disuarakan.
Bila Endo Suanda kecewa dengan data yang saya kumpulkan dan dikutip oleh Maria Hartiningsih: "jauh panggang dari api", saya pun kecewa, mengapa sejumlah intelektual (etnomusikolog) bisa "berdusta" kepada seniman tradisi? Saya prihatin mengapa kegiatan penelitian dan intelektual yang niat tertulisnya tentu bagus dan mulia itu ternyata tak membawa perubahan yang membanggakan pada kehidupan para seniman tradisi. Jika ada yang tampak jelas memetik manfaat nyata dari kegiatan riset itu, itu adalah para periset dan intelektual tersebut, bukan seniman tradisi yang menjadi bahan penelitian itu sendiri. Setidaknya, sejumlah seniman tradisi belum mendapatkan manfaat yang setimpal dari berbagai penelitian yang pelaksanaannya dimungkinkan oleh kesediaan para seniman tradisi itu untuk bekerja sama.
Sempat saya baca tanggapan Halim HD, penulis kebudayaan, seputar polemik tulisan "Dari Kemiren ke Hollywood" (Bentara, 3 November 2007). Ia menuliskan, "[…] Saya ingat obrolan di rumah seorang kenalan di Evanston, Utara Chicago, Amerika. Pada suatu Konferensi Studi Asia di hotel Palmer. Saya ditanya oleh sang peneliti yang mendapat kepercayaan Smithsonian dan pengelola proyek itu (Philip Yampolsky): Bagaimana pendapat saya tentang honorarium asistensi. Lalu sang peneliti yang nampak lemah lembut itu menyampaikan bahwa posisi Rahayu Supanggah akan dibayar sebesar Rp 750 ribu. Dan ia juga membeberkan bahwa di bawahnya seorang asisten hanya mendapat Rp 250 ribu. Saya cuma melongo. Saya tidak bisa membayangkan sosok mas Panggah yang dijadikan asisten (seorang peneliti dan juga komposer handal kita). Saya tidak tahu berapa ribu dollar AS untuk sang pengelola proyek itu? Terakhir saya dengar ia dibayar oleh Smithsonian sekitar tiga ribu dollar AS. Tidakkah honorarium bagi sosok seperti Rahayu Supanggah dan asisten-asistennya terlalu kecil? Sangat menarik jawaban pengelola proyek: "Mereka kan sambil belajar dan dibayar!"
Bila benar yang dikatakan Halim HD, bahwa komposer andal seperti Rahayu Supanggah saja minus penghargaan atas hak intelektualnya, apalagi dengan Gandrung Temu? Faktanya, suara Temu direduksi secara bebas hingga menembus batas negara, sedangkan hak asasinya dilanggar. Keterpurukan Temu justru terjadi di saat ia bersentuhan dengan ranah intelektual (dunia penelitian). Sedang di posisi gandrung terop, Temu aman-aman saja. Artinya, Temu dihidupi oleh panggung gandrung. Sebaliknya, panggung gandrung tetap hidup berkat napas Temu. Bukan tidak mungkin bahwa kritik Horkheimer dan Adorno dalam The Dialectic of Enlightenment (1972) itu benar: industri budaya merupakan media yang paling strategis untuk mengubah nilai guna (kegunaan yang dimanfaatkan menjadi komoditas) menjadi sesuatu yang diproduksi oleh sistem kapitalisme. Saya memercayai logika itu, yang menyeret Gandrung Temu ke tempat yang tak terjangkau. Saya pun tak memungkiri, ada lembaga nirlaba dan lembaga donor internasional yang sungguh membantu secara finansial. Meski demikian, pelaksanaan di lapangan bisa saja menyimpang dari niat mulia itu, jauh panggang dari api.
Semisal Smithsonian Institution, bukankah sebagai lembaga filantropi internasional ia tak berhak mengomersialkan CD Song Before Dawn. Kenapa CD, kaset, dan unduhan MP3 Song Before Dawn bisa dijual di berbagai situs toko online di berbagai negara? Bukankah di Amerika, lembaga itu bebas pajak? Dalam klausul Smithsonian (lacak di situs Smithsonian) disebutkan artis berhak atas royalti. Namun, hingga kini, tak sepeser pun uang diterima Temu dari proyek CD Song Before Dawn itu!
Untuk menjadi sri panggung, Temu melewati suka duka dan jalan terjal, dari stigma buruk hingga proses panjang menjadi gandrung. Penulis kebudayaan Banyuwangi, Eko Budi Setianto, mengatakan, "Temu sudah melekat begitu hebatnya di masyarakat. Suka dukanya sebagai gandrung sangat luar biasa. Dari awal sampai diakui oleh masyarakat, menanggung dosa sampai menjadi tokoh yang terkenal. Kehebatan Temu karena memiliki suara yang khas, sulit ditirukan oleh gandrung lain".
Gandrung adalah napas hidup Temu. Ia telah berjanji tak akan meninggalkan panggung gandrung, kecuali tubuhnya tak mampu digerakkan lagi. Temu, perempuan santun yang mampu menahan urat marahnya, secara sukarela (tanpa diupah) tetap mengajari anak-anak di kedua desa, Kemiren dan Olehsari, menari juga menyanyi.
Seperti yang dikatakan gandrung cilik bernama Wulan (14), "Kalau kita ikut gandrung, sama Mbok Temu dikasih Rp 75.000." Santi (13) menimpali, "Kata Mbok Temu, kalau menari diingat-ingat gimana urutannya." Hidup Temu adalah loyalitas dan pengabdian terhadap seni tradisi. Ia selalu membagi rata setiap rezeki yang diterima dengan panjaknya (pun) dengan rasa syukur. Seperti yang diajarkan (alm) Anwar, seniornya di pentas gandrung.
Temu yang tak menyelesaikan pendidikan dasarnya bisa bersikap arif-bijaksana. Ia tak mengabaikan hak-hak gandrung cilik, "Saya hanya membantu ekonomi keluarga mereka. Selain regenerasi, biar tradisi gandrung tak mati di Banyuwangi," kata Temu. Kalau sulit dinalar, atau saya yang tak memahami pemikiran Temu, di saat terbelit kesulitan ekonomi, ia masih memikirkan nasib orang-orang di sekelilingnya. Secara batin ia sangat kaya meski menyandarkan hidup pada panggung gandrung. Uang bukanlah segalanya bagi Temu.
Berkat Temu, panggung gandrung tetap hidup walau kenyataannya semakin redup sejak tahun 1990-an, tergeser oleh budaya instan seperti musik dangdut dan organ tunggal. "Gandrung tergilas teknologi, pergulatan ekonominya sangat besar. Gandrung dipaksakan untuk tetap hidup," kata Kusnadi, peneliti Universitas Jember. "Dulu tumbuh subur karena basis masyarakat petani sangat kuat."
Masalahnya, kontrol terhadap teknologi tak mungkin dibatasi. Tak ayal, teknologi mampu menggeser seni tradisi yang utuh menjadi komoditas yang instan meskipun di sisi lain, kemudahan teknologi berperan penting meningkatkan sumber daya lokal.
Sebagai penulis saya coba menafsirkan gandrung, tetapi hal terpenting dari penelitian ini ialah mengubah cara pandang (perspektif) seniman tradisi terhadap dunia di luar mereka. Juga agar para "orang pintar" yang disebut Temu tak (lagi) memanfaatkan kelemahannya. Bukankah Temu berjasa bagi warga dunia dan melahirkan begitu banyak gelar master dan doktor di ranah akademik? Toh, Temu tak menuntut imbalan apa pun, kecuali perlakuan secara adil! Saya berharap pemerintah tak bersikap curang mempermainkan nasib seniman tradisi seperti Temu dengan perolehan pajak. Bagi masyarakat intelektual, Temu masih menantikan sebuah pewujudan harapan!
Ia telah membuka mata saya bahwa seni tradisi adalah ranah yang rentan disalahgunakan. Tanpa maksud "berprasangka negatif" terhadap lembaga atau pribadi yang berusaha menumbuhkan kebudayaan lokal, Temu mengingatkan keterbatasan saya, ternyata korpus ilmu pengetahuan tak/belum memberikan manfaat terhadap Temu. Namun saya percaya, ilmu pengetahuan jugalah yang akan sanggup memecahkan kerumitan ini. Mengubah penindasan menjadi keindahan, seperti halnya Temu di atas panggung gandrung. Bukankah kajian akademis telah menunjukkan bahwa selama berabad-abad kepulauan Indonesia telah menghasilkan karya-karya artistik yang luar biasa? Suara Temu pun merupakan eksotisme Timur, diakui atau tidak!
Di rumah Temu yang bercat putih kusam, berlantai semen berlubang di sana-sini, jendela tanpa tirai, kursi tua yang lusuh dan di sudut ruang teronggok televisi buram (tua) 14 inci, saya melihat wajah Temu pucat. Ia begitu lelah menjalani rutinitasnya sebagai gandrung terop. Mereka janji thok [tapi] gak ada buktinya!" kata Temu menyambut tamunya. Padahal, menjadi gandrung tak sesederhana yang dibayangkan. Prosesnya amat rumit. Dari diakui oleh masyarakat, lantas mendatangi pini-sepuh kebudayaan Using. Tak sembarang orang bisa menjadi gandrung. "Gandrung bertahan karena kekuatan tradisi dan perempuan yang ada di dalamnya," kata Eko Budi Setianto. eperti yang ditulis Maria Hartiningsih pada rubrik Sosok "Jalan Kehidupan Gandrung Temu" (Kompas, 26 Oktober 2007), "Saya mau tidur pada waktunya orang tidur. Bukan teriak-teriak nyanyi dan pencilatan menari…".
Sungguh Temu gundah, sebagai janda tanpa anak. Tubuhnya kian tua, sering kali pegal di bagian sendi dan punggungnya, biarpun masih bertenaga. "Tapi suara Temu tak sekuat dulu," kata Basuki suatu hari dari balik panggung. Di Kemiren ia hanya mengasuh cucu keponakan (yang memiliki kekurangan fisik "bisu") dan merawat kakak ibunya yang sudah teramat tua. Siapa yang kelak diharapkan Temu bila tubuhnya tak sintal dan tulangnya rapuh di gerogoti usia? Belum tentu 10 tahun ke depan Temu masih kuat melenggok, mengibaskan sampurnya di atas panggung.
Menurut saya, ini masalah bersama. Saya memahami benar risiko menulis Gandrung Temu sejak di Kemiren. Pasti menjadi polemik dan dituduh fitnah! Tapi, konsentrasi saya adalah kerisauan hidup Temu dan Basuki. Di dalam hati saya resah, melihat kegigihan Temu dan Basuki—yang harus menggadaikan gelas untuk makan!
Secara pribadi saya tak bermaksud menciptakan polemik kepada Endo Suanda atau Philip Yampolsky. Saya pribadi menghargai itikad baik keduanya, sebagai etnomusikolog yang mengembangkan wacana berkesenian di Indonesia. Tentu saja, setiap tindakan selalu disertai rambu-rambu atau norma biar kita tak salah langkah. Kalaupun kesalahan langkah terjadi, upaya untuk mengakui kesalahan itu lalu mengoreksinya menjadi tuntutan yang tak dapat dielakkan.
Temu tak memiliki deposito masa depan seperti para etnomusikolog. Yang ia miliki hanyalah bersuara dan menggerakkan tubuhnya di atas panggung gandrung. Tapi, setiap gerak adalah napasnya, Temu tetap akan menari hingga tak laku. Bahkan kelak posisinya digantikan oleh gandrung-gandrung muda yang lebih sintal dan berparas ayu. "Asal gandrung tak mati!" kata Temu. Farida Indriastuti. Kompas, Sabtu, 05 Januari 2008
Tweet
« Menyingkap Selaput-selaput Buram: Dilema Kesenian Tradisi
Tulisan sesudahnya:
Gandrung Temu, Merawat Harapan »
Pencarian
Kategori Esai ID
- Matinya Erau dari Tradisi ke Politisasi Etnik
- Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013
- Islam Kutai dan Persinggungan Politik
- “Menciptakan Seni Alternatif bagi Masyarakat”
- Paraben andi’ ana’, Belenjer andi’ Lake (Perawan Punya Anak, Janda Punya Suami): Kritik Sosial Perempuan Seni Madura terhadap Santri Coret
- Tanah dan Pergeseran Kosmologi Dayak Kenyah
- Prahara Budaya: Refleksi Peradaban Manusia Dayak
- Memahami Klaim Kebenaran Agama: Suatu Refleksi Filosofis
- Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, Kutai Kartanegara
- Komunitas Nyerakat : Geliat di Tengah Gempuran Arus Modernitas
- Bisnis Perizinan Kuasa Pertambangan dan Geliat Pilkada Kota Samarinda
- Perempuan Kampung Pamanah di Industri Tenun Sarung Samarinda
- Pesantren Tegalrejo: Lautan di Lereng Merbabu
- Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai
- Wajah Lain Dari Tegalrejo
Random Post
- Mimpi Di Ujung Lidah(0)
- Perkembangan Delik Agama dalam Pembaharuan KUHP(0)
- Fanonisme(0)
- FPI Bandung Berjanji Tidak Akan Melakukan Kekerasan(1)
- Seni, Siasat Perempuan Adat Cigugur(0)
- Marxisme dan Kritik Sastra(2)
- Majalah Desantara Edisi 05/Tahun II/2002 : Ketika Reyog di Pangkuan Generasi Pewaris(0)
- Slamet Menur, Sebuah Anomali dalam Industri Kesenian(0)
- Srinthil 10 : Perempuan dan Komodifikasi Seksualitas(0)
- Srinthil 16 : Dilema Status Kewarganegaraan Perempuan Tionghoa Miskin(0)
- Dayak dalam Imajinasi Politik Elit(0)
- Deport 3 ed. Indonesia(0)
- Srinthil 04 : Ketika Aurat Dikuasai Surat(0)
- Nyanyian Tengger(0)
- Upacara ritual Arajang di Komunitas Bissu(0)