Dewa(n) (Ke)seni(an)?

Bisri Effendy | 4 - Mar - 2008

Mungkin Asrul Sani, Salim Said, Gunawan Mohamad, dkk. tidak membayangkan bahwa surat-surat mereka kepada Gubernur DKI Ali Sadikin dan teks pidato deklarasi yang mereka buat untuk membuka secara resmi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1966 ternyata menjadi bumerang bagi kehidupan kesenian Indonesia hingga sekarang. Surat-surat dan teks pidato itu menjadi bukti konkret titik awal kesenian di negeri ini berada dalam pelukan para elite (politik, ekonomi, dan budaya) sekaligus menjadi komoditas bagi mereka.

Dalam surat dan teks pidato itu memang tidak tertulis permintaan agar negara merengkuh kesenian. Akan tetapi, adanya surat-surat dan pembuatan teks itu sendiri cukup menjelaskan perlunya perlindungan dari kekuatan bernama negara. Para pendukung manifes kebudayaan itu, yang terus-menerus tengkar dengan pendukung Lekra yang (waktu itu) menguasai planet senen sebagai pusat aktivitas seni di Jakarta, berusaha mencari dukungan birokrasi untuk selain mengalahkan planet senen juga menguasai dunia kesenian di negeri ini.

Salah satu hasil riset kebijakan kebudayaan bidang kesenian LIPI 2000-2001 menyatakan: “Merangkul birokrasi demi mengalahkan kekuatan seniman kiri itulah latar paling dominan berdirinya Dewan Kesenian Jakarta”. Dan memang benar, mereka berhasil mendirikan DKJ berikut pusat kesenian bergengsi Taman Ismail Marzuki (TIM). Maka, planet senen pun lalu bubar dan berubah menjadi sepenuhnya pusat bisnis dan perdagangan. Seperti yang tersiar selama ini, DKJ adalah lembaga kesenian pertama di Indonesia yang kemudian diikuti oleh lembaga serupa di setiap daerah tingkat I dan II dengan prosedur yang tidak berbeda.  

Sebagai lembaga yang terlahir dari negosiasi dan proses politik, Dewan Kesenian dalam prakteknya lalu menghadapi persoalan pelik dalam dirinya yang tak pernah terselesaikan, yakni problem birokratisasi. Dewan Kesenian tidak mungkin menghindar dari ketergantungan pada  birokrasi, pertama, menyangkut pembentukan dan pengangkatan pengurus yang amat tergantung pada SK penguasa nomor satu di daerah bersangkutan. Kedua, hidup-matinya lembaga kebudayaan ini juga bergantung 100 % dari uluran tangan penguasa dan elite politik.

Implikasi dari semua itu, Dewan Kesenian, dimana pun, harus memikul tanggung jawab menjadi kepanjangan tangan pemerintah. Suara yang didendangkan adalah suara kekuasaan yang tidak hanya politis tetapi juga ekonomis (pasar) dan modernitas. Meski, sedikit ruang untuk melakukan suatu yang ‘lain’ acapkali tersedia seperti yang pernah dikemukakan Gus Dur sewaktu menjabat Ketua DKJ 80-an yang lalu, tetapi kapasitas personil yang berada di lembaga itu umumnya memang tidak memadai untuk bersuara yang ‘lain’. Sebagai lembaga yang terlahir dari negosiasi dan proses politik, Dewan Kesenian dalam prakteknya lalu menghadapi persoalan pelik dalam dirinya yang tak pernah terselesaikan, yakni problem birokratisasi.

Sebagai sebuah lembaga yang hanya mampu menyuarakan kekuasaan politik (pemerintah), Dewan Kesenian sungguh tidak mungkin representatif seniman dan budayawan umumnya di lingkungan masing-masing. Bukan hanya karena personil yang diangkat umumnya dari orang-orang dekat kekuasaan, tetapi lembaga itu sendiri bukan milik seniman rakyat. Kritik dan protes terhadap Dewan Kesenian oleh berbagai pihak selama ini menunjukkan bagaimana jarak antara komunitas seni terutama seniman kalangan bawah dengan lembaga itu terlihat nyata. Klaim representasi memang amat sering kita dengar, tetapi representasi sudah pasti bukan soal klaim. Klaim dan representasi adalah dua hal yang berbeda dan saling berjauhan.Dewan Kesenian memang bukan Dewa (nya) seni yang melindungi dan mensejahterakan. Bisri Effendy



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian